Indonesia.go.id - KH Masjkur dan Gelar Waliyy al-Amr al-Daruri bi al-Syaukah

KH Masjkur dan Gelar Waliyy al-Amr al-Daruri bi al-Syaukah

  • Administrator
  • Rabu, 20 November 2019 | 05:05 WIB
PAHLAWAN NASIONAL
  Perwakilan keluarga dari KH Masjkur yang dianugerahi gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Foto: Setpres/Biro Pers

Tahukah Anda, konsep Waliyy al-Amr al-Daruri bi al-Syaukah? Selain merupakan buah refleksi NU terkait yurisprudensi (fiqih) Islam perihal posisi dan fungsi pemimpin negara, juga sudah tentu tak terlepas dari sikap pribadi Masjkur, selaku Menteri Agama saat itu.

Berdasarkan hasil pertemuan antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada 6 November 2019, usulan supaya KH Masjkur mendapat gelar Pahlawanan Nasional disetujui. Masjkur bersama lima tokoh lainnya, yaitu Rohana Kudus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, M Sardjito, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan AA Marimis, oleh Presiden Jokowi telah resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Sudah tentu kabar gembira ini disambut baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Masjkur menjadi tokoh NU kesembilan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sejarah pengusulannya pun telah diajukan sejak 2009.

“Seingat saya, (pengusulan) sejak 2009 yang efektif. Sudah lama kemudian menguap. Baru belakangan, pada 2014 diusulkan. Namun gagal,” kata Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekjen PBNU, dalam sebuah kesempatan.

Selama ini, NU telah mengusulkan beberapa nama calon Pahlawan Nasional, mulai dari Saifuddin Zuhri, Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Ahmad Shidiq hingga Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Masjkur paling "senior".

Menarik dicatat, masih merujuk statemen Abdul Mun’im, Masjkur adalah seorang kiai dan sekaligus pejuang. “Di medan laga, beliau komandan Hizbullah. Kemudian perang gerilya melawan agresi Belanda. Perang bersama Pak Soedirman, keliling Jawa bergerilya. Itu perjuangan yang memang riil. Ia berjuang di meja perundingan, lapangan, dan konstituante," ujarnya.

Tentu saja, di sini banyak hal menarik disimak. Selain ikut bergerilya membantu Pak Dirman, Masjkur juga tercatat sejarah ikut terlibat memasok para pemuda sebagai laskar pejuang dalam perang 10 November 1945. Dari laman resmi NU disebutkan, Masjkur adalah Komandan Tertinggi Laskar Sabilillah, tugasnya mengkonsolidasi kalangan ulama-ulama pesantren. Selain itu, ia bersama-sama KH Zainul Arifin juga terlibat memimpin Laskar Hizbullah untuk mengkonsolidasi kalangan santri-santri muda.

Sebagai gerilyawan, Masjkur terlibat dalam 10 November 1945 hingga agresi militer II pada akhir 1948 hingga pertengahan 1949. Tak salah jika Ahmad Syafi’i kemudian menyebutnya sebagai “Menteri Agama Gerilya.”

Bicara perjuangan Masjkur di lapangan konstituante, misalnya, tercatat dua kali dia terlibat. Pertama, pada momen krusial persidangan BPUPKI terkait persiapan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Bagaimana konstitusi negara dirumuskan hingga fase pengesahaan UUD 1945, bersama KH Abdul Wahid Hasjim, jelas keterlibatannya sangat intens.

Kedua, pada momen pasca-Pemilu 1955. Selain memilih anggota DPR (Dewan Permusyawaratan Rakyat), pada gelombang kedua juga dipilih anggota Dewan Konstituante. Lembaga terakhir ini mengemban mandat membentuk Undang-Undang Dasar Negara. Masjkur adalah salah satu anggota Dewan Konstituante. Artinya, Masjkur, tentu kembali merasakan ingar-bingar perdebatan sidang-sidang perumusan konstitusi, laiknya persidangan BPUPKI/PPKI sepuluh tahun sebelumnya saat republik untuk pertamakalinya dibentuk.

Salah satu isu krusial yang mengemuka ialah tentang dasar negara. Perdebatan menjadi sengit, khususnya antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan sekular yang mendukung Pancasila. Hingga karena dianggap berlarut-larut dan mengancam stabilitas nasional ketika itu, proses persidangan Dewan Konstituante pun diinterupsi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan lembaga itu dibubarkan.

Selain itu, Masjkur juga tercatat pernah menjadi Menteri Agama. Tak tanggung-tanggung, Masjkur lima kali menjabat di kementerian itu. Sudah tentu di sini patut diingat, saat itu pemerintahan berbentuk parlementer, dan kabinet sering jatuh silih berganti.

Masjkur menjadi Menteri Agama dalam empat kabinet. Masjkur pertama kali menjadi menteri agama pada kabinet Amir Syarifuddin. Dari 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Setelah Amir jatuh karena kegagalan perundingan Renville, Muhammad Hatta menggantikan. Masjkur kembali masuk dalam formasi menteri kabinet Hatta I. Dari 29 Januari 1948 hingga 4 Agustus 1948.

Masuk momen perang kemerdekaan sempat muncul fenomena dua Menteri Agama. Yaitu, Masjkur dan Mr TM Hasan. Fenomena dua menteri ini terjadi di masa pemerintahan darurat. Dari 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Setelah kegentingan perang mereda, dan proses perjuangan kembali melalui meja perundingan, kabinet Hatta II kembali memerintah. Masjkur kembali masuk menjadi Menteri Agama. Dari 4 Agustus 1949 hingga 20 Desember 1949.

Pascapenandatangan Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949. Salah satu hasil kesempatan ialah pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat). Untuk itu dibentuklah kabinet peralihan di bawah Susanto. Masjkur masuk kembali menjadi Menteri Agama. Dari 20 Desember 1949 hingga 21 Januari 1950.

Dan terakhir, Masjkur menjadi Menteri Agama di masa kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dari 30 Juli 1953 hingga 12 Agustus 1955.

Nah, pada momen terakhir inilah, ada hal yang patut digarisbawahi. Selain merupakan buah refleksi NU terkait yurisprudensi (fiqih) Islam perihal posisi dan fungsi pemimpin negara, juga sudah tentu tak terlepas dari sikap pribadi Masjkur selaku Menteri Agama ketika itu. Pokok soal yang mengemuka ialah soal posisi dan fungsi Presiden, seturut pandangan hukum Islam.

Legitimasi Yurisprudensi Islam

Seperti telah disinggung di muka, salah satu isu krusial di sepanjang sidang-sidang pembahasan konstitusi—baik momen BPUPKI/PPKI maupun Dewan Konstituante—ialah isu dasar negara. Ada aspirasi dari sebagian kelompok Islam Politik, yang menginginkan dasar negara adalah Islam dan bukan Pancasila. Kelompok ini berpamrih mendirikan negara berbasis Syariah Islam. Baginya Pancasila dianggap sebagai produk sekularisme dan mereka menolaknya.

Celakanya, penolakan ini tak semata dilakukan secara konstitusional, yaitu melalui pertarungan ide atau gagasan dalam forum lembaga secara resmi, melainkan juga dilakukan dengan cara mengangkat senjata. Mereka melakukan pemberontakan bersenjata.

Sebutlah, Darul Islam Indonesia (DII) atau Negara Islam Indonesia (NII). Kelompok ini diproklamasikan oleh SM Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat. Bukan hanya memproklamasikan berdirinya negara berdasarkan Syariah Islam, Kartosoewirjo juga mengangkat dirinya sebagai kepala negara. Gerakan ini kemudian menyebar ke bagian-bagian Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi, dan Aceh.

Meski demikian pemberontak bersenjata nisbi barulah dimulai sejak Kahar Muzakkar di Sulawesi. Sebagai mantan tentara, pada 1951 ia mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Selain itu, Muzakkar juga menyatakan diri bergabung dengan Gerakan Darul Islam Indonesia di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo. Tak kecuali adalah Daud Beureu'eh di Aceh. Pada September 1953, ia juga menyatakan Aceh adalah bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah Kartosoewirjo.

Dalam kerangka menghadapi risiko pemberontakan bersenjata dari kelompok Islam Politik ini—dahulu mereka lebih populer disebut dengan nama akronimnya, yakni DI/TII—Presiden Soekarno kemudian meminta fatwa dari para alim ulama tentang keabsahannya sebagai presiden dari pandangan Syari'at Islam. Masjkur, selaku Menteri Agama ketika itu, mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Soekarno dalam pandangan keagamaan Islam.

Merespons dinamika politik tersebut, maka para ulama khususnya mereka dari kalangan NU, lantas melakukan kajian mendalam selama 3 tahun lamanya. Fase pertama, melalui Konfrensi Alim Ulama di Tugu Jawa Barat, tanggal 12-13 Mei 1952. Fase kedua, diadakan kembali Konfrensi Alim Ulama di Bogor pada tanggal 4-5 Mei 1953. Dan terakhir atau fase ketiga, Konfrensi Alim Ulama di Cipanas, Cianjur, dan Bogor, pada tanggal 2-7 Maret 1954.

Merujuk Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik karya M Ali Haidar, disebutkan bahwa keputusan Konferensi Alim Ulama dengan Menteri Agama, hasilnya secara lengkap, ialah:

  1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat Negara sebagai dimaksud dalam UUD pasal 44, yakni Kabinet, Parlemen dan sebagainya adalah waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah.
  2. Waliyy al-Amr al-Daruri bi al-Syaukah wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari'at Islam.
  3. Tauliyah wali hakim dari Presiden kepada Menteri Agama dan seterusnya kepada siapa saja yang ditunjuk, termasuk pula Tauliah Wali Hakim yang menurut kebiasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh Ahlul-halli Wal-aqdi, adalah sah. Untuk menjalankan aqad-aqad nikah Wali Hakim, sesuai dengan yang dimaksud oleh UU Pencatatan Perkawinan, Talaq, dan Ruju' harus ada surat  peresmian (tertulis) lebih dahulu dari pemerintah.
  4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama Nomer 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa dan Madura adalah sah.

Seperti diketahui, dalam referensi Islam, kepala pemerintahan itu lazim disebut khalifah, Imam, Amir, atau Waliyul amri. Menarik disimak di sini, para ulama NU boleh dikata telah menciptakan gelar baru yang belum pernah ada dalam referensi Islam klasik, yaitu “Waliyy al-Amr al-Daruri bi al-Syaukah.”

Waliyy al amr artinya pemegang otoritas. Kata al daruri bisa diartikan darurat, sementara, atau terpaksa. Sedangkan kata syaukah memiliki arti duri atau senjata. Sehingga Waliyy al Amr al Daruri bi al Syaukah bisa diartikan sebagai “pemegang  otoritas yang bersifat sementara dengan kekuasaan penuh.”

Proses pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Waliyy al Amr al-Daruri bi al-Syaukah diberikan sekaligus sebagai penutupan Konferensi Alim Ulama ketiga. Momen seremonial itu dilakukan di Istana Bogor pada Minggu, 7 Maret 1954, dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden dan beberapa menteri dari NU.

Pengangkatan Soekano sebagai Waliyy al Amr al-Daruri bi al-Syaukah tentu sangat dibutuhkan terkait kondisi pemerintahan pada masa itu. Melalui Konferensi Alim Ulama Ketiga, ini berarti Presiden Soekarno diakui dan dikukuhkan dengan berlandaskan hukum fikih.

Dalam bahasa hukum, proses pemberian gelar Waliyy al Amr al-Daruri bi al-Syaukah bisa bermakna sebuah proses “yurisprudensi.” Pasalnya, pemberian gelar ini diputuskan berdasarkan pembelajaran dari konvensi fikih terdahulu ketika menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam Alquran maupun Alhadist. Konvensi fikih terdahulu ini menjadi pedoman bagi para ulama saat ini untuk menyelesaikan suatu perkara yang mirip kasusnya.

Menarik dicatat di sini. Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Waliyy al Amr al-Daruri bi al-Syaukah ini berdampak hilangnya perdebatan tentang tauliyah wali hakim.

Seperti diketahui, dalam fikih posisi perempuan yang tidak memiliki wali nasab ayah kandung, saudara kandung, maupun saudara dari pihak ayah, maka nikahnya bisa dilangsungkan oleh wali hakim. Dulu di Jawa posisi wali hakim ini diangkat oleh sultan atau oleh ninik mamak di Minangkabau. Maka sejalan dengan hasil konferensi ini kini posisi pengangkatan wali hakim itu dapat digantikan oleh Departemen Agama.

Selain itu, Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Waliyy al Amr al-Daruri bi al-Syaukah juga berhasil mengurangi gejolak menghadapi pemberontakan DI/TII. Para ulama dalam Konferensi Alim Ulama memberikan keputusan, bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno adalah absah dan wajib ditaati oleh seluruh umat Islam. (W-1)