Gadis Arivia dan Nur Iman Subono dalam A Hundred Years of Feminism in Indonesia, an Analysis of Actor, Debates and Strategis mencatat beberapa nama perempuan pelopor pemikiran feminisme di Indonesia. Bersama dengan nama Maria Walanda Maramis (1872-1924) dari Sulawesi Utara, Dewi Sartika (1884-1947) dari Jawa Barat, Siti Walidah (1872-1946) atau sohor dipanggil Nyi Achmad Dahlan dari Yogyakarta, dan RA Kartini (1879-1904) dari Jepara Jawa Tengah, artikel ini juga memasukkan nama Roehana Koeddoes (1884-1972) dari Minangkabau, Sumatra Barat.
Nama terakhir inilah, belum lama berselang pada 7 November 2019 ditetapkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan ini merupakan hasil pembahasan dari pertemuan antara Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan Presiden Jokowi terkait usulan nama-nama calon Pahlawan Nasional tahun 2019, yang terdapat dalam Surat Menteri Sosial Rl nomor: 23/MS/A/09/2019.
Kelima sosok perempuan itu bisa dikata berasal dari satu generasi dan hidup di zaman yang relatif sama. Artinya kelima perempuan ini, saat itu menghadapi persoalan dan tantangan yang, kalaupun tidak sama, setidaknya kurang lebih relatif mirip. Mereka hidup di alam kolonialisme. Mereka juga hidup di alam budaya feodalisme dan patriarkhis, yang sangat jauh dari menguntungkan posisi dirinya dan kaumnya.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi keterkungkungan dan ketertindasan kaum perempuan ketika itu. Jangankan jauh-jauh membayangkan hendak memilih karir apa seperti zaman sekarang, dahulu kaum perempuan sekadar bermaksud mengenyam pendidikan atau hendak bersekolah, bahkan hampir-hampir tidak dimungkinkan. Ruang gerak kaum perempuan adalah ruang domestik dan bukan di ruang publik. Meminjam ungkapan bahasa Jawa, ruang gerak dan teretorial kaum perempuan ialah sebatas “dapur, sumur, dan kasur”.
Dalam konteks inilah, sejarah mencatat di masa kolonial kelima figur perempuan itu masing-masing memiliki jasa dan kontribusi besar dalam agenda gerakan kemajuan dan pemajuan kaum perempuan. Arivia dan Subono mencatat kelima sosok perempuan itu sebagai “tokoh pelopor feminis” di Indonesia. Merekalah para peletak dasar bagi ide-ide gerakan emansipasi kaum perempuan Indonesia. Kini, setelah Roehana Koeddoes menerimanya pada 2019, semua figur perempuan tersebut praktis telah mendapatkan atribut Pahlawan Nasional.
Mari kita kenal lebih jauh sosok terakhir. Siapakah Roehana Koeddoes, dan apakah kiprah utama sosok ini di masa hidupnya bagi agenda kemajuan dan pemajuan kaum perempuan? Singkatnya, apa yang membuat pada figur dirinya layak disematkan sebuah tanda kehormatan yang sangat tinggi oleh negara: Pahlawan Nasional.
Alat Perjuangan
Roehana Koeddoes, meskipun kurang tepat, sering disebut-sebut sebagai “Kartini dari Sumatra”. Disebut demikian karena laiknya Kartini, figur Roehana Koeddoes juga dikenal gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di masa hidupnya. Namun barangkali ia, sebenarnya justru telah selangkah lebih maju ketimbang adik Sosrokartono itu. Mari disimak catatan kiprahnya.
Roehana Koeddoes bukan hanya mengajar dan mendirikan sekolah keterampilan bagi kaum perempuan, atau mendorong kemandirian ekonomi bagi kaum perempuan. Dalam upaya memajukan kaum perempuan melalui jalan pendidikan dan penguasaan keterampilan, Roehana Koeddoes tentu tak jauh beda dari Kartini.
Seperti diketahui, pada 11 Februari 1911 Roehana Koeddoes mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), sebagai tempat pendidikan bagai kaum perempuan Koto Gadang. Tujuan didirikan KAS ini adalah mengangkat derajat perempuan Melayu di Minangkabau dengan mengajari kaum perempuan kemampuan menulis dan membaca, berhitung, keterampilan seperti jahit-menjahit dan menyulam.
Menarik dicatat di sini, setelah memperoleh pinjaman modal dari bank, ternyata KAS dalam pengelolaan Roehana berkembang menjadi unit usaha ekonomis. KAS akhirnya, jadi unit usaha ekonomi perempuan pertama di Minangkabau. KAS juga bergerak lebih jauh dengan pengelolaan unit simpan pinjam untuk perempuan dalam rangka mengembangkan usaha mereka.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1574125504_Untitled_1.jpg " />
Rohana Kudus. Foto: Arsip Nasional
Tapi, lebih dari semua itu. Roehana Koeddoes adalah seorang penulis dan sekaligus juga jurnalis perempuan pertama. Barangkali saja sebagai penulis, renungan-renungan pemikirannya tak sedalam ide-ide atau gagasan Kartini, yang kini dapat disimak dalam buku Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah. Pun kemampuannya menulis dalam bahasa Belanda dengan genre susastra yang saat itu tengah mejadi model penulisan karya-karya sastra di Belanda, barangkali juga tak bernilai sastrawi seperti tulisan-tulisan Kartini.
Namun berbeda dari Kartini, yang hanya menyampaikan ide-ide dan buah permenungannya kepada sahabat-sahabatnya melalui medium korespondensi secara terbatas, Roehana Koeddoes justru telah menuliskan gagasan atau ide-ide feminisnya sebagai kritik sosial. Ia membuat narasi tandingan sebagai kritik diskursus terhadap kondisi keterkungkungan dan keterbelakangan kaum perempuan saat itu. Roehana Koeddoes menulis di koran-koran.
Ia kemudian melangkah lebih jauh. Roehana Koeddoes berkiprah mengelola surat kabar perempuan sebagai alat perjuangannya untuk membela hak-hak kaum perempuan. Ia mengikuti jejak langkah Tirto Adhi Soerya (1880-1918), yang menerbitkan surat kabar perempuan pertama bernama Poetri Hindia. Tak berselang lama sejak terbitnya Poetri Hindia di Batavia pada 1908, empat tahun kemudian di Minangkabau terbitlah Soenting Melajoe di tahun 1912. Demikianlah, nama surat kabar besutan Roehana Koeddoes itu.
Kembali merujuk artikel Arivia dan Subono, topik yang disuarakan Soenting Melajoe dianggap kritis dan sekaligus progresif. Isu-isu yang disuarakan surat kabar ini bukan hanya sensitif pada zamannya, lebih dari itu bahkan jauh melampaui zamannya. Tulisan-tulisan Roehana Koeddoes mendobrak dunia kelam perempuan yang dipermainkan oleh adat-istiadat yang tidak adil.
Di zamannya Roehana Koeddoes adalah satu dari sedikit perempuan di Hindia Belanda yang percaya, bahwa diskriminasi perempuan merupakan praktik sosiokultural yang sewenang-wenang. Selain menyoal tidak terbukanya akses pendidikan dan keterampilan bagi kaumnya, sudah tentu Roehana Koeddoes di Minangkabau laiknya Kartini di Jawa, juga menyoroti isu poligami dalam tulisan-tulisannya.
Soenting Melajoe merupakan surat kabar kaum perempuan pertama di Minangkabau. Terbit di Kota Padang, dari tahun 1912 hingga tahun 1921. Menariknya, bisa diduga bahwa terbitnya Soenting Melajoe sesungguhnya merupakan bentuk “pemberontakan” kaum perempuan atas lingkungan sosial yang sangat diskriminatif pada posisi dan peran mereka.
Sekalipun masyarakat Minangkabau menganut matrilineal atau garis keturunan ibu, ruang gerak kaum perempuan tetap saja sangat terbatas. Peran dan posisi kaum perempuan dibatasi hanya pada urusan-urusan domestik. Tak hanya itu, saat itu poligami jadi tren tersendiri. Selain beristri banyak dan kawin-mawin menggejala secara sosial, proses perceraian juga diketahui sangat mudah dilakukan oleh kaum laki-laki. Bahkan sangat menyedihkan, perceraian mudah terjadi sekadar untuk mendapatkan perempuan lain.
Kondisi ketidaksetaraan gender di Minangkabau ketika itu terlukis sangat jelas dalam tulisan Haji Abdul Malik Karim Amrullah—atau termahsyur dengan nama akronimnya, “Hamka”. Merujuk Jeffrey Hadler (2010), Sengketa tiada Putus—Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau, dipaparkan bahwa Hamka menulis kritik tajam perihal perilaku kawin-mawin kaum laki-laki dalam karyanya Sedjarah Minangkabau dengan Agama Islam.
“Meskipoen begitoe tetapi di Minangkabau ‘adat tidak memberi kekoeasaan kepada perempoean boeat bertindak madjoe. Penghoeloe-penghoeloe dan ‘oelama-oelama soeka sekali beristeri benjak, dengan tidak memakai atoeran, malah melepaskan nafsoenja. Kalau poeas ditjeraikannja ditoekarnja dengan jang moeda. Pendéknja oemoem di Minangkabau bahwa beristeri lebih dari satoe, bertjerai orang toea berbini moeda, berkelahi bermadoe (sebajan) telah mendjadi satoe hal biasa, tidak gandjil lagi.”
Terkait kondisi sosial itulah, masih seturut Hadler disebutkan, bahwa Roehana Koeddoes telah membahas isu gender terkait bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan secara berbeda. Artikel berjudul Gerakan Perempoean Hindia, Roehana Koeddoes pada 2013 menulis:
“Oleh karena itoe berbangkitlah kami perempoean Hindia meoesahakan diri-sendiri hendak menoentoet apa jang bergoena dan wadjib bagi kami perempoean, sebagai mendjaga roemah tangga dan lain-lain ichtiar oentoek pentjari djalan penghidoepan, seperti pada sebelah desa ketjil jang ta’ berapa djaoehnja dari Fort de Kock (Kota Gedang) adalah kami mengadakan perkoempoelan perempoean-perempoean sadja, ja’ni oentoek mempeladjari kepandaian tangan, memegang roemah tangga dan beladjar bermatjam-matjam kepandaian; jang mana perkoempoelan itoe kami namai ‘Karadjinan Amai Satia’ [KAS=kas] ertinja peti tempat simpanan oeang; karena kalau leden dari perkoempoelan itoe soedah pandai bekerdja sebagai jang dimaksoed itoe, nistjajalah perkoempoelan itoe mengeloearkan oeang jang banjak ja’ni hasil pendjoealan kepandaian tangan jang hendak dipeladjari itoe boekan?”
Kembali pada Soenting Melajoe. Surat kabar ini terbit sebagai hasil kerja sama, antara Rohana Kudus dan Datuk Sutan Maharaja, pimpinan surat kabar di Kota Padang, Oetoesan Melajoe. Dalam Soenting Melajoe, posisi Roehana Koeddoes ialah pemimpin redaksi alias “pemred”.
Menariknya lagi, merujuk Danil M Chaniago (2014), Perempuan Bergerak, Surat Kabar Soenting Melajoe 1912- 1921, dipaparkan jika Poetri Hindia bukan diprakarsai oleh kaum perempuan dan masih dipimpin kaum laki-laki, maka Soenting Melajoe sejak awal kelahirannya diprakarsai dan dipimpin oleh kaum perempuan.
Seturut Chaniago, Soenting Melajoe merupakan surat kabar mingguan. Tagline koran ini “Bertoekoek bertambahlah ilmoe dan kepandaian perempoean”. Meskipun pihak redaksi tidak pernah mengulas makna atau artinya, dapat dipahami tagline ini merupakan cerminan dari spirit surat kabar ini bagi kemajuan dan kebangkitan kaum perempuan di Sumatra Barat. Format koran berukuran lebar sekitar 29 cm dan panjang sekitar 40 cm. Setiap kali terbit terdiri dari 4 halaman. Edisi pertama terbit tanggal 12 Juli 1912 dan koran terakhir terbit pada 28 Januari 1921.
Menarik disimak luasnya distribusi koran ini setidaknya terlihat dari kontributor perempuan yang berasal dari pelbagai daerah. Sebutlah Siti Djalinah, misalnya, ia berasal dari Sulit Air, Siti Noer Aana dari Sawahlunto, Kamisah dari Padang Panjang, Aminah dari Maninjau, Siti Fatimah dari Kotanopan, Siti Sjam dari Palembang, Siti Zubaedah dari Lubuk Pakam, Amna dari Bengkulu, Siti Fatimah dari Bangkinang, Ramlah dari Tanjung Karang, dan masih banyak lainnya.
Masih merujuk sumber di atas, bahkan disebutkan ada tulisan yang kontributornya berasal dari Johor dan Mesir. Selain berbentuk artikel, tulisan-tulisan itu juga tidak jarang mengambil bentuk syair. Isi tulisan didominasi oleh isu pendidikan dan kemajuan kaum perempuan.
Sebagai pemred sikap Roehana Koeddoes terlihat jelas. Arah kebijakan redaksinya selalu mengarah pada artikulasi perjuangan hak-hak kaum perempuan. Soenting Melajoe sudah tentu senantiasa mendukung segala upaya pemajuan bagi kaum perempuan. Namun bersamaan dengan itu, koran ini juga mengingatkan kaum perempuan supaya tidak meninggalkan adat-istiadatnya selama ini. Artikel ini tertuang dalam Soenting Melajoe Nomor 11 terbit pada 13 Maret 2014, yang isinya antara lain:
“Tidak sedikit perempoean jang soedah pintar laloe meloepakan adatnja dan meniroe adat Eropa. Hal jang seperti ini sepanjang pikiran hamba patoetlah dijauhi. Meskipoen dada kita soedah menjadi goenoeng pengetahoean tetapi adat kita jang soedah toeroen-menoeroen jangan dihilangkan.” (W-1)