Anggrek merupakan salah satu tanaman hias yang sangat popular. Saking populernya, semua orang rasa-rasanya pasti mengenalnya. Terlebih dalam budaya urban, anggrek lazim dipergunakan untuk berbagai ritus sosial. Sebutlah seperti upacara keagamaan, hiasan dan dekorasi ruangan, ungkapan rasa cinta, atau sekadar untuk memberikan selamat pada momen perayaan maupun ungkapan duka cita pada momen kematian.
Namun demikian barangkali saja masih banyak yang belum tahu, tanaman ini dulunya justru dianggap sebagai representasi kaum laki-laki. Setidaknya jika menyimak pada pemberian istilah atau penamaan tanaman ini. Kasat mata bahasa yang dikenakan memiliki artikulasi maskulin daripada feminim.
Seperti diketahui, anggrek termasuk dalam family Orchidaceae. Berasal dari bahasa Yunani, orchid, yang secara etimologis berasal dari kata orchis yang berarti “testicle” atau buah zakar. Istilah orchid sendiri diintroduksi pada 1845 oleh John Lindley sebagai kependekan dari orchidaceae.
Merujuk Ayub S Parnata dalam Panduan Budi Daya dan Perawatan Anggrek (2007), konon, pada zaman dahulu di Yunani, anggrek biasa diidentikkan dengan keberadaan kaum pria, baik itu terkait warna dan bentuknya. Anggrek jadi representasi yang melambangkan kesuburan dan kejantanan. Bahkan di sana juga ditemui mitos, jika mengonsumsi anggrek muda maka seorang bisa memilki anak laki-laki, dan jika mengonsumsi anggrek tua melahirkan anak perempuan.
Indonesia memiliki mitos lainnya. Sebutlah misalnya anggrek kalajengking atau yang dikenal dengan nama ilmiah Arachnis flos-aeris. Berbentuk menyerupai kalajengking atau ketonggeng, bunga ini pertama kali ditemukan Schlechter di Minahasa pada 1911. Berada di daerah berketinggian 800—1.000 meter, bunga ini dipercayai membawa sugesti buruk bagi yang menanamnya. Konon, siapapun yang menanam anggrek jenis ini biasanya akan memengalami kesusahan hidup, seperti sering terserang penyakit, rumah tangga tak harmonis, dan lainnya.
Tentu salah jika di sini kita bermaksud bergerak lebih jauh mendedah kebenaran mitos dan sejarah terkontruksinya mitos anggrek sebagai simbol kaum laki-laki. Pun mendedah kebenaran dan makna mitos anggrek kalajengking, juga bakalan berujung kesia-sian. Pasalnya mitos sering memiliki logika pemahaman tersendiri, yang seringkali tidak mudah dipahami oleh rasionalitas modern.
Ketimbang bicara soal mitos anggrek, di sini tentu akan menjadi bermakna penting sekiranya kita bergerak lebih jauh untuk mengenali kekayaan dan keanekaragaman hayati di sekitar kita. Ya, sekalipun luas wilayah Indonesia hanya sekitar 1,3% dari luas bumi, Indonesia memiliki tingkat keberagaman kehidupan yang sangat tinggi.
Merujuk artikel Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia yang ditulis Cecep Kusmana dan Agus Hikmat (2017), bicara kategori tumbuhan atau flora, Indonesia setidaknya memiliki 25% dari spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia. Ini berarti Indonesia merupakan urutan negara terbesar ketujuh dengan jumlah spesies mencapai 20.000 spesies, di mana 40 persen di antaranya merupakan tumbuhan endemik atau asli Indonesia. Famili tumbuhan yang memiliki anggota spesies paling banyak adalah anggrek-anggrekan (Orchidaceae).
Sementara, bicara anggrek lndonesia dikenal sebagai salah satu pusat keragaman anggrek di dunia. Petatah-petitih Melayu, “tak kenal maka tak sayang”, tampaknya masih relevan sebagai alasan menulis soal keragaman spesies anggrek Indonesia.
Spesies Asli
Anggrek (Orchidaceae) merupakan tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Tak heran, apabila tanaman anggek bisa dijumpai hampir di seluruh bagian di dunia. Lokasi tumbuh mereka juga bisa sangat beragam. Mulai dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, mulai dari kawasan yang bersuhu dingin hingga bersuhu panas.
Secara umum anggrek bisa digolongkan menjadi dua, yaitu epifit dan terresterial. Kategori epifit merupakan jenis anggrek yang tumbuhnya menempel pada tanaman lain, namun tidak bersifat parasit atau merugikan tanaman yang ditumpanginya. Contoh anggrek jenis ini ialah genus Dendrobium, Bulbophyllum, dan Coelogyne. Sedangkan kategori terresterial adalah anggrek yang tumbuhnya di tanah, contohnya ialah genus Spathoglottis, Calanthe, dan Paphiope-dilum.
Merujuk buku berjudul Anggrek Spesies Indonesia, yang diterbitkan oleh Direktorat Pembenihan Hortikultura Kementrian Pertanian Republik Indonesia, sejauh ini setidaknya telah teridentifikasi sekitar 750 famili, 43.000 spesies dan 35.000 varietas hibrida anggrek dari seluruh penjuru dunia.
Indonesia sendiri kurang lebih memiliki 5.000 spesies. Di antara jumlah tersebut diketahui merupakan spesies asli Indonesia, baik yang tumbuh di hutan belantara maupun telah dibudidayakan oleh masyarakat. Dari jumlah itu, 986 spesies tersebar di Pulau Jawa; 971 spesies berada di Pulau Sumatra; 113 spesies tumbuh di Kepulauan Maluku; dan sisanya bisa ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya, Nusa Tenggara, dan Kalimantan.
Penting dicatat di sini, anggrek spesies adalah istilah untuk merujuk tanaman anggrek yang tumbuh secara alami dan pada umumnya berkembang di ekosistem hutan, serta belum dikawinsilangkan secara buatan dengan anggrek jenis lain. Anggrek spesies juga sering disebut angrek hutan merupakan plasma nutfah sebagai sumber keragaman hayati.
Merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi, terdapat 27 anggrek yang statusnya ditetapkan sebagai dilindungi dari ancaman kepunahan.
Masih dalam kerangka konservasi, pada 9 Januari 1993 pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) No 4 tahun 1993 menetapkan Anggrek Bulan sebagai Puspa Pesona. Bernama latin Phaleonopsis amabilis, anggrek ini tumbuh menempel pada batang atau cabang pohon merupakan salah satu jenis anggrek endemik Indonesia. Adalah Karl Ludwig von Blume (1796 - 1862), seorang ahli botani berdarah Jerman Belanda, ialah sang pemberi nama. Phalaenopsis terdiri dari dua kata Bahasa Yunani, yakni “phalaena” dan “opsis”, yang berarti tampak mirip kupu-kupu. Sementara, amabilis berarti indah dan mempesona. Warnanya yang putih memancarkan keindahan membuat Anggrek Bulan Putih ini, demikian sohor disebut, terpilih sebagai bunga nasional Indonesia.
Menariknya, merujuk kembali buku Anggrek Spesies Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 500 spesies adalah komoditas bernilai komersial untuk dikembangkan. Merujuk catatan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian dalam Outlook Anggrek (2015), jenis anggrek yang banyak dibudidayakan untuk tujuan komersial adalah Dendodrium, Cattleya, Vanda, dan Orcidium. Anggrek Dendrobium merupakan salah satu jenis anggrek yang banyak digemari. Selain harga yang cukup terjangkau, budidaya anggrek Dendrobium juga nisbi mudah dilakukan.
Seperti diketahui, tanaman anggrek di lndonesia menempati posisi penting dalam industri florikultura. Florikultura ialah cabang ilmu hortikultura yang mempelajari budidaya tanaman hias seperti bunga potong, tanaman pot, atau tanaman penghias taman.
Bicara keunggulan anggrek dari aspek bisnis disebabkan, antara lain, jenisnya yang beraneka ragam, baik itu terkait bentuk dan warna serta ukuran bunganya. Selain itu, juga umumnya memiliki periode fase hidup yang lebih panjang dibandingkan bunga potong lainnya. Pemasaran anggrek bisa dalam bentuk compot, tanaman individu atau tanaman remaja, tanaman dewasa dan bunga potong.
Kembali pada anggrek spesies. Bicara anggrek spesies sejatinya merupakan titik tolak produksi hasil silangan yang mempunyai nilai ekonomis. Keanekaragaman anggrek spesies di Indonesia jelas jadi potensi sebagai induk silangan. Adanya banyak induk silangan ini jelas memungkinkan munculnya temuan anggrek varitas-varitas baru.
Hasilnya akhirnya, diharapkan bukan saja akan semakin memperkaya dan menambah keanekaragaman hayati anggrek di Indonesia, tetapi lebih jauh memberi keunggulan komparatif tersendiri atas komoditas anggrek indonesia yang bernilai ekonomis tersebut. (W-1)