Sering salah dipahami khalayak luas, bahwa Buya Hamka selaku Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun 1981 pernah mengeluarkan fatwa yang isinya melarang kaum muslim mengucapkan selamat Natal.
Sialnya, salah pahamnya khalayak luas tentang isi fatwa yang dikeluarkan Hamka saat memimpin organisasi ini hingga kini terus saja sengaja direproduksi di media sosial. Coba masukkanlah kata kunci Hamka dan Natal di mesin pencari, maka segeralah muncul keriuhan yang simpang-siur terkait isu pelarangan kaum muslim mengucapkan selamat Natal.
Isu pelarangan umat Islam mengucapkan selamat Natal jelas tidaklah benar. Jelang perayaan Hari Natal di tahun 2014, Ketua Umum MUI saat itu yaitu Din Syamsuddin telah meluruskan pendapat keliru yang berkembang di tengah masyarakat tentang Fatwa MUI mengharamkan orang Islam mengucapkan selamat Natal.
Menurut Din, MUI tak pernah mengeluarkan fatwa itu. Yang benar ialah, MUI pada 1981 mengeluarkan “Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama. Hal yang diharamkan adalah bila umat Islam mengikuti upacara Natal bersama," ujar Din.
Menurut Din, fatwa yang dikeluarkan Hamka selaku Ketua Umum MUI yang pertama, karena saat itu banyak orang muslim ikut berpartisipasi merayakan upacara Natal di gereja. Tindakan berpartisipasi dalam upacara Natal inilah yang diharamkan, karena hal itu termasuk peribadatan atau ritual keagamaan.
Din membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal, terlebih apabila yang merayakan adalah kerabat dan saudara. Menurut Din, ucapan itu tidak akan merusak keyakinan agama seorang muslim. Islam, kata Din, adalah agama yang membawa rahmat pada sekalian alam bukan merusak kerukunan.
Selain fatwa haram bagi kaum Muslim ikut berpartisipasi merayakan Natal Bersama, pada 1 Juni 1980 Hamka juga mendorong keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya pernikahan beda agama.
Menarik disimak, sepanjang sejarahnya MUI ini telah dua kali mengeluarkan fatwa seputar haramnya kawin beda agama. Pada 28 Juli tahun 2005, setelah sidang dalam Musyawarah Nasional MUI VII keluarlah Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
Substansi isi dalam fatwa ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan pada 1980. Bahwa, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. MUI yakin, bahwa laki-laki dan perempuan non-Muslim meskipun menganut agama Yahudi maupun Nasrani, tetap bukan termasuk sebagai Ahli Kitab (ahl al kitab).
MUI menjelaskan, bahwa yang disebut Ahli Kitab adalah orang yang “percaya tidak ada Tuhan selain Allah”. Dalam konteks pemaknaan inilah, baik laki-laki dan perempuan yang memeluk agama Yahudi maupun Nasrani, tak termasuk dalam kategori itu.
Dasar teologis dalam teks Alquran yang dikuatkan fatwa MUI tahun 2005 menjadikan perkawinan beda agama sesuatu yang mustahil di Indonesia. Jika dihadapkan dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM), ketentuan Fatwa MUI tersebut jelas mengabaikan hak warga negara untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
Tafsiran MUI tentang haramnya nikah beda agama adalah satu model tafsiran saja. Tentu saja juga bukanlah satu-satunya tafsiran resmi. Lembaga civil society lainnya misalnya The Wahid Institute atau juga Yayasan Paramadina di masa kepemimpinan Nurcholish Madjid nisbi memiliki kesimpulan yang berbeda terkait isu nikah beda agama.
Fiqih Lintas Agama
Pluralitas masyarakat Indonesia yang berbeda agama adalah sebuah keniscayaan. Indonesia adalah bangsa yang heterogen, multietnis, multibudaya, multibahasa, dan bahkan multiagama. Persinggungan dan pertautan masyarakat Indonesia dengan latar belakang keragaman termasuk agama yang berbeda jelas merupakan realitas yang tak bisa dihindari.
Ibarat mata rantai, perkawinan beda agama adalah efek dari sosialisasi kehidupan dan kerukunan masyarakat Indonesia. Di titik inilah, agama dihadapkan dengan konteks masa kini, sehingga yang dibutuhkan dalam kehidupan agama khususnya umat Islam, adalah bagaimana sebuah teks bisa yaitu Alquran berbicara kepada umat dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga tafsiran teks tersebut bersifat kontekstual.
Tema kawin beda agama merupakan salah satu masalah keagamaan yang tidak pernah tuntas dibahas. Bicara topik ini lazim menyulut pro dan kontra. Seperti telah disinggung di muka, salah satu titik polemis ialah menyangkut terminologi Ahli Kitab, musyrik, dan kafir.
Sebuah tulisan yang mungkin bisa dikatakan mewakili ide dan gagasan Nurcholish Madjid dan para pemikir Islam di institusi Paramadina tentang nikah beda agama ialah karya bersama berjudul Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Selain Cak Nur, demikian Nurcholis Madjid akrab dipanggil, juga terdapat nama lain di antaranya Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidyat, Masdar Mas’udi, dan lain-lain.
Menarik dicatat di sini. Salah satu fokus buku ialah mengupas topik perihal legalitas kawin beda agama. Topik itu dilihat secara sistematis, mulai dari menginventarisasi ayat-ayat Alquran yang bicara perihal perkawinan beda agama secara general, hingga interpretasi terhadap teks-teks tersebut dengan menghadirkan konteks hitoris turunnya ayat. Boleh dikata, buku ini merupakan hasil dari ijtihad secara kolektif, antara Cak Nur dan para pemikir Paramadina yang tergabung dalam Yayasan Wakaf Paramadina.
Salah satu kritik utama yang disampaikan buku ini, adanya anggapan kuat bahwa ilmu fiqih telah mencapai puncak kematangan dan kesempurnaannya, bahkan tak sedikit yang beranggapan bahwa tafsiran-tafsiran fiqih di masa klasik telah siap saji untuk disantap di zaman modern. Topik isunya dianggap telah komplit dan juga telah terkodifikasi rapi.
Kuatnya anggapan ini membawa konsekuensi terjadinya distorsi atas fungsi esensial seorang ahli fiqih hari ini, yaitu hanya dibatasi pada upaya-upaya pengadopsian, mengakomodasi, dan melanjutkan keseluruhan pemikiran dan mazhab yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu. Implikasinya, ahli fiqih (fuqaha) di zaman modern lazimnya hanyalah mereproduksi pandangan-pandangan ahli fiqih era klasik.
Mengambil contoh Imam Syafi’i, misalnya, buku Fiqih Lintas Agama menyebutnya sebagai arsitek ilmu fiqih paling brilian. Namun harus diingat karena pikiran-pikiran Syafi’i pulalah, maka tradisi fiqih sebenarnya tidaklah berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Menurut buku itu, kondisi demikian tidak terlepas karena sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqih-nya di abad ke-9, ternyata para pemikir Muslim hingga kini tidak mampu keluar dari jeratan metodologisnya.
Bicara soal legalitas nikah beda agama yang dirumuskan oleh para pemikir Paramadina ini, kontruksi fiqih-nya mudah diduga tak terlepas dari buah ijtihad Cak Nur perihal konsepsi teologi kemajemukan keagamaan (religious plurality). Menurut Cak Nur, prinsip-prinsip pluralisme telah diajarkan oleh Alquran dan teladan Nabi Muhammad, dan juga telah dipraktikkan di sepanjang masa keemasan era klasik umat Islam melalui pemahaman terhadap terminologi Ahli Kitab.
Sedangkan pluralisme agama dalam gagasan Cak Nur adalah kemajemukan jalan menuju kebenaran yang satu, yaitu kebenaran Tuhan. Hal didasarkan pada keyakinan bahwa Kebenaran Yang Satu hanya Tuhan, maka hanya Tuhan yang tidak boleh lebih dari satu, jalan menuju Tuhan sebagai Kebenaran Yang Satu tentu saja akan beragam, sesuai dengan kemampuan manusia mendapatkan dan menalar informasi tata cara menuju Tuhan.
Pluralisme agama, lanjut Cak Nur, juga dapat dilihat dari aspek spiritualitas di mana semua agama memiliki inti ajaran penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Singkat kata, “Banyak pintu menuju Tuhan,” kata Cak Nur.
Melalui perspektif kemajemukan jalan menuju Tuhan inilah, Cak Nun dan para pemikir Paramadina kemudian memasuki medan tafsiran tentang Ahli Kitab. Buku Fiqih Lintas Agama menekankan, menggeneralisasi Ahli Kitab sebagai serta-merta bermakna sama atau identik dengan makna istilah musyrik dan kafir adalah sebuah kekeliruan.
Menariknya, pemaknaan soal siapakah yang disebut Ahli Kitab ini tidaklah sekadar penganut Yahudi dan Nasrani, melainkan juga dielaborasi meliputi agama-agama lain yang memiliki tuntunan kitab suci.
Dari sinilah buku Fiqih Lintas Agama kemudian memasuki topik legalisasi nikah beda agama. Mereka menyimpulkan, pernikahan beda agama disandarkan pada tafsiran QS. al-Maidah ayat 5, bahwa laki-laki muslim dihalalkan menikahi wanita Ahli Kitab. Lebih jauh seiring perkembangan zaman, juga dimungkinkan jika dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah pun dibolehkan menikah dengan laki-laki non-Muslim.
Salah seorang penulis buku Fiqih Lintas Agama, Zuhairi Misrawi, memandang letak keberhasilan buku itu bukan pada cetak ulangnya. “Melainkan pada dilaksanakannya isi buku ini, di antaranya dengan mawadahi kawin beda agama,” kata alumnus Al-Azhar Kairo ini.
Bagaimana potretnya? Dari sumber media arus utama disebutkan Paramadina mulai menikahkan pasangan beda agama pada Oktober 2001. Sejauh ini, merujuk statemen Staf Pengajar di Pasca-Sarjana di Universitas Paramadina, Zainun Kamal mengakui, Paramadina telah menikahkan puluhan pasang pengantin berbeda agama. Tak hanya itu, lembaga ini juga memberikan konsultasi terhadap pasangan kekasih berbeda iman namun keduanya serius hendak melakukan pernikahan beda agama.
Namun demikian pada perjalanan selanjutnya, terkait rencana pernikahan pasangan Deddy Corbuzier (Katolik) dan Kalina Ocktaranny (Islam) yang awalnya juga dikabarkan bakal menikah di Paramadina pada 2005, Machnan R Kamaluddin, Ketua Umum Yayasan Paramadina saat itu pun unjuk bicara. Lewat surat pembaca tertanggal 16 Januari 2005, Machnan menulis: “Yayasan Wakaf Paramadina Bukan Lembaga Perkawinan." Ia menyangkal kabar, Deddy dan Kalina akan menikah di Paramadina.
"Paramadina bukan lembaga pernikahan yang menikahkan orang yang seagama maupun yang berlainan agama,” tulis Machnan. "Oleh para pendirinya, termasuk Prof. Nurcholish Madjid, lembaga ini dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan dan pencerahan umat,” ujarnya.
Merespons ini, The Wahid Institute, lembaga pimpinan Yenny Abdurrahman Wahid, kemudian juga mendeklarasikan diri sanggup memfasilitasi nikah beda agama. “Kami mau menikahkan asal ada jaminan bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil. Tapi (kami) tidak menguruskan pencatatan,” kata Ahmad Suaedy, Direktur Wahid Institute saat itu. (W-1)