Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal pada Rabu, 11 September 2019. Suami dari Hasri Ainun Besari ini tercatat menjadi presiden tersingkat. Sekalipun singkat, bicara soal agenda pluralisme atau multikulturalisme barangkali Habibie sebenarnya juga tak kalah dengan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid. Mari kita simak catatan kiprahnya.
Presiden Habibie menerbitkan Instruksi Presiden No 26 Tahun 1998 tentang Penghapusan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi. Peraturan ini menghapuskan istilah pribumi dan nonpribumi. Salah satu isi inpres ini memerintahkan semua unsur pemerintahan mulai dari lembaga tinggi negara sampai tingkat gubernur, bupati, dan wali kota untuk tak menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan kebijakan dan pelayanan.
Presiden Habibie juga menerbitkan Instruksi Presiden No 4 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Bukti Kewarganegaraan, di mana pada Pasal 1 Poin 4 berisi penghapusan keberadaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI). Sebelum inpres ini terbit, masyarakat Tionghoa wajib menyertakan SKBRI setiap hendak mengurus apapun.
Menariknya, konsistensi Habibie untuk memperjuangkan isu pluralisme dan menghilangkan prasangka rasialisme pada etnis Tionghoa tampaknya tidak pernah surut. Jumat, 29 Agustus 2013, dalam sebuah orasi di Masjid Lautze di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Habibie berkata, “Hadiah terbesar bangsa Cina ke Indonesia adalah agama Islam.”
Menurut penemu Crack Progression Theory atau juga sering disebut Teori Habibie itu, Islam masuk ke Indonesia atau khususnya di Pulau Jawa dibawa masuk oleh Laksamana Cheng Ho, di permulaan awal abad ke-15.
Sudah tentu pemaparan mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia yang saat itu masih bernamaPT Industri Pesawat Terbang Nurtanio itu adalah sebuah statemen yang kritis dan berani. Dikatakan berani karena hipotesa perihal sejarah Islamisasi di Indonesia dibawa masuk oleh etnis Tionghoa, sekalipun berpijak pada hasil penelitian sejarah, buku seperti itu dulu pernah dinyatakan sebagai terlarang di zaman Orde Baru.
Dikatakan berani, karena pernyataan Presiden ke-3 ini sekaligus menawarkan spirit dekontruksionisme untuk menepis padangan stereotype dan prasangka etnis pada kelompok etnis Tionghoa, yang diakui atau tidak sebenarnya bukanlah semata menggejala dalam masyarakat Indonesia melainkan bahkan juga di Asia Tenggara. Anthony Ried (2018) dalam artikelnya China dan Negara: Analogi Yahudi mencatat fenomena etnis Tionghoa sebagai minoritas entrepreneurial bagi Asia Tenggara, yang posisinya secara sosial memiliki kemiripan dengan etnis Yahudi bagi Eropa Tengah di masa lalu.
Sudah tentu tawaran Habibie ialah melihat sejarah secara objektif dan terbangunnya spirit masyarakat pluralisme atau multikulturalisme, nirdiskriminasi dalam kredo Bhinneka Tunggal Ika.
Upaya Identifikasi Tokoh
Seperti diketahui, pada 1968 sejarawan Slamet Muljana dalam disertasi doktoralnya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, pernah merumuskan hipotesa, bahwa Islam secara historis dibawa masuk ke Tanah Jawa oleh para ulama etnis Tionghoa. Karena memancing kontroversi, pada 1971 buku ini dilarang oleh Orde Baru.
Secara epistemologis merujuk pada tiga sumber yaitu Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, dan naskah dari Kelenteng Sam Po Kong dan Talang yang ditulis oleh Poortman dan kemudian dikutip oleh Parlindungan, penelitian sejarah Slamet Muljana tiba pada kesimpulan bahwa para ulama ini, yang dalam masyarakat Jawa melegenda dengan sebutan Wali Songo, diyakini berasal dari Campa (Kamboja atau Vietnam).
Hipotesa Muljana tentu saja tidaklah muncul serta-merta. Merujuk artikel Asvi Warman Adam (2005) Walisongo Berasal dari China, hipotesa ini berawal dari rasa penasaran pemerintah kolonial Belanda tentang identitas etnis Raden Patah. Kecurigaan ini berawal dari penyebutan Panembahan Jimbun sebagai gelar Raden Patah dalam Serat Kanda; atau Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Dalam bahasa China dialek Yunan, kata ‘jin bun’ memiliki arti “orang kuat”.
Maka pada 1928, Residen Poortman mendapat perintah untuk menyelidiki apakah Raden Patah ialah orang beretnis Tionghoa ataukah bukan. Memanfaatkan momentum politik pascaingar-bingar pemberontakan kaum komunis pada 1926 dan kebijakan represif oleh pemerintah kolonial Belanda, Poortman menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan Talang, serta mengangkut naskah-naskah tua yang tersimpan di sana. Sebanyak tiga cikar naskah kuno berbahasa Tionghoa diambilnya. Sebagian besar naskah itu berusia lebih dari empat abad.
Lantas, Poortman membuat riset dari dokumen-dokumen Kelenteng Sam Po Kong dan Talang. Hasil penelitian itu, atas permintaan Poortman sendiri, harus dirahasiakan dan hanya boleh dibaca oleh pejabat-pejabat tertentu saja. Hanya dicetak lima eksemplar, hasil penelitian itu diberi status GZG (Geheim Zeer Geheim) yang artinya “sangat rahasia”, dan ditambah keterangan uitsluitend voor Dienstgebruik ten Kantore yang artinya “hanya boleh digunakan di kantor saja.
Poortman khawatir, jika penelitian itu diketahui khalayak luas, maka dipastikan akan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di Pulau Jawa.
Hasil penelitian yang berstatus “sangat rahasia” menjadi tidak lagi bersifat rahasia, saat Mangaraja Onggang Parlindungan, sosok yang secara personal sangat dekat dengan Residen Poortman, mengutip sumber tersebut untuk menulis bukunya Tuanku Rao. Singkat kata, buku yang berisi geneologi keluarga Parlindungan ini memuat lampiran yang diambil dari penelitian awal Poortman tentang Raden Patah yang notabene beretnis Tionghoa.
Menurut Slamet Muljana, Islamisasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembentukan masyarakat Tionghoa Islam yang pertama. Dibentuk oleh Laksamana Cheng Ho di Palembang pada 1407. Raden Patah atau Jin Bun, seorang peranakan Tionghoa, buah cinta antara ibu Putri Cina (wanita peranakan) dan ayah Prabu Brawijaya V (Kertabhumi – Raja Majapahit), lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat Tiongoa Islam di Palembang pada 1455. Nanti Raden Patah tercatat datang ke Pulau Jawa pada 1474.
Singkat cerita, dengan bantuan Wali Songo, yang sebagian besar juga datang dari Campa atau peranakan Tionghoa itu, Raden Patah atau Jin Bun mendirikan Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa. Dalam perjalanannya kerajaan ini kemudian menyerang dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit di tahun 1478, yang ketika itu tengah diperintah oleh ayahnya, Kertabhumi. Sejak itu pupuslah kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha di Jawa yang telah ada sejak tahun 400 M, digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Dikatakan pula bahwa Kerajaan Demak berturut-turut diperintah oleh raja-raja beretnis Tionghoa: Jin Bun (Raden Patah, 1478-1518), Yat Sun (Adipati Unus, 1518-1521), Tung Ka Lo (Trenggana, 1521-1546), Muk Ming (Sunan Prawata, 1546).
Sementara, beberapa Wali Songo yang beretnis Tionghoa atau peranakan Tionghia, menurut Slamet Muljana antara lain:
- Bong Swi Hoo/ Raden Rahmat/ Sunan Ampel, asal Campa yang datang ke Jawa pada 1445 dan membentuk masyarakat Islam Jawa di Ampel;
- Sunan Bonang, putra Sunan Ampel, peranakan Tionghoa ini sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa;
- Gan Si Cang/Raden Said/ Sunan Kalijaga, adalah seorang kapten kapal Cina di Semarang, putra Gan Eng Cu alias Arya Teja di Tuban;
- Toh A Bo/ Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati, anak Sultan Trenggana (Tung Ka Lo), raja Demak, yang merupakan panglima tentara Demak;
- Dja Tik Su/ Jafar Sadik/Sunan Kudus;
- Sunan Giri, murid Sunan Ampel, peranakan Tionghoa ini sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa.
Pendapat Slamet Muljana ini menimbulkan reaksi baik dari masyarakat maupun pemerintah. Selama ini masyarakat secara umum beranggapan, bahwa para Wali Songo berasal dari Gujarat, Arab, Hadramaut atau Yaman, bukan dari Campa atau beretnis Tionghoa.
Pertanyaannya ialah, apakah benar atau tidak yang ditulis Slamet Muljana? Tentu saja, para ahli sejarah yang harus membuktikannya. Penelitian lanjutan yang juga menarik ialah karya Sumanto Al Qurtuby. Berasal dari tesisnya di jurusan Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, bukunya Arus Cina-Islam-Jawa: Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad 15 & 16, menyajikan data-data yang sangat menarik berkaitan penyebaran Islam di Nusantara.
Selain dari sumber lokal seperti Babad Tanah Djawi, Babad Gresik, Babad Tuban, Qurtuby juga merujuk pada sumber Cina. Misalnya, Ying-yai Sheng-lan, Hsin-cha Sheng-lan, Ming Shi. Pun merujuk sumber Portugis seperti Summa Oriental maupun sumber Arab seperti ‘Ajaibil Hindi. Menariknya lagi, penelitian ini juga merujuk sumber lisan yang berkembang di masyarakat sekitar situs-situs sejarah seperti makam, masjid, keraton, dan peninggalan sejarah lainnya.
Kesimpulan Qurtuby tak jauh berbeda dari Slamet Muljana. Masuknya Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Tionghoa. Mereka yang dikenal dengan sebutan “Wali Songo”, sebagian di antaranya adalah etnis Tionghoa. Pun para raja di Jawa, Kerajaan Demak, sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara ditengarai adalah “rezim Tionghoa.” Sedangkan bicara perihal sejauh mana kontribusi masyarakat Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara, Qurtuby mencatat peran determinan mereka baru terasakan di akhir abad ke-18.
Hipotesa masuknya Islam di Indonesia karena kontribusi etnis Tionghoa ini tampak semakin kukuh sejalan dengan hadirnya banyak penelitian lainnya. Sebutlah disertasi doktoral Tan Ta Sen, misalnya, yang kemudian diterbitkan dengan judul Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara.
Tanpa mengesampingkan peranan orang muslim Arab dan India, menurut Tan Ta Sen orang-orang muslim Tionghoa juga ikut memainkan peran penting dalam sejarah Islamisasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Teori besarnya kontribusi Cina daripada Arab atau India dalam proses Islamisasi ini, semakin diperkuat oleh banyak bukti terkait pelayaran bersejarah Cheng Ho di awal abad ke-15.
Tak jauh berbeda dengan Slamet Muljana dan Sumanto Al Qurtuby, Tan Ta Sen pun mencatat, masyarakat Tionghoa Islam berperan besar mendirikan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, yakni Kerajaan Demak pada akhir abad ke-15. Menariknya, banyak dari tokoh masyarakat Tionghoa Islam itu dianggap sebagai guru-guru sufi bagi masyarakat Jawa, dan berhasil meningkatkan statusnya menjadi orang-orang suci nan melegenda yang sohor disebut Wali Songo.
Membaca berbagai riset sejarah di atas, di sini muncul pertanyaannya lebih jauh, yaitu: mengapa masyarakat Muslim di Indonesia lebih banyak yang meyakini kontribusi orang-orang Arab ketimbang orang-orang Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara?
Jelas, bahwa pandangan stereotype dan prasangka etnis kepada etnis Tionghoa ini mulai terbangun sejak kedatangan kolonialisme Belanda ke Nusantara. Politik agregasi yang dibangun oleh Pemerintah Belanda sengaja menempatkan orang-orang Tionghoa sebagai “kambing hitam” atas segala kekacauan yang sebenarnya merupakan implikasi negatif dari proyek kolonialisme itu sendiri.
Pada titik inilah, orasi Presiden ke-3 BJ Habibie di Masjid Lautze di Pasar Baru, Jakarta Pusat, jelas bermakna strategis bagi upaya pemaknaan kembali terhadap sejarah dan kontribusi etnis Tionghoa bagi Indonesia secara apa adanya. Orasi Habibie ialah sebuah seruan bagi upaya pemaknaan kembali sejarah pascakolonialisme, sebuah agenda yang belum sepenuhnya usai. (W-1)