Kontraksi ekonomi akibat pandemi global tak menyurutkan tekad Indonesia untuk tetap berkomitmen pada penurunan emisi karbon. Salah satu bentuk komitmen itu ialah mengurangi porsi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) guna meningkatkan kapasitas pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT). Adanya sinyal itu tentu menjadi kabar yang menggembirakan. Tapi di tengah-tengah penurunan permintaan listrik yang cukup signifikan, pascapandemi Covid-19, tentu rencana itu sangat tidak popular.
Toh, komitmen pemerintah tak bergeser, seperti disampaikan Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu. Indonesia, katanya, tetap pada jalur gerakan pengurangan emisi global. Salah satunya adalah penetapan target porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025. Dalam konteks itu, pemerintah masih membutuhkan penambahan kapasitas pembangkit EBT lebih dari 10 gigawatt (GW).
"Share PLTU cukup besar saat ini capai hampir 65 persen, sementara itu kita punya target EBT pada 2025 sebesar 23 persen. Sesuai RUPTL (Rencana Umum Pembangkitan Tenaga Listrik, red) yang baru diperlukan lebih dari 10 GW EBT sampai 2025. Bagaimana ini bisa masuk ke sistem? Salah satu cara adalah mengurangi porsi PLTU karena demand (listrik,red) kita turun," ujar Jisman dalam acara Virtual The 9th Indonesia EBTKE ConEx 2020, Selasa (24/11/2020).
Terlepas dari pernyataan pejabat ESDM itu, bagaimana sebenarnya kondisi energi listrik berbasis surya di Indonesia? Potensi energi surya di Indonesia sangat besar, yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp (gega watt peak). Sayangnya, potensi yang besar itu baru termanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga 2025 sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya di masa datang.
Pengembangan energi surya merupakan bagian energi baru dan terbarukan (EBT). Energi ramah lingkungan ini, sesuai dengan yang tertera di cetak biru kebijakan energi nasional, terikat pada jadwal dan besaran persentase yang harus dicapai pada 2025. Pada 2025 itu, peran energi baru dan terbarukan bisa mencapai 25%. Porsi itu naik menjadi 36% pada 2050. Untuk mengakselerasi pengembangan EBT dan untuk memenuhi tercapainya bauran energi 25% sesuai dengan kebijakan energi nasional pada 2025, pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan.
Kebijakan itu, antara lain, Permen ESDM 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Permen ESDM 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan Kepmen ESDM nomor 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028. Bahkan, untuk mendorong percepatan pencapaian target bauran energi terbarukan, dapat dilakukan penambahan pembangkit tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan di luar rincian RUPTL PLN 2019-2028 sesuai dengan kebutuhan sistem tenaga listrik setempat. Pengembangan energi baru terbarukan, terutama penggunaan panel surya, kini mulai terlihat massif penggunaannya. Pasalnya, Indonesia sebagai negara tropis dengan sinar matahari yang memancar terus sepanjang hari berpotensi besar sebagai sumber listrik terbarukan.
Bahkan dalam konteks global, sesuai dengan laporan International Energy Agency, EBT dinilai sebagai sumber energi yang paling tahan terhadap kendala Covid-19. Energi surya sebagai bagian energi baru terbarukan tetap mencetak pertumbuhan 1,5 persen selama kuartal pertama 2020. Bahkan, lembaga itu berani memproyeksikan pembangkit listrik terbarukan akan meningkat 5 persen hingga akhir tahun ini meskipun capaian itu tetap terkoreksi akibat krisis Covid-19.
Dongkrak EBT
Berkaitan dengan upaya mendongkrak kapasitas pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu mengemukakan beberapa opsi. “Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi porsi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) guna meningkatkan kapasitas pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan,” ujarnya dalam acara Virtual The 9th Indonesia EBTKE ConEx 2020, Selasa (24/11/2020).
Dia mengungkapkan porsi PLTU cukup besar saat ini capai hampir 65 persen. Di sisi lain, negara ini mempunyai target penggunaan energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Sesuai RUPTL yang baru, pembangkit yang dibutuhkan agar bisa memenuhi sesuai dengan target diperlukan lebih dari 10 GW EBT hingga 2025. “Bagaimana ini bisa masuk ke sistem? Salah satu cara adalah mengurangi porsi PLTU karena demand listrik kita turun," ujar Jisman.
Jisman mengungkapkan, ada dua opsi yang tengah dipertimbangkan pemerintah untuk mengurangi porsi PLTU. Opsi pertama, mengganti PLTU tua yang sudah berusia 20-25 tahun dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Pembangunan PLTS didorong karena PLTS memiliki kelebihan, seperti less maintenance, pembangunan tidak membutuhkan waktu yang lama, dan harga dari PLTS semakin turun. Opsi kedua, melakukan subtitusi sebagian bahan bakar batu bara dengan biomassa pada PLTU yang ada atau disebut co-firing biomassa.
Menurut Jisman, saat ini sudah dilakukan uji coba co-firing biomassa sebesar 3-5 persen pada sejumlah pembangkit PLTU milik PT PLN (Persero) dengan hasil yang cukup baik. "Jadi kami masih lakukan kajian. Menghitung dengan benar, apakah PLTU ini di-replace dengan PLTS atau co-firing sebagian," kata Jisman.
Jisman menuturkan, masih tingginya porsi PLTU disebabkan harga listrik dari PLTU cukup rendah dibandingkan pembangkit lainnya, sehingga pemerintah masih mempertahankan PLTU untuk menekan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN. Tidak dipungkiri pendanaan PLTU ke depan semakin sulit. Pasalnya, energi bersih sudah menjadi tuntutan dunia termasuk Indonesia ke depan. Opsi mengurangi penggunaan energi berbasis fosil sudah menjadi harapan untuk mencapai energi bersih tersebut.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini