Indonesia.go.id - 100% Katolik, 100% Indonesia

100% Katolik, 100% Indonesia

  • Administrator
  • Selasa, 25 Desember 2018 | 11:25 WIB
PAHLAWAN NASIONAL
  Paus. MGR. De Jongh berkunjung ke Yogyakarta diterima Presiden Soekarno. Sumber foto: Dok Perpusnas

Kekristenan tidak lagi dianggap sebagai ‘yang asing’ atau terlebih ‘agama impor’. Bahkan menjadi Kristen berarti menjadi entitas yang tak terpisahkan dari keindonesiaan.

Ungkapan ‘londo wurung jowo tanggung’ yang ditujukan bagi orang Jawa yang memeluk Kristen jelas mengisyaratkan citra negatif agama ini. Mudah diterka, citra negatif ini tak terlepas dari sejarah awal mula agenda misi Kristen di Indonesia kedatangannya bisa dikata “membonceng” proyek kolonialisme Barat.

Citra itu segera berubah sejak kedatangan Romo Frans Van Lith. Strategi kebudayaan gerakan misi yang diembannya, serta upaya kerja keras dan dedikasinya untuk membangun sekolah guru (kweekschool) dengan metode pendidikan yang mengakomodasi budaya Jawa, ternyata berbuah positif.

Keberhasilan Van Lith ini tentu juga tak bisa dilepaskan dari keberaniannya menarik jarak dan sekaligus membuat garis pembeda, antara gerakan misi di satu sisi dan agenda kepentingan proyek kolonialisme Belanda di sisi lain.

Bagaimanapun, keduanya ialah dua hal yang berbeda. Bahkan, gerakan misi belakangan sanggup memposisikan diri berpihak pada kehidupan masyarakat pribumi, menyemai embrio nasionalisme, serta bersikap kritis terhadap proyek kolonialisme.

Di bawah kepemimpinan pastor dari ordo Serikat Jesuit ini, terjadi banyak perubahan. Gerakan misi menjangkah maju, keluar dari kungkungan partikularisme sempit, mampu membuang prasangka superioritas budaya selaku penginjil Eropa, kemudian membawa gerakan misi meninggi dan fokus mendasarkan diri pada pijakan nilai-nilai kemanusiaan universal serta imun dari agenda tersembunyi kepentingan kolonialisme.

Maka segera saja citra negatifpun bersalin rupa. Kekristenan tidak lagi dianggap sebagai ‘yang asing’ atau terlebih ‘agama impor’. Menjadi Kristen justru dianggap sebagai pembawa unsur kemajuan dan pembaharuan yang memperkaya warna budaya orang Jawa. Bahkan lebih jauh, menjadi Kristen bagi pemeluknya berarti sekaligus menjadi entitas yang tak terpisahkan dari keindonesiaan.

Di sini jelas ada jejak progresif yang signifikan dari sejarah Kristenisasi di Indonesia, yang sudah tentu menarik untuk dicatat dan direnungkan bersama.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545743367_Ignatius_Joseph_Kasimo.jpg" style="height:282px; width:220px" />

Ignatius Joseph Kasimo (1900 - 1986)

Kasimo adalah seorang intelektual Jawa-Katolik. Lahir pada awal kebijakan Politik Etik di Hindia Belanda. Berasal dari jaringan keluarga aristokrat rendahan. Ayahnya bernama Ronosentiko, dan ibunya, Dalikem. Keluarganya bukan tergolong orang susah sehingga memungkinkannya bersekolah. Kendati hanya sekolah di Tweede Inlandsche School atau Sekolah Ongko Loro di Kampung Gading, tak jauh dari rumahnya.

Suatu ketika pada 1912, sekolahnya kedatangan seorang kepala sekolah Kweekschool atau sekolah guru di Muntilan. Van Lith mencari murid untuk sekolahnya. Kweekschool asuhan van Lith adalah sekolah guru swasta pertama yang diakui pemerintah Belanda.

Setelah lulus Sekolah Ongko Loro itu, Kasimo pergi ke Muntilan menanggapi tawaran Van Lith. Sejak itu Kasimo mulai serius belajar kekatolikan dari Van Lith. Pada perayaan paskah April 1913, Kasimo memperoleh nama baptis-nya Ignatius Joseph. Namun ternyata Kasimo termasuk di antara murid-murid Kweekschool yang tak ingin menjadi guru. Pada 1918 dia memilih meneruskan belajar pertanian di MLS Bogor.

Pada suatu hari di bulan Agustus 1923, sekitar 30 alumni murid Kweekschool berkumpul. Usia Kasimo saat itu ialah 23 tahun. Para alumni ini berinisiatif mendirikan sebuah partai untuk golongan Katolik Jawa sendiri.

Sebenarnya sudah ada IKP (Indische Katholieke Partij). Akan tetapi keanggotanya saat itu hampir 100% terdiri dari orang-orang Katolik Belanda. Wajar saja, jika para pemuda itu lantas beranggapan, arah politik IKP cenderung prokolonial ketimbang pribumi Hindia Belanda.

Sedangkan pilihan Kasimo terlibat di bidang politik bermula dari pengalaman pahitnya karena pernah dikata-katai sebagai “anak monyet” oleh koleganya orang Belanda.

Dari berbagai pertemuan para alummi Kweekschool lahirlah sebuah organisasi baru bernama Katholieke Vereeneging voor Politieke Actie Afdeling Katholieke Javanen (Perkumpulan Katolik untuk Aksi Politik Orang-orang Jawa Katolik). Dalam rapat tahunan pada 1924, Kasimo terpilih sebagai pempimpin. Dan pada masa kepemimpinannya itulah nama organisasi itu berubah menjadi Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD).

Awalnya partai ini berafiliasi dengan IKP. Namun sejak 22 Februari 1925, PPKD memutuskan berdiri sendiri sebagai partai politik. Semula, PPKD dengan embel-embel kata Djawa-nya membuat keanggotaan organisasi hanya sebatas pada orang-orang katolik Jawa. Namun pada 1930, diputuskan PPKD berubah nama menjadi Perkoempoelan Politik Katolik Indonesia (PPKI).

Sebelum masa Perang Dunia II, tercatat ada 41 cabang. Perubahan nama itu memungkinkan organisasi ini berkembang dengan menerima anggota non-Jawa. Karena itulah perlahan-lahan namun pasti, akar etnisitas dari partai katolik pimpinan Kasimo ini pun segera memudar.

Sebagai anggota PPKI, Kasimo diangkat menjadi anggota Volksraad. Posisinya sebagai representasi dari masyarakat Hindia Belanda ini ditempatinya antara 1931-1942. Sekalipun sikap politiknya secara umum ialah moderat, nama Kasimo tercatat ikut menandatangani ‘Petisi Soetardjo’ yang aspirasinya terang-terangan menginginkan kemerdekaan bagi negeri Hindia Belanda.

Bagaimanapun, Kasimo mewakili orang-orang Katolik dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Selain seorang Katolik, dirinya juga orang Jawa yang telah bertransformasi menjadi seorang Indonesia sejati.

Karena perjuangannya, Kasimo mendapat anugerah Bintang Ordo Gregorius Agung dari Paus Yohanes Paulus II dan diangkat menjadi Kesatria Komandator Golongan Sipil dari Ordo Gregorius Agung. Sedangkan oleh Pemerintah Indonesia pada 2011, Kasimo diangkat menjadi Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545743787_Albertus_Soegijapranata_OK.jpg" style="height:266px; width:199px" />

Albertus Soegijapranata (1896 - 1963)

Menyimak sejarah Soegija--demikianlah nama kecil Monseigneur Soegijapranata SJ--tampak jelas, bagaimana pada awalnya dia masih mempersepsikan agama Katolik sebagai representasi dari agenda pemerintah kolonial Belanda. Pada masa awal sekolahnya di Kweekschool, Soegijo bahkan tercatat pernah mengejek Romo Mertens, yaitu romo pamongnya, datang jauh-jauh dari Belanda ke Jawa hanya untuk mengeruk kekayaan bangsa Indonesia.

Soegija dilahirkan di Surakarta. Mirip Kasimo, ia berasal dari keluarga abdi dalem kraton. Karena terkenal cerdas, pada 1909 Soegija diminta oleh Romo Van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, Kweekschool di Muntilan. Dari sanalah Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada 24 Desember 1910.

Pada 1915, Soegija lulus dari Kweekschool Muntilan. Lalu selama setahun ia menjadi guru di sekolah almamaternya dulu. Mengikuti impulsi religiusitas dan spirit belajarnya yang tinggi, dia mengajukan diri jadi imam dalam ordo Serikat Jesus. Untuk itu Soegija belajar bahasa Yunani dan Latin selama dua tahun di Muntilan, plus satu tahun di Belanda pada 2019.

Menjalani masa pendidikan calon biarawan selama dua tahun di Grave, Soegija juga menyelesaikan juniorate di sana pada 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan. Bekerja sebagai guru selama dua tahun, serta menjadi redaktur sebuah majalah Katolik berbahasa Jawa, Swaratama.

Pada 1928, Soegija kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan sebagai imam pada 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata ‘pranata’ di belakang namanya. Agustus 1933, Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor.

Setelah tujuh tahun mendedikasikan dirinya sebagai pelayan umat, pada 1940 Soegijapranata diangkat oleh Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, sebagai Vikaris Apostolik Semarang dengan gelar Uskup.

Soegijapranata adalah putera Indonesia pertama yang menjadi Uskup. Momen ini merupakan peristiwa sejarah monumental. Bagaimana tidak! Pada 1940, Indonesia masih merupakan jajahan Belanda, di mana unsur-unsur Belanda atau Eropa di dalam struktur Gereja Katolik di Hindia Belanda masih sangat kuat.

Akan tetapi, menariknya, saat itu justru Paus mempercayakan kepemimpinan Vikariat Apostolik Semarang yang baru dibentuk itu pada putra asli Indonesia. Selaku uskup baru, Soegijapranata kala itu tidak hanya bertugas melayani umat Katolik pribumi, tetapi juga orang-orang Katolik berkebangsaan Eropa yang berdomisili di Vikariat Apostolik Semarang.

Banyak hal menarik yang dapat dicatat sebagai buah kiprah Romo Kanjeng, demikian dia sering dipanggil. Utamanya ialah perihal upayanya untuk mengintegrasikan antara kekristenan khususnya Katolik dan nasionalisme atau kebangsaan menjadi satu entitas, yaitu Indonesia.

Dimensi kekatolikan dan kebangsaan Soegijapranata ini setidaknya mengemuka pada beberapa aktivitasnya, antara lain, pertama, keterlibatannya dalam mengembangkan majalah Katolik berbahasa Jawa, Swaratama. Aspirasi kebangsaannya sudah mulai terlihat sejak masa itu. Kedua, dukungan moralnya atas Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD) yang berdiri pada 1923, dan pada 1930 berubah dan meluaskan diri menjadi Perkoempoelan Politik Katolik Indonesia (PPKI).

Ketiga, pada awal kemerdekaan Soegijapranata mengeluarkan instruksi kepada umat Katolik Jawa (Indonesia) untuk terlibat aktif dalam revolusi nasional. Soegijapranata sendiri secara simbolik juga memindahkan kantornya dari Semarang ke Yogyakarta, seiring dengan perpindahan Ibukota Republik Indonesia ke kota tersebut. Keempat, keteguhannya untuk terus menyuarakan slogan “100% Katolik, 100% Indonesia” kepada umat Katolik di Indonesia.

Dan terakhir atau kelima, terlibat dalam perjuangan diplomasi di tingkat internasional dalam kerangka pergerakan nasional. Sekalipun tentu bukan merupakan bentuk keterlibatan langsung sebagai juru runding dalam forum Renvile atau Linggarjati, misalnya, Soegijapranata tercatat turut menggalang dukungan internasional bagi upaya pengakuan kemerdekaan Indonesia.

Bentuk penggalangan dukungan internasional ini bisa jadi dilakukan Soegijapranata melalui artikel atau wawancara dengan media asing atau menulis surat ke Vatikan. Isinya selain menceritakan kondisi obyektif terkait tindakan aksi ‘polisionil Belanda’ yang kejam maupun dampak negatifnya, juga tersurat tegas Soegijapranata berani menunjukkan sikap simpati pada agenda perjuangan nasional.

Ya, bagi Soegijapranata, kekristenan itu tak boleh menggerus nasionalisme. Kekristenan itu harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu interaksi kebangsaan. Menurut Soegijapranata, orang Katolik Indonesia harus berguna tidak hanya bagi gerejanya, tetapi juga bagi bangsa dan negaranya. Lebih jauh, seturut pendapatnya, orang Katolik bahkan baru berguna bagi gerejanya bila telah berguna bagi bangsa dan negaranya.

“Jika kita sungguh-sungguh Katolik sejati”, demikian ujar Soegijapranata suatu ketika, maka “kita sekaligus seorang patriot sejati”. Lanjutnya, “Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriot, justru karena kita 100% Katolik.

Soegijapranata meninggal dunia pada 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Desa Steyl, Belanda, setelah menghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Presiden Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink.

Menyadari kontribusinya pada bangsa dan negara nisbi tidaklah kecil, Presiden Soekarno pada 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soegijapranata, bahkan saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.

Tak salah jikalau Garin Nugraha, selaku sutradara film berjudul “Soegija”, sebuah film yang mengangkat narasi kemanusiaan, kemudian juga lebih menempatkan Monseigneur Soegijapranata SJ ini sebagai pahlawan nasional dan bukan pahlawan agama tertentu. (W-1)