Industri keuangan digital tumbuh semakin subur di Indonesia. Utamanya, layanan teknologi finansial (tekfin) atau financial technology (fintech). Bahkan, layanan itu semakin kuat melakukan penetrasi di masyarakat di tengah pandemi saat ini. Salah satu yang terlihat dari tekfin adalah kemudahan layanan perbankan atau pembiayaan untuk menumbuhkan ekonomi kecil dan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di daerah-daerah.
Indikator ini terlihat dari data Bank Indonesia. Data bank sentral itu menyebutkan bahwa rata-rata nilai transaksi uang elektronik selama Januari-Juli atau selama pandemi virus corona mencapai Rp16,7 triliun per bulan. Nilainya meningkat 59 persen secara tahunan (year on year/yoy). Pada tahun ini, nilai transaksi tertinggi terjadi pada April Rp17,5 triliun. Ini seiring dengan mulai diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.
Tumbuh dan melesatnya bisnis perusahaan teknologi di sektor keuangan atau fintech, bisa disebut sebagai berkah di tengah sektor lainnya terpuruk dan bisa menjadi model bisnis di masa depan. Bisnis model berbasis digital ke depannya sangat menjanjikan. Sebuah riset yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Company, dan dirilis pada Selasa (10/11/2020) menguatkan pendapat di atas. Riset yang dilakukan tiga institusi itu memprediksikan nilai ekonomi digital Indonesia USD44 miliar tahun ini. Riset itu juga memprediksikan sektor e-commerce, online media, dan keuangan naik.
Di sisi lain, jasa layanan berbasis online travel dan berbagi tumpangan turun. Dalam cakupan yang lebih luas, kawasan Asia Tenggara, Google, Temasek, dan Bain dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2020 memperkirakan, nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara mencapai USD105 miliar atau sekitar Rp1.475 triliun pada tahun ini.
Sebanyak USD44 miliar atau Rp619 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia. Nilai ekonomi digital di Indonesia tumbuh 11 persen dibandingkan tahun lalu (year on year/yoy), sementara Vietnam 16 persen. “Pertumbuhannya masih double digits,” demikian dikutip dari laporan tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengamini kecenderungan itu. Menurutnya, industri fintech di Indonesia akan tumbuh paling kencang di Asean dalam lima tahun ke depan, ia mengutip prediksi yang dibuat oleh Google, Temasek, dan Bain & Company untuk 2019 hingga 2020. "Fintech merupakan sektor yang paling kompetitif dan kita tahu saat ini empat unicorn sudah dibangun di Indonesia dan satu decacorn yang nilainya lebih dari USD10 miliar," kata Airlangga dalam Indonesia Fintech Summit 2020, Rabu (11/11/2020).
Jasa layanan fintech memang telah berkembang pesat di Indonesia sejak 2016. Industri fintech kini tak hanya berfokus pada sistem pembayaran dan pembiayaan, tetapi juga model bisnis lainnya seperti asuransi digital, hingga penghimpunan modal. Ke depan, pemerintah berharap fintech akan memainkan peran penting dalam meningkatkan inklusi keuangan yang baru mencapai 76 persen pada 2019. "Kami berharap inklusi keuangan dapat mencapai 90 persen pada 2024 sesuai dengan arahan presiden," kata Airlangga.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan kontribusi fintech pada penyaluran pinjaman nasional pada tahun ini mencapai Rp128,7 triliun atau meningkat 113 persen year-on-year (yoy). Pada September 2020, terdapat 89 penyelenggara fintech yang berkontribusi Rp9,87 triliun pada transaksi layanan jasa keuangan di Indonesia. Selain itu, ada dana Rp15,5 triliun rupiah yang disalurkan penyelenggara tekfin equity crowdfunding berizin. Meskipun terjadi peningkatan, akseptasi masyarakat terhadap layanan keuangan digital dinilai masih sama, yaitu tingkat inklusi dan literasi yang belum tinggi.
Presiden Joko Widodo saat membuka Indonesia Fintech Summit 2020, Rabu (11/11/2020), menyebutkan bahwa indeks inklusi keuangan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan pencapaian beberapa negara Asean. Pada 2019, indeks inklusi keuangan Indonesia berada pada angka 76 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain di Asean seperti Singapura yang mencapai 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen.
Sementara itu, tingkat literasi keuangan digital nasional juga masih rendah, yakni baru mencapai 35,5 persen. Kalau mau jujur, pencapaian Indonesia pada 2019 itu sebenarnya meningkat dibandingkan dengan hasil empat tahun lalu. Dari hasil survei OJK 2016, saat itu indeks literasi keuangan masih 29,7 persen dan indeks inklusi keuangan 67,8 persen. Namun, faktanya memang masih banyak masyarakat yang menggunakan layanan keuangan informal dan hanya 31,26 persen masyarakat yang pernah menggunakan layanan digital.
Banyak Risiko
Pemahaman keuangan (literasi) masyarakat dan peningkatan akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan (inklusi keuangan), ditambah dengan kemajuan teknologi yang pesat di jasa keuangan juga menimbulkan banyak risiko. Praktik keuangan digital di tanah air masih dihantui adanya kejahatan siber, misinformasi, kesalahan transaksi hingga penyalahgunaan data pribadi.
Lagi-lagi kita sepakat dengan arahan Presiden Jokowi agar pelaku tekfin perlu memperkuat tata kelola yang baik dan akuntabel serta memitigasi risiko yang muncul. Celah-celah fraud harus ditutup. Apalagi regulasi nonkeuangan perbankan tidak seketat regulasi perbankan. Peran OJK sebagai otoritas pengampu industri tekfin dari hulu hingga hilir adalah sangat penting.
Adanya celah itu diakui oleh Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech). Asosiasi itu menilai perlu ada penguatan regulasi di tengah lonjakan transaksi fintech saat pandemi corona. Mereka mengusulkan tiga hal, yakni perlunya undang-undang (UU), serta mengatur kolaborasi dan keamanan. Aftech menilai, pertama, perlu ada UU yang mengatur tentang fintech. Selama ini, payung hukum industri berupa peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Bank Indonesia (BI).
Kedua, perlu mengatur tentang kolaborasi fintech. "Perlu regulasi yang lebih terintegrasi." Sebab, aturan yang berbeda antar-platform mempersulit perusahaan untuk bekerja sama.
Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan, fintech perlu kolaborasi untuk memperluas penggunaan layanan. Dengan perbankan misalnya, perusahaan bisa memanfaatkan jaringan dan basis konsumen. Sedangkan bank bisa menggunakan teknologi dan basis data fintech. Apalagi, fintech pinjam-meminjam (lending) memiliki pusat data atau pusdafil, dengan 26 juta data klien peminjam.
Fasilitas yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu bisa dimanfaatkan untuk menilai risiko kredit UMKM. Ini karena platform itu memiliki informasi terkait perkembangan bisnis hingga NIK peminjam. Tak dipungkiri, masalah keamanan konsumen, terutama untuk memastikan perlindungan pelanggan masih menjadi masalah serius sektor layanan tersebut. Riset Palo Alto Network menguatkannya.
Riset itu menyebutkan 62 persen dari 400 responden menilai sistem pembayaran digital berpeluang diretas. Lalu, 66 persen menyebut bahwa platform e-commerce juga berpotensi dibobol. Responden yang disurvei menjabat posisi manajemen perusahaan terkait teknologi informasi (IT) di Thailand, Indonesia, Filipina, dan Singapura. Survei dilakukan selama 6-15 Februari lalu.
Riset Aftech juga menunjukkan, 22 persen fintech pembayaran dan 18 persen pembiayaan pernah mengalami serangan siber. Sebanyak 95 persen dari 154 menyatakan, kurang dari 100 penggunanya diserang peretas pada tahun lalu. Berkaca dari data-data di atas, OJK diharapkan terus melanjutkan komitmen kebijakan yang akomodatif dan tidak mengekang inovasi, dengan tetap menekankan prinsip bisnis yang berhati-hati.
Tentu masih banyak yang harus terus dilakukan pemerintah dan otoritas dalam pengembangan jasa fintech. Kita berharap koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dengan pelaku usaha akan membuat inovator tekfin mampu meningkatkan tingkat inklusi dan literasi masyarakat lebih optimal, sekaligus menyumbang kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini