Indonesia.go.id - Kesultanan Bulungan yang Enggan Berperang

Kesultanan Bulungan yang Enggan Berperang

  • Administrator
  • Minggu, 22 September 2019 | 22:53 WIB
SEJARAH
  Museum Kesultanan Bulungan. Foto: Situs Budaya

Nusantara Indonesia terkenal dengan banyaknya kerajaan atau kesultanan yang ada. Berdiri sejak berabad lalu, ada yang mulai dari masa sebelum masehi hingga zaman modern.

Bahkan sampai kini masih terus ada yang mewarisi trah kerajaan dalam kehidupan negara kesatuan Republik Indonesia, misalnya; di Yogyakarta dan Solo. Namun tentu saja tak melanggar bentuk pemerintahan sesuai konstitusi.

Salah satu catatan sejarah adalah kesultanan yang bercokol di Indonesia adalah di Bulungan, Kalimantan Utara. Dengan sekelumit kisah dari kehidupan Kesultanan Bulungan. Menjadi mozaik keindonesiaan yang kaya histori. Rasanya, harus selalu lekang sebagai bagian dari peradaban budaya bangsa Indonesia.

Kesultanan Bulungan berdiri pada sekitar abad ke-16 masehi. Ketika itu Kesultanan Bulungan memiliki kekuasaan wilayah administratif meliputi Bulungan, Tana Tidung, Malinau, Nunukan, Tarakan, bahkan hingga Jawi (kini Sabah) Malaysia. Masa awal berdiri, Kesultanan Bulungan dipimpin oleh Datuk Mencang. Pada masa itu Datuk Mencang menikah dengan seorang wanita Dayak bernama Asung Luwan. Lalu setelah itu Datuk Mencang mencoba membangun tata kemasyarakatan (pemerintahan).

Kedatangan Datuk Mencang ke Bulungan berawal dari tersesatnya ia saat melakukan pelayaran di lautan luas. Datuk Mencang tersesat dan tiba di perkampungan suku Dayak Kayan yang merupakan warga asli di lokasi tersebut. Datuk Mencang memimpin Kesultanan Bulungan sejak 1555-1594.

Kesultanan Bulungan diperkirakan baru mulai dikelola dengan sistematis pada abad 18 masehi. Sebab kala itu pemimpin Kesultanan Bulungan telah menyandang predikat resmi yaitu Sultan seperti lazimnya di aturan kerajaan. Saat itu tampuk kekuasaan Kesultanan Bulungan telah dipegang oleh Wira Amir yang berganti nama menjadi Aji Muhammad sebab telah memeluk agama Islam tahun 1777. Pada sekitar tahun tersebut juga, Aji Muhammad digelari Sultan Amirul Mukminin.

Namun sayangnya, Kesultanan Bulungan seperti pemerintahan kerajaan yang selalu mengalami nasib kurang baik. Banyak tragedi menimpa Kesultanan Bulungan. Ditambah lagi, Kesultanan Bulungan memang dikenal tidak pernah mempersiapkan pasukan militer yang tangguh. Kesultanan Bulungan seperti memiliki ciri lebih baik baik menempuh jalan kerja sama atau bersikap mengalah daripada harus berperang.

Kesultanan Bulungan ibarat menjadi perpindahan kekuasaan antara kerajaan satu dengan lainnya. Bahkan, Kesultanan Bulungan pernah harus “pasrah” berada dalam dominasi kolonialis pemerintah Belanda. Pernah, Kesultanan Bulungan berada dalam kekuasaan Kesultanan Berau, Kalimantan Timur. Kemudian berpindah lagi dalam kekuasaan Kerajaan Sulu, Filipina.

Hingga akhirnya kolonialis Belanda menginjakkan kakinya di Tanah Bulungan tahun 1850. Lalu Belanda mengajak Kesultanan Bulungan agar mau berunding dan menyepakati keluar dari dominasi Kerajaan Sulu. Syaratnya: Kesultanan Bulungan berubah status menjadi milik kolonialis Belanda. Sedangkan Kerajaan Sulu tak mampu melawan sebab di negerinya sendiri terjadi peperangan dengan Spanyol. Sehingga kekuatan Kerajaan Sulu berkurang dan membuatnya “rela” menyerahkan Kesultanan Bulungan.

Tahun 1853 kolonialis Belanda resmi menguasai Kesultanan Bulungan seluruhnya. Setelah dilakukannya perjanjian antara Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin sebagai pemimpin Kesultanan Bulungan selanjutnya dengan pemerintahan kolonialis Belanda. Prinsip Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin masih sama seperti pendahulunya, menghindari upaya kekerasan di Bumi Bulungan atau enggan bertempur.

Itulah sebabnya perjanjian dengan kolonialis Belanda dianggap menguntungkan bagi kehidupan yang kondusif di wilayah kekuasaaan Kesultanan Bulungan. Tentara kolonialis Belanda akhirnya mengubah kekuatan pertahanan di kawasan kekuasaan Kesultanan Bulungan. Tentara kolonialis Belanda memberikan jaminan akan membantu Kesultanan Bulungan dari serangan kerajaan lain. Pasukan Kesultanan Bulungan kini mendapat dukungan kekuatan dari tentara kolonialis Belanda. Tidak lagi sekadar mampu mengusir perompak laut saja.

Di era penjajahan Jepang, wilayah Kesultanan Bulungan juga tidak merasakan kehidupan yang pedih untuk ikut kerja Romusha. Ketika daerah lain di Indonesia banyak menjadi korban akibat kerja Romusha. Ditengarai, ada perjanjian kembali antara Kesultanan Bulungan dan penjajah Jepang. Asal tidak ada kekerasan dan korban jiwa, penjajah Jepang dibolehkan membangun basis kekuatan di Bulungan sambil berbagi hasil sumber daya alam.  

Setelah kemerdekaan berhasil diraih, Kesultanan Bulungan juga masuk ke dalam kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Namun masa sulit kembali dialami Kesultanan Bulungan. Kesultanan Bulungan diembus isu ingin keluar dari Indonesia dan bergabung dengan Malaysia. Sedangkan ketika itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.

Mendengar isu tersebut, pihak pengendali keamanan segera mengambil tindakan tegas. Dikirim pasukan militer ke Bulungan. Lalu entah siapa pemicunya, terjadilah pembantai keluarga dan kerabat Kesultanan Bulungan. Penjarahan terjadi, warisan sejarah bangunan kesultanan pun dibakar massa yang tidak terkendali. Dan saat itu Kesultanan Bulungan tetap memilih tidak melakukan perlawanan. (K-HL)