Dalam situasi pandemi, industri sawit terbukti tahan banting. Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi dan menyebutnya telah memberikan kontribusi besar dalam menopang perekonomian nasional di tengah situasi berat pada 2020. “Sawit stabil. Ekspornya tetap tinggi di tahun ini,’’ kata Menko Airlangga, yang disampaikan secara virtual di Konferensi Sawit Internasional (POC) 2020, yang dihelat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Rabu (2/12/2020).
Kepada peserta acara tahunan IPOC yang kali ini mengambil tema “Palm Oil Industry in the New Normal Economy”, dikatakan bahwa ekspor sawit Indonesia, Januari–September 2020, hampir mencapai USD15 miliar, raihan besar dibanding sektor lainnya. Airlangga yakin bahwa ekspor sawit sepanjang 2020 akan melampaui angka USD20 miliar.
Dalam beberapa tahun terakhir, ekspor sawit memang bergerak stabil pada kisaran 21-22 miliar dolar AS. Pencapaian itu membuat industri sawit dan produk turunannya menjadi komoditas penghasil devisa terkuat yang melampaui sumbangan minyak dan gas (migas), batu bara dan pariwisata. Pun sawit telah menjadi penyedia lapangan kerja yang penting. ‘’Sawit telah menyediakan lapangan kerja bagi 16 juta orang,’’ kata Airlangga pula. Dalam jumlah itu ada jutaan keluarga petani pemilik kebun sawit.
Memasuki Desember 2020, sawit masih menunjukkan tren penguatannya. Harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani, dari pohon umur 10 tahun ke atas, sudah kembali bertengger di level Rp2.100 kg atau lebih di Sumatra Utara, Riau, hingga Sumsel. Untuk sawit muda umur empat tahun, harga TBS-nya sekitar Rp1.750 per kg. Geliat kenaikan harga juga terlihat di kebun-kebun sawit di seluruh Kalimantan.
Harga minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) di pasar dunia terus meningkat. Maka, angka harga referensi yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan untuk ekspor CPO melonjak menjadi USD870 per metric ton (MT) per Desember 2020 ini. Ada kenaikan 11,3 persen dari harga referensi November yang tercatat USD783/MT.
Harga referensi itu terkait, antara lain, dengan bea keluar (BK) di kepabean yang dikenakan secara progresif. Dengan harga USD870 itu, ekspor tiap ton CPO akan dikenai BK USD33. Pada November lalu, bea keluar yang dikenakan hanya USD3. Bahkan, di Oktober gratis, karena harga referensinya di bawah USD750 per MT.
Selain terkait ke BK, harga referensi itu sendiri akan menentukan pungutan ekspor, yakni kewajiban pembayaran oleh eksportir CPO, untuk pengembangan industri hilir. Angkanya bergerak progresif. Bila harga referensinya USD670 atau di bawahnya, maka pungutannya USD55 per MT. Untuk harga referensi USD870, pungutannya bisa mencapai USD163 per MT, hal yang kini menimbulkan protes.
Cepat Bangkit
Harga TBS di tingkat petani saat ini sudah di berada di atas harga Desember-Januari tahun lalu. Kalangan anggota GAPKI meyebut harga Desember 2020 ini lebih tinggi dibanding saat menjelang pandemi, bahkan yang tertinggi sejak tiga tahun terakhir. Mereka berharap agar siklus naik sawit ini bisa melaju tanpa gangguan seperti pada awal 2020.
Memasuki 2020 rasa optimisme sempat mewarnai kalangan industri sawit nasional. Dalam catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menjelang akhir 2019 harga ekspor sawit menyentuh level USD800 per ton dengan skema Cif Rotterdam, yakni ongkos angkut dan asuransi ditanggung penjual (eksportir).
Sempat ada gangguan dari Uni Eropa yang akan makin intens memainkan kartu renewable energy directives (RED) II, ketentuan tentang penggunaan bahan ramah lingkungan untuk memproduksi biofuel. Cukup mengusik karena memasukkan sebagian sawit asal Indonesia dalam kategori tidak ramah lingkungan. Ada pula isu kenaikan bea masuk CPO ke India.
Namun, gangguan yang paling besar adalah pandemi. Pada Maret 2020, banyak negara di dunia melakukan karantina wilayah. Rantai pasokan drop. Harga CPO terpelanting ke level USD515 per ton Cif di sepanjang Maret hingga Mei. Namun, meskipun di tengah pandemi, kebutuhan akan minyak nabati yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan itu tak bisa ditekan. Pasar cepat membuka kembali pintu lebar untuk perdagangannya.
Maka, memasuki Juni 2020 mulai tampak tanda-tanda perbaikan. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, ekspor ke Tiongkok kembali menguat sejak Mei, demikian halnya ke Pakistan. “Untuk tujuan India dan Uni Eropa juga menunjukkan sedikit kenaikan. Tren positif ini rupanya terus berlanjut. Per bulan September harga referensi ekspor yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan sudah mencatap USD738 per MT.
Proyeksi 2021
Kalangan GAPKI menyebutkan, konsumsi akan minyak nabati berbasis CPO itu terus meningkat bahkan tak terinterupsi oleh pandemi, baik domestik maupun ekspor. Pada 2020, diperkirakan konsumsi domestik mencapai 17,1 juta ton, atau sekitar 32 persen dari produksi CPO nasional. Ekspornya sekitar 34,2 juta ton. Porsi ekspor minyak sawit olahan oleh industri hilir semakin besar.
Dari konsumsi domestik itu, 8,3 juta ton untuk pangan (minyak goreng, margarin, dan lain-lain), 1,5 juta ton diproses sebagai minyak oleokimia untuk industri nonpangan, dan 7,3 lainnya untuk biodisel. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), memperkirakan bahwa konsumsi domestik akan naik menjadi 19,5 juta ton di 2021.
‘’Ada kenaikan konsumsi CPO untuk biofuel,’’ kata Sahat Sinaga. Dia mengatakan, program mandatory biosolar B-30 menjadi pengungkitnya. Sahat juga memastikan bahwa produksi dan ekspor juga akan meningkat. Ia yakin ekspor sawit Indonesia akan mencapai 36.7 juta ton tahun 2021. Ada kenaikan sekitar 2,5 juta ton dari 2020.
Sahat menyebutkan, ekspor sawit Indonesia pun sudah berkembang jauh dibanding tahun-tahun yang lalu. Saat ini, 80 persen ekspor sawit sudah dalam bentuk minyak olahan, termasuk oleokimia. “Ekspor oleokimia pun diperkirakan akan naik menjadi 5 juta ton, dari tahun sebelumnya 3 juta ton,” kata Sahat menambahkan. Ada pula ekspor biofuel. Ekspor sawit mentah CPO tinggal 20 persen.
Namun, Menko Airlangga Hartasto mengingatkan bahwa fluktuasi harga masih akan terus terjadi. Airlangga memilih perkiraan yang moderat. Bila pada 2020 harga bersih rata-rata CPO, setelah dipotong biaya angkut (freight) dan asuransi, adalah USD650/MT, maka pada 2021 ia memperkirakan harganya ada di tingkat rata-rata USD668 per MT.
Di Indonesia dewasa ini ada sekitar 12-13 juta ha kebun sawit. Sebanyak 53 persen dikelola oleh perusahaan swasta besar, 7 persen oleh perkebunan negara dan 40 persen lain adalah kebun rakyat.
Penulis : Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini