Indonesia.go.id - Akasia Berduri, Dulu Didatangkan, Kini Jadi Ancaman

Akasia Berduri, Dulu Didatangkan, Kini Jadi Ancaman

  • Administrator
  • Sabtu, 27 Juni 2020 | 00:53 WIB
FLORA
  Pohon akasia banyak tumbuh di savana Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/pras.

Akasia berduri bukanlah tanaman asli Taman Nasional (TN) Baluran, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Ia didatangkan dari Kebun Raya Bogor untuk keperluan sekat bakar. Tapi sekarang, flora itu malah berkembang menjadi ancaman.

Keberadaan gunung api purba Baluran di tengah-tengah kawasan konservasi seluas 25.000 hektare di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, memiliki arti tersendiri. Muntahan material vulkanik jutaan tahun silam dari perut gunung dengan puncak kaldera yang berada di ketinggian 1.247 meter di atas permukaan laut (dpl) itu menyebar rata di permukaan TN Baluran. 

Material vulkanik dari perut bumi yang kaya kandungan mineral ini perlahan memberikan sumber kehidupan terutama bagi ekosistem flora untuk bertumbuh kembang. Padang rumput atau sabana yang mendominasi 40 persen dari ekosistem tumbuhan di Baluran terbantu pertumbuhannya oleh kehadiran tanah vulkanik berciri khas hitam dan liat. Berdasarkan catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 1997 di TN Baluran terdapat 51 spesies tumbuhan bawah yang terdiri dari rumput dan semak nonrumput. 

Tumbuhan bawah tadi merupakan pakan alami satwa terutama jenis mamalia, salah satu dari dua jenis satwa yang hidup di Baluran. Mamalia besar seperti kerbau liar (Bubalus bubalis), rusa timor (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Serpus sp.), dan banteng jawa (Bos javanicus) adalah pelahap utama dari pakan alami yang tersebar merata di sabana seluas total 10.000 ha dari kawasan taman nasional di Baluran ini.   

Tanah vulkanik di padang sabana Baluran tak hanya dinikmati oleh spesies tumbuhan bawah. Namun, menjadi pula rumah yang nyaman bagi bertumbuhnya pohon akasia berduri atau Acacia nilotica. Tanaman ini mampu beradaptasi dengan sangat baik di kawasan ini. Setidaknya itu bisa kita lihat ketika berdiri di atas Watunumpuk di kawasan Karangtekok yang berada di sisi barat laut TN Baluran. Sabana yang semula berupa ekosistem terbuka didominasi rumput-rumputan, kini menjadi areal yang ditumbuhi rimbunan akasia berduri sehingga menjadi sangat rapat membentuk kanopi. 

Kehadiran akasia berduri bermula dari sering terbakarnya sabana ketika musim kemarau. Api kebakaran di sabana kerap merembet ke kawasan hutan musim. Bekas hutan yang terbakar kemudian berubah menjadi sabana. Untuk mencegah meluasnya kebakaran terutama di kawasan Sabana Bekol yang merupakan padang terluas di Baluran ke hutan musim yang ada di sekitarnya, maka ditanamlah akasia berduri.

Penanaman akasia berduri itu pertama kali dilakukan pada 1960 sebagai tanaman sekat bakar (firebreaks) di alur sepanjang 1.200 meter dengan lebar delapan meter. Akasia berduri bukanlah tanaman asli TN Baluran. Ia didatangkan dari Kebun Raya Bogor.

Akasia ini  di Kebun Raya Bogor sudah ada sejak 1850 sebagai hibah dari pengelola Kebun Botani Kalkuta, India. Kalkuta ingin akasia berduri ini bisa dikembangkan juga di Bogor karena memiliki nilai komersial disebabkan mampu menghasilkan getah (gum) yang berkualitas tinggi. 

Sayangnya, selama 40 tahun dikembangkan di Bogor, getah yang dihasilkan tak seperti yang diharapkan. Alhasil, mayoritas tanaman yang mampu bertumbuh hingga 20-25 meter ini terpaksa harus ditebang dan hanya menyisakan sebagian kecilnya saja. Kemudian, sisa tanaman yang tetap dipertahankan di Kebun Raya Bogor itu akhirnya dipindahkan ke Baluran sebagai bagian dari program sekat bakar.

Akasia berduri merupakan tanaman tropis hingga subtropis dan dapat berkembang biak dengan cepat di atas tanah dengan kandungan liat tinggi. Dapat pula berkembang di tanah lempung berpasir dengan curah hujan tinggi. Ia diketahui dapat tumbuh subur di tanah vulkanik dan tanah dengan unsur hara yang minim. 

 

Tanaman Asli Afrika 

Habitat aslinya ada di kawasan sabana Afrika Selatan sebelum menyebar luas ke sebagian besar sabana Afrika lainnya seperti Senegal, Sudan, Ethiopia, Somalia, Tanzania, dan Mozambik. Dalam jumlah yang lebih kecil, akasia berduri juga dapat dijumpai di India, Pakistan, dan Timur Tengah serta sebagian Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Akasia berduri juga dapat ditemui di sabana Australia, seperti di New South Wales dan selatan benua kanguru.

Acacia nilotica tergolong pohon kecil (treeless) dengan ketinggian rata-rata 2,5-10 meter meski tak sedikit pula yang bertumbuh lebih tinggi lagi. Memiliki satu batang utama, percabangannya membentuk bagian puncak pohon membulat seperti payung mengembang atau mendatar. Di percabangan pohonnya terdapat duri runcing putih keperakan dengan ukuran 1-13 sentimeter (cm).  

Polong dan daun Acacia nilotica mengandung karbohidrat serta protein tinggi sehingga menjadi pakan alami favorit mamalia besar, utamanya kerbau liar dan banteng jawa. Batang pohonnya kerap dikudap oleh kera besar Baluran sebagai obat antidiare. 

Satwa mamalia ikut membantu makin meluasnya populasi akasia berduri di TN Baluran. Ini lantaran satwa yang mengonsumsinya akan membuang kotoran, termasuk biji di dalam polong buah akasia berduri. Satwa seperti banteng jawa dan kerbau liar menelan utuh biji akasia berduri. Biji yang tidak tercerna akan mengalami penggosokan dan kondisi asam di dalam lambung selama 12–48 jam. Satwa-satwa itu akan membuang kotorannya di berbagai tempat sesuai daya jelajah si satwa. Pakar konservasi biologi dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Prof Djufri MS mengatakan persebaran biji akasia berduri yang dilakukan satwa di Baluran ini bisa mencapai jarak 1.000 kilometer dari pohon di mana si satwa memakan polongnya. 

 

Invasi Akasia Berduri

Biji akasia berduri yang terbawa bersama kotoran itu akan tetap lembab. Kotoran itu berfungsi sebagai pupuk, yang memungkinkan biji tersebut berkecambah segera setelah turun hujan. Ratusan, bahkan ribuan biji yang keluar bersama dengan kotoran itu di berbagai tempat akan menjadi area serbuan baru dari akasia berduri di TN Baluran. Di samping itu, penyebaran akasia berduri juga terjadi pada musim hujan. Biji akasia berduri yang bercampur dengan lumpur menempel pada kaki dan badan satwa-satwa itu kemudian terbawa dan jatuh di tempat lain, minimal dalam jarak 25 meter.

Djufri mengatakan, kondisi iklim dan alam di Baluran dengan intensitas cahaya matahari sepanjang tahun serta curah hujan yang tinggi menjadi faktor pendukung cepatnya pertumbuhan tanaman impor ini. Profesor biologi dari Institut Pertanian Bogor ini pernah meneliti soal akasia berduri di Baluran pada 2004. 

Kehadiran akasia berduri di Sabana Bekol hingga 2019 telah mencakup lahan seluas 420 ha. Di padang rumput ini banyak anakan akasia berduri yang tingginya antara 25-50 cm. Sisanya adalah akasia berduri umur antara 2–4 tahun, yang tingginya antara 2,5–6,5 meter.

Dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 100-200 ha per tahun, saat ini hampir 50 persen dari 10.000 ha luas sabana alami TN Baluran dikooptasi akasia berduri. Akasia berduri telah tersebar di hampir seluruh sabana yang ada di kawasan TN Baluran, seperti di Sabana Bekol, Kramat, Kajang, Balanan, Lempuyang, Dadap, Asam Sabuk, Curah  Udang, Widuri, dan Merak. Bahkan di Sabana Kramat, Kajang, dan Balanan, akasia berduri ini telah membentuk kanopi yang tertutup.

Akasia berduri telah mendesak ekosistem flora di sabana. Tumbuhan ini menyempitkan pertumbuhan rumput karena rapatnya kehadiran akasia berduri yang membentuk kanopi dan memberikan sedikit ruang bagi cahaya matahari untuk menembus hingga ke permukaan tanah. Kondisi ini membuat tanaman rumput dan semak perlahan mati. Padahal rumput dan semak menjadi pakan favorit sebagian mamalia termasuk rusa timor dan kijang. 

Jika pada 1997 masih terdapat 51 spesies tumbuhan bawah di padang sabana, maka pada 2015 kondisi itu telah berubah. Saat itu tinggal 38 spesies tumbuhan bawah yang masih bertahan dari invasi akasia berduri.

Pengelola TN Baluran telah berupaya menghentikan invasi akasia berduri itu. Salah satunya dengan pembasmian besar-besaran untuk memulihkan kondisi alam sabana akibat serbuan akasia berduri. Salah satunya dengan cara ditebang. Cara lain adalah dengan melumuri batang akasia dengan cairan arborisida agar mati dan tidak tumbuh lagi. Sepanjang 2017 hingga 2019 sudah 300 ha pohon akasia berduri berhasil dimusnahkan.

 

Ancam Banteng Jawa

Selain itu, karena akasia ini merupakan tumbuhan yang berduri, maka penyebarannya yang luas akan mengganggu daya jelajah satwa liar. Kenyataan ini mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem TN Baluran. Dengan berkurangnya pakan utama berupa rumput, keberadaan satwa herbivora di kawasan itu terancam. 

Salah satu yang terancam populasinya akibat invasi akasia berduri itu adalah satwa ikon TN Baluran, banteng jawa yang dapat hidup di daerah dengan ketinggian hingga 2.000 meter. 

Menurut Dona Octavia, peneliti biologi pada Balai Konservasi Kehutanan KLHK, Bos javanicus menyukai daerah bertopografi datar hingga sedikit bergelombang. Semula, Baluran sangat ideal bagi tumbuh kembang banteng dan satwa lainnya, karena di sana terdapat hutan alam primer tempat banteng berlindung dari serangan predator. Juga sebagai tempat beristirahat, tempat tidur, dan tempat berkembang biak.

Di Baluran terdapat sabana, bukan saja di pedataran, tapi juga terdapat di daerah yang berbukit. Dengan kondisi hutannya yang masih terjaga, di sana terdapat sumber air, yang memberikan pasokan air ke padang sabana. Di sana pun terdapat hutan pantai sebagai tempat berlindung dan beristirahat. Dan, Baluran berdekatan dengan laut, yang berperan penting untuk memenuhi kebutuhan mineral.  

Oleh karena itu sejak 2013, Baluran melakukan penangkaran banteng semi alami ketika populasi banteng jawa makin menyusut, menyisakan tak lebih dari 38 ekor. Bahkan pada 2008, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan banteng jawa sebagai endangered species atau spesies terancam punah ketika populasinya hanya tinggal 19 ekor saja. Ini sangat jauh dibandingkan populasi empat dekade sebelumnya yang mampu mencapai 300 ekor. 

Hasilnya penangkaran semi alami yang melibatkan pengelola kebun binatang di Kopenhagen, Denmark mulai terlihat pada 2015. Saat itu populasi banteng jawa naik perlahan menjadi 46 ekor. Berturut-turut pada 2016 berbiak menjadi 49 ekor. Setahun kemudian populasi banteng jawa melesat menjadi 70 ekor. Hingga 2018, populasi banteng jawa sudah mencapai 83 ekor.

Bila penangkaran semi alami itu berhasil, maka akan ada pelepasliaran banteng-banteng, dan ini akan memberikan harapan baru. TN Baluran adalah cermin. Di Baluran saat ini, terasa dan terbukti, dengan memasukkan tanaman asing ke dalam kawasan konservasi, telah terjadi gangguan mata rantai ekologi yang berdampak fatal. Dari tempat tinggi dan lingkungan sekitarnya di ujung Timur Pulau Jawa, kita belajar hubungan geologi dengan ekosistem yang khas, TN Baluran. Dari invasi akasia berduri di kawasan konservasi Baluran, kita pun belajar untuk arif dalam memungut sesuatu yang berasal dari luar.

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini