Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud istilah saat ini) pada 1996 menerbitkan sebuah buku berjudul Banten Sebelum Zaman Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?-1526. Buku ini adalah terjemahan dari laporan penelitian kerja sama Prancis-Indonesia yang dilakukan sejak 1988 hingga 1992. Pelakana penelitian ini adalah Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO) bersama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Penyusun laporan ini adalah Claude Guillot, Sonny Wibisono, dan Lukman Nurhakim. Naskah asli laporan ini berjudul Banten avant l'Islam: Etude archeologique de Banten Girang (Java-Indonesie) 932?-1526. Naskah ini sebelumnya telah diterbitkan EFEO di Paris pada 1994. Penerjemahan laporan ini dilakukan secara kolektif oleh Winarsih Partaningrat Arifin dan Henri Chambert-Loir. Penyuntingan laporan ini dilakukan oleh Naniek Harkantiningsaih dan Melanie Hadjosudiro. Sedangkan penyelaras akhir dan perwajahan dilakukan oleh Adriane Sutedjo.
Satu yang istimewa dari buku ini adalah sambutan pengantarnya. Kata sambutan yang ditulis oleh almarhum Denys Lombard mengingatkan pembaca buku ini betapa sumbangan peneliti Prancis terhadap studi kesejarahan Asia Tenggara dan terutama Nusantara adalah kerja keras dan dedikasi yang tidak ternilai harganya. Tidak lupa pula peran serta peneliti Indonesia yang sangat tekun sejak pertengahan 70-an hingga kerja-kerja intensif di paruh pertama 90-an telah melahirkan studi yang hingga saat ini mempunyai keluasan data dan kearsipan yang mudah ditelusuri dan didapat oleh generasi pengguna internet.
Semua adalah kerja kolektif. Enam belas ahli peneliti terlibat dalam penulisan penelitian ini. Denys Lombard menyebutkan, ada sebelas orang Indonesia dan lima orang Prancis. Satu orang yang sangat diapresiasi kontribusinya terhadap keberhasilan penelitian ini adalah Profesor Hasan Muarif Ambary, kepala Pusat Penelitian Akeologi Nasional, beserta para asistennya yakni (almarhum) Lukman Nurhakim dan Sonny Wibisono.
Pelajaran yang paling berharga dari penelitian ini, menurut Lombard, adalah munculnya satu kebenaran pokok, yang sebenarnya sudah diduga oleh para peneliti terdahulu, tetapi telah dikuatkan dengan bukti-bukti nyata. Yakni, tesis tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari bandar-bandar yang berumur tua. Bandar-bandar ini sudah terbuka dengan pengaruh dan kedatangan berbagai bangsa yang memang menanamkan jejak dan warisan yang berharga bagi kemajuan di masa berikutnya.
Berangkat dari Kritik
Penelitian tentang Banten ini berangkat dari kritik terhadap capaian peneliti terdahulu. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian Hoesein Djajadiningrat yang diterbitkan pada 1913. Hoesein, yang dicatat sebagai orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar doktor di Eropa, menerbitkan penelitiannya tentang sejarah Banten pada tahun 1913. Penelitian itu dalam bahasa Belanda berjudul Critische beschouwing van de Sajarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche geschiedschrijving. Untuk mudahnya penelitian itu disebut dengan nama Sajarah Banten.
Karena penguasaannya yang luar biasa atas berbagai bahasa, serta pengetahuannya tentang sumber-sumber sejarah, karya Hoesein ini menjadi sangat dikagumi. Kekaguman ini menimbulkan hal-hal yang tidak menguntungkan. Pertama menjauhkan para peneliti untuk mengkaji tentang Banten dalam waktu yang cukup lama. Kedua, karena berkurangnya daya kritis terhadap kesimpulan-kesimpulan Hoesein. Satu hal yang menonjol adalah kurangnya apresiasi Hoesein terhadap sumber-sumber sejarah lokal.
Penelitian tentang "Banten Girang" adalah upaya untuk mempertemukan sumber-sumber lokal, dilengkapi dengan hasil-hasil penggalian arkeologis, untuk mempertemukan sumber-sumber Eropa yang relatif lebih kuat data kesejarahannya dengan pembacaan kembali sumber-sumber lokal yang ternyata malah saling memperkuat nilai kesejarahan yang terungkap.
Banten Girang
Banten adalah bandar atau kota pelabuhan kecil di ujung barat pulau Jawa yang terletak di bagian dalam sebuah teluk. Para pelaut di zaman dulu melihat teluk ini dengan berpatokan pada Gunung Gede yang menjulang setinggi 600 meter di pedalaman. Bandar ini terletak di bagian dalam muara Sungai Cibanten yang bersumber dari kaki Gunung Karang. Aliran sungai ini pendek hanya sekitar tiga puluh kilometer, tetapi menyambungkan laut dengan pegunungan vulkanis Karang-Pulasari-Aseupan yang subur.
Kesuburan tanah ini menjadikan Banten sebagai tempat tumbuhnya tanaman perkebunan yang menarik perhatian pendatang-pendatang dari manca negara. Sepanjang aliran sungai inilah tercatat situs-situs tua penting yang barkaitan dengan berbagai babak sejarah Banten, yakni Kasunyatan, Odel, Kelapadua, Serang, dan Kota Lama Banten Girang.
Banten berasal dari bahasa Jawa kuno "pabanten" yang artinya tempat untuk menaruh sesaji atau persembahan. Sementara "girang" bisa berarti jaya atau senang tetapi dalam kaitannya dengan kota lama Banten, nama Banten Girang berarti "Banten Hulu".
Banten Girang adalah sebuah dataran tinggi yang dekat dengan Desa Sempu. Saat ini masuk wilayah Kota Serang. Letaknya sekitar 10 km dari pelabuhan Banten yang sekarang. Kota tua ini ditandai dengan makam keramat yang dinamai sebagai makam Ki Jongjo. Konon makam ini adalah makam kakak beradik Ki Jong dan Agus Jo yang dijadikan satu sebagai pemeluk Islam yang pertama di Banten.
Fakta sejarah Ki Jongjo semakin dikuatkan dengan kronik Portugis yang ditulis Joao de Barros yang menulis tentang Falatehan yang pada kurun abad 16 pergi ke "Bintam". Di sana dia diterima oleh tokoh terkemuka yang kemudian masuk Islam.
Petilasan Pra-Islam
Banten Girang menjadi tempat yang bersejarah dan dikeramatkan karena berbagai alasan. Di balik makam diduga terdapat watu gulang (batu bersiran). Orang menyebutnya sebagai tahta Pucuk Umun yang merupakan ratu-pandita "hindu" yang terakhir di sana. Babad setempat, Sajarah Banten bercerita tentang Ki Jongjo seorang punggawa akuan yang ditugaskan di sana. Ketika Hasanudin datang ke sana dia langsung memihak pada penguasa Islam yang baru itu.
Satu abad kemudian muncul berita tentang Banten Girang dari pedagang yang ikut kapal kolonial Inggris. Namanya Abdul Mafakir (1596-1651) dan diceritakan dia tinggal di Kelapadua. Pada masa itu Kelapadua adalah pusat pengolahan tebu orang-orang Tiongkok yang telah lama membangun perkebunan tebu dan industri gula. Ahli sejarah menginterpretasikan bahwa tempat tinggal pedagang itu adalah Banten Girang. Interpretasi ini sesuai dengan data Belanda tentang tempat tinggal Sultan Haji di tahun 1678 yang tertulis dia tinggal di hulu Kelapadua.
Data ini lebih diperkuat lagi dengan catatan W Caeff, residen Belanda yang tinggal di akhir abad 17. Dia mencatat bahwa Sultan Ageng, penguasa Banten, pada 1674 telah memutuskan untuk mengadakan rapat bukan di Banten tetapi di "keraton lama" agar menjadi rahasia. Dua tahun kemudian dia menulis bahwa Sultan Ageng memutuskan membangun istana di Banten Girang atau Banten lama sebagai tempat berlindung kaum wanita jika meletus perang. Dari keterangan tersebut terlihat bahwa peninggalan pra Islam di Banten Girang tidak ditelantarkan. (Y-1)