Apa yang anda bayangkan bila melihat jenazah-jenazah manusia dibiarkan begitu saja tanpa dilakukan pemakaman umumnya? Tentu anda akan membayangkan bau tidak sedap akan mengganggu anda. Juga keadaan seram dan penampakan hantu lainnya. Tapi ini tidak terjadi di pemakaman wisata pemakaman Desa Trunyan, Kintamani, Bali. Wisata pemakaman di tempat ini sudah terkenal di wisatawan lokal dan mancanegara. Tempat wisata kuburan yang memiliki latar belakang sejarah sehingga membuat para wisatawan domestik maupun mancanegara yang penasaran dengan adat istiadat Bali lebih khusus di Desa Trunyan Bali.
Desa Trunyan menawarkan keindahan alam yang mempesona dari sisi eksotisme adat serta budaya Pulau Dewata yang menjadi daya tarik sendiri. Desa ini dikenal memiliki tradisi pemakaman yang unik dibandingkan desa-desa di Pulau Bali lainnya. Kebiasaan masyarakat Trunyan, jenazah biasanya hanya diletakkan begitu saja di area pemakaman tanpa dikubur atau ngaben terlebih dahulu. Tidak semua jenazah dijadikan satu area pemakaman, ada tiga tempat pemakaman yang terpisah yaitu, Seme Wajah yang diperuntukan bagi mereka yang meninggal secara wajar, lalu Seme Bantah untuk mereka yang meninggal tidak wajar atau akibat kecelakaan dan Seme Muda untuk bayi, anak kecil, dan yang belum menikah.
Sebelum dimakamkan dilakukan prosesi dibersihkan dengan air hujan dan membungkusnya dengan kain, tetapi bagian kepala tidak tertutup. Setelah itu jenazah akan dibaringkan dalam sangkar bambu untuk menghindari hewan buas. Bila semua sangkar sudah penuh, maka jenazah yang paling lama akan dikeluarkan untuk memberi ruang bagi mayat baru dengan meletakannya di atas tumpukan. Saat tubuh mayat sudah hancur akibat panas matahari, tulang-tulangnya akan ditempatkan di sebuah altar di bawah pohon suci.
Disana anda akan melihat jenazah-jenazah yang berjejer rapi, tulang-belulang belulang yang berjejer, tebaran uang, hingga barang-barang yang akan dibiarkan bersama jenazah tersebut. Anehnya, area pemakaman tersebut tidak ada aroma bangkai atau tak sedap lainnya. Menurut cerita lokal, salah satu alasannya karena ditengah pemakaman tumbuh pohon Taru Menyan yang cukup besar dan mempunyai aroma khas menyan yang bisa menghilangkan semua aroma tidak sedap di area tersebut. Uniknya di Desa Trunyan, anda tidak akan menemukan perempuan dari Desa Trunyan yang berkunjung ke pemakaman. Mereka percaya bahwa desa akan terkena gempa bumi atau letusan gunung berapi jika perempuan mendatangi pemakaman tersebut. Begitu juga saat melakukan prosesi pemakaman, hanya para laki-laki saja yang diizinkan mengantarkan jenazah dari persiapan hingga ke pemakaman semua dilakukan oleh laki-laki. Setelah dari pemakaman para lelaki juga harus melakukan proses pembersihan diri, baru setelah itu dibolehkan masuk ke Pura Pancering.
Wisata ke Desa Trunyan memang sarat dengan budaya lokal peninggalan leluhur kita. Berwisata di Trunyan tidak dapat dilakukan sembarangan. Tidak sembarangan dalam bertutur dan bersikap. Alasan itulah yang membuat berwisata ke Trunyan juga ditawarkan dalam bentuk paket wisata dimana jasa guide dibutuhkan. Desa Trunyan tidak dapat dijangkau dengan mudah bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Anda harus menaiki perahu menyeberangi Danau Batur menuju Trunyan. Jarak tempuh penyeberangan itu sendiri 45 menit. Tentu saja, faktor cuaca mengambil peran dalama kelancaran perjalanan anda. Kocek yang anda harus keluarkan untuk perjalanan ini kurang lebih 200 ribu rupiah.
Asal-usul Desa Trunyan.
Kebiasaan masyarakat Trunyan yang tidak menguburkan jenazah keluarga mereka, ternyata memiliki cerita sendiri yang sampai saat ini dipercaya oleh masyarakat Trunyan. Diceritakan bahwa dahulu kala, Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta memiliki empat orang anak (tiga orang lelaki dan satu orang perempuan). Suatu hari mereka mencium bau harum semerbak dan sangat menyengat. Pangeran sulung berkata, “Bau harum apakah ini? Apakah kalian mencium bau harum ini?,” tanya pangeran kepada ketiga orang adiknya. Ketiganya mengiyakan pertanyaan sang kakak. Si putri bungsu menambahkan bahwa bau tercium berasal dari timur. Lalu keempatnya seperti terhipnotis, sepakat meminta ijin kepada sang ayah, untuk mencari asal muasal bau yang tercium hingga ke dalam istana.
Semakin pergi ke arah timur bau tersebut semakin menyengat hingga tiba di Pulau Bali yaitu di Desa Ciluk Karangasem dan Tepi yang dekat Buleleng. Setibanya di kaki Gunung Batur sebelah selatan, si putri bungsu tiba-tiba berhenti karena tertarik dan ingin menetap. Lalu permintaan putri bungsu diiyakan ketiga orang kakaknya. Sejak saat itu sang putri menetap di Lereng Gunung Batur tempat Pura Batur berdiri, sang putri diberi gelar Ratu Ayu Mas Maketeg. Ketiga orang pangeran melanjutkan perjalanan kembali hingga di tengah perjalanan mereka mendengar suara burung yang begitu merdu. Saking senangnya pangeran ketiga berteriak kegirangan hingga membuat kakak sulungnya terganggu dan marah. “Hai adikku, bila kamu senang disini dan ingin tinggal maka tinggallah disini?,” tanya sang kakak sulung dengan marah. Tapi tawaran sang kakak sulung ditolak oleh pangeran ketiga.
Terjadilah perkelahian antara pangeran sulung dan pangeran ketiga hingga membuat sang kakak sulung menendang adik ketiganya. Pangeran ketiga jatuh dalam posisi duduk bersila hingga menjadi patung. Sampai saat ini, patung batu Bathara (Dewa) itu masih bisa ditemukan di Kedisan dengan posisi duduk bersila. Patung Bathara yang adalah penjelmaan pangeran ketiga diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero dan sekarang sedang bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu atau bangunan suci dalam pura yang beratap tujuh tingkat di Pura Dalam Pingit, di Desa Kedisan. Tinggal pangeran sulung dan pangeran kedua melanjutkan perjalanan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur. Sampailah mereka di dataran, mereka bertemu dua gadis cantik. Pangeran kedua tertarik menyapa mereka tetapi Pangeran sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu terjadilah adu mulut hingga membuat si sulung emosi.
Pangeran sulung kembali menendang adiknya hingga tertelungkup. kemudian desa tersebut dinamakan Desa Abang Dukuh. Pangeran sulung melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mencari sumber bau harum tersebut. Dia kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur hingga tiba di sebuah dataran yang tumbuh pohon Taru Menyan. Pohon tersebut ternyata ditunggu oleh seorang dewi cantic jelita yang duduk sendirian. Pangeran sulung terpesona dan ingin memperisteri sang dewi. Lamaran tersebut diterima sang dewi dan bersedia menerima syarat untuk menjadi pemimpin desa mendapatkan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.
Ratu Sakti Pancering Jagat kemudian menjadi dewa tertinggi orang Trunyan, sedangkan istrinya menjadi Dewi Danau Batur yang samapai sekarang dipercaya sebagai penguasa danau tersebut. Sang raja yang ingin melindungi desa dan rakyatnya dari serangan orang luar membuat titah menghilangkan bau wangi pohon Taru Menyan dengan tidak menguburkan jenazah-jenazah tapi dibiarkan di dekat pohon Taru Menyan. Lambat laun bau wangi tidak tercium semerbak lagi dan hanya tercium bila kita berada di sekitar area pemakaman. (K-GR)