Ekspedisi Indonesia Timur bertujuan untuk mitigasi fenomena cuaca ekstrem dan perubahan iklim.
Arus laut Nusantara kembali menjadi objek penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menyusuri perairan di timur Indonesia, tahun ini, Ekspedisi Indonesia Timur 2021 kembali dilakukan selama 72 hari dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII.
Baruna Jaya VIII adalah kapal penelitian multiguna yang dibuat pada 1998 di Norwegia dengan ukuran yang panjang sekitar 53,2 meter. Rute ekspedisi yang dilakukan terbagi menjadi tiga Leg, yaitu ekspedisi Leg I dimulai pada 7--27 Januari 2021 (20 hari pelayaran) yang berangkat dari Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, dan menuju Laut Jawa, Selat Lombok, Samudra Hindia, Selat Ombai, Selat Timor, Laut Banda, Selat Buru, Selat Lifamatola, Laut Seram, dan berlabuh di Pelabuhan LIPI Ambon Maluku.
Untuk ekspedisi Leg II dimulai pada 29 Januari sampai 16 Februari 2021 (19 hari pelayaran). Kapal berangkat dari Pelabuhan LIPI Ambon Maluku dan streaming ke Selat Lifamatola, Laut Halmahera, Laut Talaud, Laut Maluku, dan berlabuh di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara, laut di Indonesia timur.
Adapun ekspedisi Leg II dimulai sejak 19 Februari hingga 9 Maret 2021 (19 hari pelayaran). Kapal berangkat dari Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara dan menuju ke Laut Sulawesi, Selat Makassar, Selat Alas, Selat Badung, Selat Bali, dan berlabuh di Pelabuhan Banyuwangi, Jawa Timur, laut di Indonesia timur.
Fokus dari ekspedisi ini adalah menguak karakter Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Fenomena Arlindo inilah yang menjadi kanal penghubung perairan Indonesia Pasifik dan Samudra Hindia. Para peneliti oseanografi menilai, Arlindo berperan penting dalam mengangkut panas global dan memengaruhi iklim dunia.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menjelaskan, Ekspedisi Indonesia Timur 2021 terlaksana atas kerja sama antara LIPI dengan Institute of Oceanology, Chinese Academy of Science (IOCAS), melalui Pusat Penelitian Oseanografi, dan melalui Pusat Penelitian Laut Dalam dengan First Institute of Oceanography (FIO, Tiongkok) dan University of Maryland, USA. Dalam ekspedisi ini, LIPI juga bekerja sama dengan Balai Riset dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam melaksanakan observasi oseanografi.
"Ekspedisi ini ditujukan untuk mengetahui sifat-sifat oseanografi fisika dari arus laut lintas Indonesia atau disebut juga dengan Indonesia Through Flow (ITF), percampuran air, dan kenaikan permukaan air laut,” jelas Handoko saat membuka kegiatan Sapa Media secara virtual terkait hasil Ekspedisi Indonesia Timur Kapal Riset Baruna Jaya VIII pada Selasa (30/3/2021).
Apa yang mereka temukan di perairan timur Indonesia? Chief Scientists Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Adi Purwandana mengungkapkan, tim ekspedisi ini menemukan spot-spot aktif gelombang internal di sepanjang jalur penelitian di perairan Indonesia.
Lebih lanjut, Adi menuturkan perairan Indonesia timur merupakan surga bagi pembangkitan gelombang internal bawah laut (internal waves). Temuan awal dari ekspedisi tersebut mengungkapkan terjadi percampuran (mixing) massa air yang kuat di pintasan timur Arus Lintas Indonesia, utamanya di Laut Maluku dan Celah Lifamatola.
Massa air Samudra Pasifik menyebar ke Samudra Hindia melalui Perairan Indonesia. Penyebabnya adalah permukaan laut Samudra Pasifik yang lebih tinggi daripada Samudra Hindia.
Pengetahuan tentang mixing itu diperlukan untuk memprediksi tren iklim ke depan karena ada interaksi antara laut dengan atmosfer. Temuan ini penting untuk digunakan dalam mitigasi fenomena cuaca ekstrem dan perubahan iklim. Contohnya, untuk interaksi pergerakan massa arus laut itu yang sangat memengaruhi fenomena seperti El Nino dan La Nina di Pasifik serta Indian Ocean Dipole di Samudra Hindia.
Ekspedisi itu juga mengungkap gelombang bawah laut yakni embrio gelombang soliter internal (internal solitary wave) di Selat Lifamatola dengan amplitudo yang mencapai 50 meter. Sementara itu, gelombang soliter internal di Laut Maluku bisa mencapai amplitudo maksimal 90 meter.
Gelombang internal terdapat di beberapa lokasi, antara lain, di sekitar Laut Sulawesi, Laut Maluku, Selat Ombai, Selat Lombok, dan Laut Sulu. Namun, gelombang internal di Laut Halmahera hanya bisa diamati ketika melakukan pengamatan langsung.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Ocky Karna Radjasa juga memaparkan, Ekspedisi Indonesia Timur 2021 juga mempelajari massa air laut dengan atmosfir dan dampaknya pada iklim global. Pelayaran riset ini juga penting untuk akuisisi dan preservasi hayati laut Indonesia, baik potensi dan pengembangannya.
"Banyak potensi hayati laut dalam dan sumber daya dari laut yang belum tersentuh. Laut Banda memiliki palung dengan kedalaman 8.000 meter. Jika kita bisa melihat keanekaragaman hayati di sana, maka bisa menjadi potensi baru yang belum terkuak," imbuh Ocky.
Nahkoda Kapal Riset Baruna Jaya VIII Indrayana Hasan menyebutkan, pengumpulan data kelautan pada Ekspedisi Indonesia Timur 2021 berhasil mengumpulkan data lebih banyak dan lebih komprehensif atas kolaborasi riset yang dilakukan. "Biasanya masing-masing bidang penelitian kelautan melakukan survei masing-masing," ujar Indrayana.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari