Sesaji merupakan ciri khas adat Bali. Dalam kelengkapan sesaji Bali, umumnya kita temukan uang kepeng. Uang kepeng sesaji Bali berciri khas China dengan lubang di tengah, yang di Bali dikenal dengan nama pis kopong.
Uang kepeng pis kopong Bali terbuat dari logam yaitu bahan yang sama dengan yang digunakan untuk membuat gamelan. Ada juga yang dibuat dari bahan kuningan atau perunggu. Tulisan pada pis kopong bervariasi, ada yang berbentuk huruf China atau hanya berbentuk gambar saja.
Menurut sejarahnya, uang kepeng dalam sesaji tersebut tak lepas dari pengaruh China atas Bali. Beberapa literatur menyebut bahwa hubungan orang Bali dengan pendatang internasional terjadi pada zaman klasik pertengahan yaitu sekitar 900-1250 Masehi.
Sejarah mencatat bahwa Patih Gajah Mada (GM) diangkat jadi Maha Patih pada tahun 1334 M. Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa tahun 1343 M. Pada tahun itu pula, Patih GM dan pasukannya menaklukkan Bali sebagai daerah taklukan pertama. Artinya, perdagangan Bali dengan China berlangsung sebelum Majapahit menaklukkan Bali.
Tulisan atau gambar yang ada di pis kopong menunjukkan kapan uang kepeng itu dicetak. Pis kopong tertua yang pernah ditemukan adalah hasil cetakan zaman Dinasti Tang (7-9 Masehi). Tapi rata-rata pis kopong yang ditemukan di Bali adalah peninggalan Dinasti Ming yang berkuasa tahun 1368 hingga 1643 Masehi dan Dinasti Qing tahun 1644 hingga 1911 Masehi.
Selain berfungsi sebagai kelengkapan sesaji, uang kepeng China juga berfungsi sebagai alat tukar yang sah di Bali. Itu berlaku dari zaman Majapahit hingga masa kolonial Belanda, dan berakhir sekitar tahun 1930 Masehi. Meski sedari awal Belanda berusaha melarang pis kopong, tapi tak berdaya karena masyarakat Bali bersikeras memakainya sebagai alat pertukaran barang dan jasa di kalangan mereka.
Seperti digambarkan di atas, di Bali uang kepeng dipakai sebagai pelengkap upacara agama Hindu hingga sekarang. Dalam perkembangannya, karena uang kepeng makin sulit didapat, maka dipakai dalam upacara-upacara penting di pura saja. Sedangkan uang pada sesaji sehari-hari sudah beralih pada uang rupiah yang kita akrabi sekarang atau pis kopong yang dicetak di Bali dalam versi kekinian.
Tari Baris China Simbol Kesiapsiagaan Prajurit Berperang
Jejak China atas Bali juga terlihat di beberapa kesenian seperti seni tari. Tari Baris China adalah tarian sakral yang selalu ditarikan pada piodalan (ulang tahun) pada Pura Khayangan Tiga Desa Adat Renon. Juga ditarikan pada pura yang punya keterkaitan dengan Pura Renon, yaitu Pura Sanur, Pura Sakenan, Pura Peti Tenget, dan Pura Rambut Siwi.
Merunut pada kisahnya, digambarkan saat itu dinasti Marwadewa yang sedang memerintah sedang menghadapi serangan bertubi-tubi dari musuh sehingga prajurit harus selalu siap siaga. Uniknya, gerakan tarinya tidak mengikuti pakem tari bali umumnya karena hanya seperti orang berbaris yang dikombinasikan dengan gerakan seperti silat. Tari dibawakan oleh 18 orang penari laki-laki yang terbagi dalam dua barisan.
Para penari mengenakan baju putih dan sebaris lainnya memakai baju hitam. Masing-masing baris berjumlah sembilan orang. Busana yang dikenakan adalah topi khas Eropa atau Australia. Mereka memakai hem dan celana panjang ala Eropa dan selempang poleng (kain motif hitam putih) sebagai satu-satunya kekhasan Bali. Mereka tidak membawa tombak dan tameng seperti tentara masa lalu, yang mereka bawa adalah pedang China.
Tarian tersebut diiringi musik dari bebunyian gong beri yaitu gong ber dan bor (gong yang tidak bermoncol) dimana suaraya sember dan tidak semerdu gong bermoncol. Juga ada sungu yaitu alat musik tiup dari kerang dan beberapa instrumen lain. Gong beri diketahui berasal dari China dan pernah ditemukan di Thailand untuk mengiringi pesta perkawinan.
Musiknya dimainkan dengan cara menghentak-hentak seperti siap perang. Para penari berhadap-hadapan dan puncak tarian itu adalah ketika mereka mengalami kesurupan (trance) ketika memainkan pedang. Ketika trance itulah, biasanya mereka berkata-kata dalam bahasa Tionghoa.
Ada juga kesenian Bali yang kental dipengaruhi budaya China, yaitu kesenian Barong Landung. Tidak seperti barong lainnya yang berwujud binatang, Barong Landung adalah sepasang patung besar (seperti ondel-ondel). Barong Landung laki, wajahnya menakutkan, dengan muka hitam dan gigi yang keluar. Sedangkan Barong perempuan disebut Barong Luh yang digambarkan seperti perempuan China.
Barong Landung merupakan perwujudan dari Raja Sri Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wie dari Balingkang yang terkena kutuk Bathari Danu. Kesenian Barong Landung sering mengambil lakon Arja dalam pementasannya.
Keterkaitan antara Cina dan Bali sangat erat mungkin karena secara historis dan budaya sama-sama serupa. Jika kita perhatikan kesamaan Hindu dan Kong Hu Cu adalah agama arwah yaitu mengagungkan dan menyembah leluhur. Keduanya sama-sama memakai air suci dan dupa, serta tata cara keduanya yang sangat mirip.
Akulturasi memang merupakan proses yang panjang. Dimulai dari kontak, interaksi, intergrasi, barulah kemudian terjadi proses akulturasi dan asimilasi. Bali dan China sudah melampaui ini semua. (K-CD)