Sosoknya mematung terkungkung di sebuah ruangan terbuka berpintu jeruji besi. Dinding berbentuk kawat baja anyaman ikut mengelilingi ruangan seluas tak lebih dari 200 meter persegi.
Sinar matahari yang leluasa menembus sisi-sisi dinding kawat anyaman membuat tubuh hitam legamnya semakin mengkilat. Namun Mak Itam tetap saja membisu, seolah tak peduli dengan teriknya mentari.
Ada sedikit rona merah terdapat di bagian depannya dan terdapat plang besi dengan tulisan "E1060" pada bagian jidatnya. Itulah gambaran Mak Itam, sebuah lokomotif uap tua legendaris dari Ranah Minang.
Nama Mak Itam dalam bahasa setempat berarti paman hitam. Nama itu diberikan karena selain tubuhnya yang legam, ada asap hitam pekat yang keluar dari cerobong.
Hasil pembakaran batu bara di ruang pembakaran yang berbentuk tabung besar yang menjadi kepala lokomotif buatan pabrik Maschinenfabrik di Esslingen Jerman itu meninggalkan bekas khas di udara. Lokomotif ini dikirim pada 21 Oktober 1966 dan menjadi produk terakhir Esslingen sebelum tutup produksi.
Stasiun Sawahlunto menjadi rumah terakhir bagi Mak Itam setelah mengabdi sebagai penarik gerbong batu bara serta gerbong penumpang selama 50 tahun di kawasan Ombilin, Sawahlunto.
Ia menjadi penghuni Stasiun Sawahlunto bersama lima gerbong tua. Stasiun ini dijadikan Museum Kereta Api Sawahlunto sejak diresmikan pada 17 Desember 2005 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Demikian dikatakan Ella Ubaidi, pemerhati konservasi dan geopark yang pernah menjabat Kepala Pusat Pelestari Benda dan Aset Bersejarah PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Sebelum menetap di Museum Kereta Api Sawahlunto, Mak Itam sempat tinggal di Museum Kereta Api Ambarawa di Jawa Tengah. Lokasi itu bisa disebut sebagai rumah peristirahatan pertama Mak Itam, setelah purnatugas. Itu terjadi pada 1988 setelah PT KAI yang saat itu masih bernama Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) memperkenalkan lokomotif bertenaga diesel sebagai penarik hasil tambang Ombilin.
Mak Itam pulang kampung pada 3 Desember 2007 atas permintaan Pemerintah Kota Sawahlunto, untuk melengkapi koleksi lokomotif tua, tatkala Museum Kereta Api Sawahlunto mulai dioperasikan.
Ketika dipindahkan dari Ambarawa ke Sawahlunto, kondisi Mak Itam masih layak operasi. Ia menjadi satu di antara tiga lokomotif uap di Indonesia yang masih mampu dioperasikan setelah lokomotif uap penarik kereta wisata rute Ambarawa-Bedono dan lokomotif uap penarik Jaladara, kereta wisata di dalam Kota Solo.
Pada awal 2009 Mak Itam dikaryakan sebagai lokomotif penarik gerbong kereta wisata rute pendek, Sawahlunto-Muaro Kalaban, sejauh delapan kilometer, dan bergantian dengan lokomotif diesel menjadi penarik kereta wisata Danau Singkarak pada tahun yang sama. Sekali jalan, lokomotif uap mampu menghabiskan satu ton batu bara untuk bahan bakarnya ini.
Mak Itam terakhir kali digunakan sebagai penarik kereta wisata ketika digelarnya lomba balap sepeda bertaraf internasional, Tour de Singkarak, dalam dua penyelenggaraan berturut-turut, yakni 2011 dan 2012.
Saat itu Mak Itam bertugas membawa ratusan peserta balap sepeda dari 23 negara melakukan perjalanan wisata sebelum mereka memulai lomba. Setelah acara berakhir, Mak Itam tak lagi dioperasikan untuk penarik kereta wisata di kawasan Sawahlunto.
Apalagi karena Mak Itam mengalami sebuah cedera fatal, akibat kebocoran pada pipa pemanas air di ruang pembakaran. Hal itu membuatnya lumpuh untuk sementara waktu, karena tak ada lagi suku cadang yang tersedia.
Saksi Bisu Ombilin
Mak Itam tak lepas dari sejarah panjang tambang batu bara di kawasan Ombilin, Kota Sawalunto, yang berhawa sejuk dan telah masuk dalam daftar warisan dunia kategori budaya yang ditetapkan oleh UNESCO pada 6 Juli 2019.
Semua berawal dari penemuan kandungan batu bara oleh geolog Hindia Belanda Willem Hendrik de Greeve pada 1867. Mengutip laporan ilmiah "Sawahlunto Menyongsong Kota Tambang yang Berbudaya" yang ditulis Andi Asoka pada 2005 disebutkan bahwa de Greeve menemukan adanya cadangan batu bara mencapai dalam jumlah besar, yakni 200 juta ton dengan kualitas di atas 4.500 kalori per kilogram batu bara dan masuk kategori terbaik saat itu. Lokasinya terdapat di sekitar aliran Batang Ombilin.
Temuan itu ditindaklanjuti Pemerintah Hindia Belanda dengan pembangunan sarana dan prasarana. Salah satunya jalur kereta api untuk mengangkut hasil batu bara dari kawasan tambang di Sawahlunto menuju ke Pelabuhan Emmahaven di Kota Padang sejauh 150 kilometer. Pelabuhan itu dikenal sebagai Teluk Bayur.
Pemerintah kolonial menugaskan perusahaan kereta api Sumatra atau Sumatra Staats Spoorwegen Westkust sebagai pelaksana pembangunan yang dimulai pada awal 1891. Melibatkan puluhan ribu pekerja termasuk sebanyak 20.000 narapidana dari berbagai penjara milik pemerintah kolonial saat itu, jalur kereta api ini rampung dikerjakan pada 1 Januari 1894.
Jalur kereta tak hanya melintasi kawasan terbuka, melainkan juga menembus perbukitan Bukit Barisan melalui Lubang Kalam, sebuah terowongan sepanjang 825 meter yang berjarak sekitar 500 meter dari Stasiun Sawahlunto. Lubang Kalam yang dikerjakan pada 1891 hingga 1894 menjadi akses tercepat saat itu dari Sawahlunto menuju Muaro Kalaban. Terowongan itu kini masuk dalam daftar cagar budaya Kota Sawahlunto.
Menurut pemerhati kereta api Yoga Bagus Prayogo dalam bukunya mengenai sejarah lokomotif di Indonesia, Mak Itam merupakan lokomotif uap spesial karena memiliki gigi yang digunakan untuk melahap rute rel menanjak dan berkelok-kelok. Ya, rute jenis ini banyak terdapat di lintasan Sawahlunto-Teluk Bayur.
Jalur berpemandangan alam nan indah ini dilahap Mak Itam nonstop selama 10 jam. Lokomotif ini menggunakan susunan roda 0-10-0, yang artinya memiliki 10 roda penggerak yang digerakkan bersama-sama oleh sebuah batang penggerak.
Lokomotif ini mampu menarik 40 gerbong batu bara dengan berat muatan hingga 130 ton sekali perjalanan. Lokomotif ini memiliki empat silinder dengan dua di antaranya merupakan silinder untuk menggerakkan gigi-giginya.
Desmiarti, warga kota Padang yang tinggal tak jauh dari pintu kereta Teluk Bayur mengenang Mak Itam dengan jerit khasnya ketika melintasi pintu kereta menuju kawasan pelabuhan. Perempuan 66 tahun itu kini hanya bisa memandang dari balik jeruji besi Museum Kereta Api Sawahlunto, saat Mak Itam terdiam.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini