Indonesia.go.id - Cara Sasi Menjaga Ikan-Ikan di Maluku

Cara Sasi Menjaga Ikan-Ikan di Maluku

  • Administrator
  • Senin, 3 Juni 2024 | 09:02 WIB
BUDAYA
  Sejak tahun 2010, Maluku sudah menjadi bagian dari lumbung ikan nasional dan tetap bertahan sampai sekarang. Kesuksesan meraih predikat itu turut ditunjang oleh tetap ditegakkannya kearifan-kearifan lokal berbentuk hukum dan tradisi adat yang mengakar kuat. ANTARA FOTO
Meski awalnya ditujukan untuk ritual adat, dalam perkembangannya sasi justru mampu mengendalikan ekosistem perikanan tangkap di sekitar Maluku.

Maluku merupakan provinsi dengan kekayaan alam melimpah dan menjadi tujuan utama bangsa-bangsa penjelajah di Eropa untuk mendapatkan rempah seperti cengkeh dan pala sejak abad 17 silam. Provinsi seluas 712.479 kilometer persegi (km2) itu mendapat julukan khusus dari bangsa benua Biru yaitu Surga Rempah. Namun sesungguhnya kekayaan alam paling besar Maluku justru terletak di perairan dan memberikan masa depan sangat bagus bagi Maluku. Luas laut mencapai 92,4 persen dari daratan atau 658.294 km2 berbanding jumlah darat seluas 54.185 km2.

Laut Maluku menyimpan potensi perikanan sangat besar dan terdiri dari beragam ikan bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, tongkol, cakalang, udang, cumi, gurita, rajungan, lobster, dan rumput laut. Saban tahun, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi ikan dari perairan Maluku di kisaran 3,9 juta ton dengan nilai mencapai Rp117 triliun. Angka itu merupakan 37 persen dari total produksi ikan nasional.

Sejak tahun 2010, Maluku sudah menjadi bagian dari lumbung ikan nasional dan tetap bertahan sampai sekarang. Kesuksesan meraih predikat itu turut ditunjang oleh tetap ditegakkannya kearifan-kearifan lokal berbentuk hukum dan tradisi adat yang mengakar kuat. Masyarakat provinsi yang memiliki 1.340 pulau berpenghuni dan 331 pulau tak dihuni tersebut memiliki budaya “sasi” yang mengikat seluruh penduduk untuk menjaga kelestarian laut dan isinya.

Seperti ditulis sejarawan John Patty Kayhatu dalam Sejarah Daerah Maluku, disebutkan bahwa tradisi sasi merupakan perintah larangan untuk mengambil hasil alam, baik pertanian ataupun di lautan sebelum waktu yang ditentukan. Kearifan lokal ini merupakan upaya masyarakat Maluku guna mempertahankan alam yang mereka tinggali. Sekaligus menjaga mutu dan kualitas hasil alam yang dihasilkan. Pada dasarnya, sasi menurut John Patty lebih ditujukan bagi upaya untuk memelihara tata krama kehidupan bermasyarakat.  

Salah satu praktik nyata dari pemberlakuan sasi yang merupakan praktik konservasi secara tradisional dapat disaksikan di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Namanya adalah sasi lompa dan telah dijalankan sejak tahun 1600 lampau dan merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi darat. Ada banyak macam sasi selain sungai dan laut, misalnya sasi darat dan hutan. Sejatinya lompa adalah sejenis ikan sarden (Trisina baelama) dan menjadi salah satu sumber pangan masyarakat setempat.

Kegiatan sasi dipimpin oleh seorang kewang atau penjaga adat setempat. Eliza Kissya selaku tokoh masyarakat setempat didaulat sebagai kewang di Haruku dan atas jasanya melestarikan sasi sehingga turut menjaga populasi aneka ikan, pemerintah pada 1985 memberikan penghargaan lingkungan Kalpataru. Pria yang akrab disapa Opa Eli itu juga pernah  mendapat penghargaan Coastal Award pada 2010 karena kontribusinya kepada lingkungan di Pulau Haruku.

Sasi dibagi dua jenis, yaitu sasi tutup yang merupakan awal pembiakan ikan dan sasi buka sebagai puncak panen. Sasi tutup biasa diadakan pada bulan April hingga September. Diawali dengan menggiring ikan lompa dari tepian pesisir laut menuju ke muara sungai memakai beragam alat. Sewaktu ikan sudah berada di sungai, maka sasi mulai  diterapkan hingga enam bulan berikutnya atau saat panen ikan tiba. Agar kawasan sungai yang menjadi lokasi pembiakan lompa tetap terjaga kebersihannya, dilarang membuang sampah dan lainnya. Jika melanggar akan terkena sanksi adat.

Jadwal panen atau buka sasi biasanya dilakukan pada September atau Oktober Saat waktu panen tiba, kewang akan berkeliling kampung mengumumkan jadwal panen kepada warga. Ini dilakukan karena peristiwa panen itu akan dilakukan oleh seluruh warga dan waktu yang diberikan hanya sehari saja. Warga boleh membawa alat pancing jenis apa saja asal tidak merusak ekosistem. Warga hanya boleh menangkap sesuai kebutuhan dan dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Acara panen akan diawali oleh doa dipimpin oleh seorang pendeta.

Menurut dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Pattimura Ambon, James Abrahamz seperti dilansir Antara mengatakan sasi merupakan tradisi yang berhubungan dengan pelarangan untuk mengakses wilayah atau sumber daya tertentu. Meski awalnya ditujukan untuk ritual adat, dalam perkembangannya sasi justru mampu mengendalikan ekosistem perikanan tangkap di sekitar Maluku.  

Baik John Patty maupun James Abrhamaz sepakat bahwa sasi menjadi bentuk kearifan lokal masyarakat di timur Indonesia dan bisa menjadi potensi wisata untuk dikembangkan.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari