Indonesia.go.id - Anak Pekerja Migran Berbagi Sayang di Tanah Lapang

Anak Pekerja Migran Berbagi Sayang di Tanah Lapang

  • Administrator
  • Selasa, 30 Juni 2020 | 02:23 WIB
SENI BUDAYA
  Relawan Komunitas Tanoker membantu anak-anak pekerja migran. Foto : Tanoker.org

Anak-anak buruh migran bisa berekspresi, orang tua juga bisa berkreasi. Tanoker menjadi wadah keceriaan dan kebahagiaan.

Di tanah lapang puluhan bocah perempuan dan laki-laki berkumpul. Mereka tampak ceria. Lagu Gundul-Gundul Pacul terdengar lewat sebuah loud speaker. Kawanan anak-anak itu turut mendendangkannya beramai-ramai. Sambil mengikuti irama lagu, sebagian dari anak-anak yang umurnya belum 10 tahun itu asyik bermain egrang.

Batang egrang diayun-ayunkan mengikuti irama lagu. Beberapa anak memegang tenong, sebagian lainnya menonton sambil bersorak-sorai. Sesaat kemudian musik berganti. Pemain egrang pun berganti. Kali ini lagu yang diputar dangdut remix, dengan musik elektronik yang iramanya rancak.

Para pemain egrang itu kembali beraksi. Mereka menari dengan mengentak-entakkan dan mengayunkan batang egrang dengan gerakan-gerakan ekstrem, seraya terus mengikuti irama lagu. Tak ada yang jatuh. Keseimbangan mereka terjaga.

Suasana ceria dan menyenangkan itu bisa kita jumpai di komunitas Tanoker. Mereka adalah komunitas belajar yang rajin menghelat aktivitas di kaki Gunung Raung. Tepatnya di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember. Letaknya kurang lebih 35 kilometer dari ibu kota kabupaten.

Kondisi geografisnya yang berada di bawah kaki Gunung Raung membuat udaranya sejuk. Parorama di sekeliling sangat indah. Pepohonan tumbuh rimbun di lembah dan ngarai. Air sungainya masih jernih.

Di desa ini, selain bisa sepuasnya menikmati permainan tradisional egrang, para pengunjung pun bisa berenang di kolam renang  Raspati, out bond, atau menikmati suasana malam di tenda camping. Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa menikmati aneka kuliner. Ketika pulang, pengunjung juga bisa membeli kerajinan manik-manik Ledokombo.

Farha Ciciek, pendiri Tanoker, bercerita muasal pendirian komunitas ini. Suatu ketika, saat ia bersama suaminya Supohardjo, pergi ke Ledokombo. Tiba-tiba saja, pasangan yang saat itu tinggal dan bekerja di Jakarta berpikir untuk menetap di Ledokombo. Mereka pun memutuskan pulang kampung di tahun 2009. Ledokombo merupakan kampung halaman Suporahardjo.

Di kampung suaminya itu, Ciciek melihat seorang bocah kelas 4 sekolah dasar harus mengasuh tiga adiknya. Mereka hidup dalam asuhan kakek-neneknya. Bapak dan ibu mereka harus merantau meninggalkan kampung halaman, menjadi pekerja migran di Arab Saudi. "Dia yatim piatu sosial," ujar Ciciek.

Yatim piatu sosial yang dimaksudnya adalah, secara biologis si anak memang punya orang tua tapi mereka tak hidup bersama orang tuanya. Biasanya, orang tua mereka menitipkan anak-anaknya ke kakek-nenek atau kerabat dekat lainnya. Bahkan, ada pula yang menitipkan ke tetangga. Seperti yang dialami Krisnaini. Ia tak tahu ke mana orang tuanya pergi. Ia mengaku saat masih kecil, orang tua menitipkan ke tetangganya. "Saya tinggal sama tetangga," katanya.

Di Desa Ledokombo, anak-anak yang berstatus yatim piatu sosial itu cukup banyak. Di daerah itu, kebanyakan orang dewasa pergi merantau menjadi tenaga kerja migran. Entah ibu, bapak, atau keduanya. Ledokombo merupakan salah satu desa yang menjadi kantong buruh migran.

Dari keprihatinan itu, Ciciek bersama suaminya Suporahardjo, mendirikan komunitas belajar Tanoker pada 2009. Tanoker berasal dari bahasa Madura yang berarti kepompong. "Melalui Tanoker ini kami berharap anak-anak bisa belajar untuk meraih cita-citanya," Suporahardjo menambahkan.

Tanoker menjadi wadah bagi anak-anak itu berekpresi dan berkreasi. Sepulang sekolah, biasanya anak-anak itu membaca, bermain. Banyak permainan menyenangkan di tempat ini. Jika hari libur, mereka biasanya diajari matematika, bahasa Inggris, dan fotografi.

Tak hanya anak-anak, dalam perjalanannya, Tanoker juga menjadi wadah bagi kaum perempuan desa itu. Kaum perempuan, entah yang belum atau sudah pernah jadi buruh migran, diajari berbagai keterampilan. Menjahit, memasak, dan keterampilan lain. Mereka belajar cara membuat tas, boneka tangan, kaos, dan produk makanan sehat.

Dari bekal berlatih membuat kerajinan itu, mereka kerap mendapat pesanan tas hingga ratusan unit. Pun kerajinan boneka. Mereka juga sering mendapat pesanan dari sejumlah lembaga pendidikan. Harga kerajinan boneka itu dijual seharga Rp4.000 hingga Rp7.000.

Tak seberapa memang jika dibanding bayaran mereka menjadi buruh migran di luar negeri. Namun kedekatan dengan keluarga lebih berharga dibanding pundi-pundi uang di negeri orang. Uang tak bisa membeli kasih sayang.

Juana, buruh migran yang pernah bekerja di Arab Saudi, mengaku bahwa dirinya sekarang lebih betah tinggal di desa. Meski pendapatannya tak seberapa, dia bisa berkumpul bersama keluarganya. Sesuatu yang tak bisa didapat jika ia harus memburu dinar di negeri orang.

Di Tanoker, selain belajar membuat boneka, dan tas, ia juga menjadi juru masak. Jika ada tamu yang berkunjung ke Tanoker, Juanalah yang diminta memasak makanan untuk menjamu tamu-tamu itu.

Begitu pun Hayik Isiani. Perempuan yang pernah lama menjadi buruh migran di Taiwan itu kini juga lebih memilih tinggal di desanya. Di desa itu ia lebih memilih menekuni cara memasak makanan sehat. "Saya juga bisa berjualan mie," ujarnya. Hayik pun sudah pandai berbahasa Mandarin.

Selain belajar masak-memasak, Hayik yang tinggal seorang diri ini juga punya homestay di desa itu. "Kalau ada tamu yang datang biasanya nginep di homestay saya," ujarnya.

Tanoker tak hanya menjadi magnet bagi warga Desa Ledokombo tapi juga desa sekitarnya. Anak-anak dan ibu-ibu silih berganti datang ke Tanoker. Mereka belajar, bermain, dan berbagi.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1593483572_tanoker1.jpeg" />Anak -anak pekerja migran bermain egrang di Desa Ledokombo, Jember, Jawa Timur. FOTO : Tanoker.org

 

Permainan Tradisional

Banyak permainan yang ditawarkan di Tanoker. Egrang merupakan permainan utama. Melalui egrang, anak-anak diajari akan nilai-nilai kehidupan. Dari egrang, kata Ciciek, kita bisa belajar tentang nilai budi luhur.

Egrang merupakan permainan yang jadi andalan. Di komunitas ini, hampir semua anak pandai bermain egrang. Tak hanya piawai untuk lomba lari tapi juga tarian egrang. Kepiawaiannya itu bahkan sudah kesohor. Mereka kerap diundang untuk tampil di berbagai acara. Tak hanya di Jember tapi juga nasional, bahkan lintas benua. "Mereka (anak-anak) bisa mengubah desanya, menjadi desa yang mendunia," ujar Ciciek.

Egrang, menurut Ciciek, juga mengajarkan bahwa hidup ini penuh perjuangan. "Egrang adalah keseimbangan," kata Ciciek.

Tak hanya egrang, di sini ada juga wisata dolanan. Ada polo lumpur, kuliner sehat yang menjual kuliner khas Jember, dan kerajinan tangan karya warga binaan Tanoker.

Ada yang unik. Setiap hari Minggu di setiap akhir bulan, desa ini juga menggelar pasar. Namanya Pasar Lumpur. Pasar ini menyajikan beberapa kegiatan seperti bazar kuliner tradisional, dan pernak-pernik unik khas Ledokombo.

Ada juga permainan tradisonal egrang, Polo Lumpur, bakiak, dan permainan tradisional lainnya. Untuk melestarikan permainan seni budaya tradisional itu, sejak 2009 Tanoker rutin menggelar festival.

Keberadaan Tanoker telah mampu menyedot perhatian. Tak hanya di tingkat lokal, nasional, tapi juga internasional. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada kabinet kerja 2014 - 2019 Yohana Yambise pernah mendatangi festival itu. Tempat ini juga pernah dikunjungi Allaster Cox, Wakil Duta Besar Australia pada 2019.

Tanoker, kata Ciciek, merupakan wujud kepahlawanan anak-anak. Tanoker menawarkan kasih sayang dan kebahagiaan yang selama ini hilang.

 

 

 

Penulis: Fajar WH
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini