Indonesia.go.id - Ketika Google Pun Taat Regulasi

Ketika Google Pun Taat Regulasi

  • Administrator
  • Kamis, 5 September 2019 | 19:50 WIB
PAJAK EKONOMI DIGITAL
  Perusahaan teknologi Google. Foto: AFP/Patricia De Melo Moreira

Google menyebut, pengenaan pajak ini merupakan bentuk kepatuhan perusahaan kepada peraturan pajak di Indonesia.

Adanya kerelaan atau kesadaran tak menjadi penting. Namun, yang jelas adanya itikad positif dari Google, pelaku ekonomi global, melalui PT Google Indonesia yang berencana mengenakan PPN 10% kepada pemasang iklannya merupakan sinyal positif kontribusi kehadirannya di negara ini.

Tak dipungkiri, mereka cukup lama menikmati kue iklan melalui fasilitas Google Ads yang dimilikinya. Tak pelak, sejumlah pihak dan pemerintah mendesak agar perusahaan ekonomi digital skala internasional seperti Google, Facebook, atau Amazon, dikenakan pajak di negara wilayah operasi mereka.

Namun, mereka selalu menolak. Alasannya mereka tak memiliki kantor secara fisik di negara yang bersangkutan meskipun dalam praktiknya, mereka tetap menerima advertising, bahkan bentuk adsense itu kini sudah lebih variatif. Alhasil, pajak pun tak terpungut. Potensi tax right Indonesia pun menjadi hilang.

Seperti Indonesia, beberapa negara lain juga mengeluhkan hal yang sama, hilangnya potensi tax right mereka. Dalam pertemuan Menteri Keuangan Kelompok Ekonomi G20 di Fukuoka, Jepang, Juni lalu, masalah itu sempat menjadi bahasan. Akhirnya, pertemuan itu pun sepakat berencana membuat kerangka baru perpajakan ekonomi digital secara internasional.

Terlepas semakin derasnya desakan untuk mengenakan pajak bagi pelaku ekonomi digital transnasional seperti Google, pengumuman Google melalui PT Google Indonesia yang berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% kepada pemasang iklan yang beralamat di Indonesia tentu cukup melegakan.

Google menyebutkan, pengenaan pajak ini merupakan bentuk kepatuhan perusahaan kepada peraturan pajak di Indonesia. Pengenaan PPN ini mulai berlaku serentak per 1 Oktober 2019. Dengan demikian, semua pemasangan iklan di Google Ads dengan alamat penagihan di Indonesia akan dikenakan PPN 10%.

“Untuk pelanggan dengan status pemungut PPN, Anda diharuskan memberikan bukti surat setoran pajak asli dan ditandatangani kepada Google,” tulis keterangan Google seperti dilansir dalam situs resminya, Minggu (1/9/2019).

Kebijakan Google yang mewajibkan pembayaran PPN ini merupakan hal baru di Indonesia, yang memang belum mengenal pajak digital. Sebelumnya Google, termasuk Facebook, tidak mengenakan kewajiban pajak konvensional seperti ini. Dengan kata lain, memasang iklan di Google atau Facebook tidak perlu membayar PPN.

Transaksi Wajib Pajak

Transaksi iklan di Google juga merupakan transaksi wajib pajak di Indonesia dengan Google yang menjadi wajib pajak Singapura. Karena itu, dalam transaksi ini berlaku P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) Indonesia-Singapura. Adapun PT Google Indonesia hanya bertindak sebagai agen pemasaran di Indonesia.

Dalam keterangan tertulisnya itu, Google mengatakan pengenaan PPN 10% ini mewajibkan para pemasang iklan untuk mengirim slip bukti potong pajak jika ingin memotong pajak pemotongan 2% dari pembayaran iklannya ke Google.

Hal tersebut dilakukan untuk menghindari saldo terutang di akun Google Ads milik pemasang iklan. "Sementara untuk pelanggan dengan status pengoleksi PPN, harus memberi Google bukti pembayaran PPN (Surat Setoran Pajak/SSP) dengan mengirimkan dokumen fisik yang asli dan ditandatangani,” sebutnya.

Sayangnya kebijakan Google ini belum diikuti oleh Facebook dan Youtube. Hingga kini, masyarakat Indonesia yang hendak memasang iklan di Facebook atau Youtube tidak membayar pajak. Facebook atau Youtube juga tidak mewajibkan pemasang iklannya untuk membayar pajak.

Belum diketahui persis berapa pendapatan iklan Google di Indonesia. Namun, saat Google Indonesia hendak diperiksa pajaknya beberapa tahun lalu, sempat terungkap kalau Google meraup paling sedikit Rp5 triliun dari Indonesia.

Bagi pelaku ekonomi digital transnasional seperti Google, Facebook, Youtube, dan sebagainya, penghindaran pengenaan pajak di wilayah operasi aplikasinya sudah tidak bisa dihindari.

Wujud kompromi dari Google tentu patut diapresiasi meskipun masih banyak aspek masalah perpajakan yang masih perlu dibicarakan dengan pemerintah setempat berkaitan dengan potensi tax right tersebut.

Pertemuan Menteri Keuangan Kelompok Ekonomi G20 di Fukuoka, Jepang, Juni lalu cukup jelas memberikan pesan kepada pelaku ekonomi digital transnasional agar mereka berkompromi dan tidak bisa lagi terus menghindari kewajiban pajak tersebut. 

Pertemuan Menteri Keuangan G20 Jepang memang telah memberikan sinyal, mereka berencana membuat kerangka baru perpajakan ekonomi digital secara internasional. Materi itu, menurut rencana, akan menjadi konsensus pada Pertemuan Menteri Keuangan G20 di Arab Saudi pada 2020.

Pesan yang ingin disampaikan dari pertemuan Menteri keuangan G20 itu adalah perusahaan ekonomi digital raksasa dunia tidak lagi bisa menghindari dari pengenaan pajak di satu negara meski mereka tidak hadir secara fisik di negara tersebut.

Dan, Google telah mewujudkannya dengan berencana memulai pengenaan PPN 10% bagi konsumennya di Indonesia per 1 Oktober mendatang. Jadi, kita tunggu lagi kerelaan pelaku ekonomi digital berskala global lainnya untuk segera patuh terhadap regulasi perpajakan di wilayah negara operasinya. (F-1)