Merah hijaunya dunia ini ada di tangan pemerintahan G-20. Betapa tidak, forum kerja sama 19 negara plus Uni Eropa itu mewakili 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen nilai perekonomian dunia. Maka, tak mengherankan bila Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) reguler G-20 pada 2020 yang dihelat Pemerintah Arab Saudi selama dua hari, yakni pada 23-24 November, menarik perhatian dunia.
Pandemi Covid-19 memaksa KTT ini digelar secara virtual. Semua kepala Negara G-20 kompak hadir secara virtual dan disatukan secara visual dalam layar besar. Dari Istana Bogor, Presiden Joko Widodo berpartisipasi mengikuti rangkaian acara didampingi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno Priandari Marsudi, serta Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo.
Pandemi Covid-19 yang masih menghantui seluruh muka bumi, tentu mewarnai narasi para kepala negara itu. Bahkan, empat tema yang dalam diboyong di forum besar itu pun terkait langsung pada pandemi, yakni upaya memerangi Covid-19, menyelamatkan ekonomi global yang koyak akibat wabah, penyesuaian atas terjadinya disrupsi perdagangan, dan menjalin kemitraan global yang lebih erat. Dalam sambutannya di forum G-20 itu, Presiden Joko Widodo menyerukan agar akses vaksin Covid-19 dibuka untuk semua negara. “Dunia tidak akan sehat kecuali semua negara sudah sehat. Vaksin adalah salah satu amunisinya," katanya.
Presiden Indonesia memandang perlu adanya mobilisasi dana untuk membantu negara-negara yang sedang mengalami kesulitan fiskal agar dapat menyediakan fasilitas medis dan vaksin untuk rakyatnya. Terkait dengan pemulihan ekonomi, Presiden memandang perlunya dukungan dari G-20 pada agenda lembaga tentang perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) yang memerlukan dana sebesar USD2,5 triliun agar negara berkembang bisa keluar dari keterpurukan ekonomi dengan memperlebar ruang fiskal mereka. Bantuan lain untuk negara berkembang ialah masalah restrukturisasi utang. "Restrukturisasi utang ini harus dibarengi dengan ditingkatkannya manajemen utang, termasuk transparansi data dan dijaganya keberlanjutan fiskal," kata Presiden.
Dengan program ekonomi UNCTAD bantuan pinjaman baru dan restrukturisasi utang, negara berkembang memiliki kemampuan fiskal daya yang berguna untuk pemulihan ekonomi. ‘’Keleluasaan fiskal dibutuhkan untuk membiayai social safety net, mendongkrak konsumsi domestik, dan menggerakkan ekonomi kecil dan menengah," kata Presiden Jokowi.
Yang disampaikan oleh presiden itu tak lain adalah strategi perekonomian Indonesia di tengah pandemi. Dengan kebijakan jaring pengaman social (social safety net), gerakan ekonomi mikro, kecil, dan menengah (yang menggeliat oleh suntikan insentif dari pemerintah), konsumsi domestik terdongkrak. Ditambah pula naiknya belanja pemerintah, maka ekonomi pun terungkit. Alhasil, meski Indonesia ikut terpuruk oleh pandemi, kontraksinya tak separah negara-negara G-20 yang lain.
Ketika menyampaikan laporan hasil KTT G-20 kepada publik, Senin (23/11/2020), Menteri Sri Mulyani mengatakan, pandemi telah membuat kerusakan besar di perekonomian secara global. Tapi, di jajaran G-20 kinerja ekonomi Indonesia tergolong bagus. ‘’Yang terbaik itu RRT. Dia tak mengalami resesi. Yang kedua terbaik Indonesia, yang meskipun mengalami kontraksi, tapi tak sedalam anggota G-20 yang lain,’’ ujarnya.
Dari arena KTT G-20 ini tampak adanya semangat baru bahwa negara-negara dengan ekonomi besar itu siap bekerja sama satu sama lain untuk menata perekonomian dunia yang lebih kuat, efisien, tahan guncangan dan berkelanjutan (sustainable). Pada akhirnya, KTT dua hari itu pun melahirkan kesepakatan, yang disebut komitmen, terkait kerja sama yang sifatnya segera.
Butir komitmen pertama adalah perlunya kemitraan global untuk mengatasi Covid-19. Kedua, implementasi penundaan pembayaran utang negara-negara berkembang. Yang ketiga adalah pemulihan ekonomi secara global, dan keempat menjamin akses negara miskin untuk segala keperluan piranti dalam menghadapi wabah Covid-19, termasuk di dalamnya segala piranti pemeriksaan, obat-obatan, ventilator, dan vaksin.
Terkait implementasi atas komitmen tersebut, menurut Sri Mulyani, Indonesia mengajak G-20 melihat fakta adanya defisit fiskal yang besar di negara berkembang. Bantuan itu diperlukan agar mereka bisa menggelar social safety net, semacam bantuan sosial (bansos) di negera masing-masing seraya mendorong tumbuhnya usaha kecil-menengah dan menarik investasi. Dalam kaitan usaha kecil-menengah, menurut Menkeu, Indonesia mengusulkan prioritasnya ke kegiatan ekonomi kreatif, pariwisata, program inklusi untuk ekonomi digital. Untuk kegiatan investasi, usulan Indonesia adalah ke arah infrastruktur, seraya mendorong pelibatan swasta. Usulan Indonesia ini masuk dalam agenda kerja G-20.
Kelompok G-20 itu sendiri lahir 2008 setelah kelompok G-7 yang dibentuk sebelumnya dinilai tidak efektif mencari solusi terhadap permasalah global. Maka, G-7 pun dimekarkan menjadi G-20 dan Indonesia ada di dalamnya, karena bisa membukukan produk domestik bruto (PDB) dalam kelompok 20 besar dunia. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional IMF ada juga dalam G-20.
Dari kawasan Pasifik Barat, anggota G-20 adalah Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Indonesia dan Australia. Ke arah Barat ada India, Arab Saudi serta Turki. Kawasan Afrika hanya diwakili Afrika Selatan. Benua Amerika diwakili Kanada, Amerika Serikat (AS), Meksiko, Argentina, dan Brasil. Sementara dari kawasan Eropa ada Jerman, Inggris Raya, Prancis, Italia, dan Rusia. Negara Eropa lainnya mewakilkan ke Uni Eropa.
Secara bergiliran, negara-negara anggota menjadi pemimpin G-20. Pada 2020 ini Arab Saudi yang mengampu presidensinya. Pada 2021 nanti, Italia yang memimpin dan berencana menggelar KTT di Roma pada akhir 2021. Indonesia kebagian pada 2022 nanti, maju setahun dari rencana semula 2023. Bila segalanya memungkinkan, pertemuan pemimpin G-20 akan kembali ke darat, tidak lagi virtual. Pemerintah Indonesia sudah berencana untuk menghelatnya di Labuhan Bajo, Flores, di penghujung 2022.
Penulis: Putut Tri Husodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini