Indonesia.go.id - Untung Surapati, antara Cinta dan Tragedi

Untung Surapati, antara Cinta dan Tragedi

  • Administrator
  • Selasa, 14 Januari 2020 | 23:04 WIB
KESUSASTRAAN
  UNTUNG SUROPATI: Cover buku Suropati karya Abdoel Moeis Foto: goodreads.com)

Ada cinta sejati terpatri sangat kuat, juga kisah tragis mengharu biru. Selain heroisme, cinta, dan tragedi inilah tampaknya membuat kisah Untung Surapati melegenda dan sekaligus lekat di hati masyarakat Indonesia hingga kini.

Menyimak kembali perjalanan hidup Untung Surapati melalui fragmen roman karya Melati van Java, sedikit atau banyak, bakal mengingatkan orang pada film Braveheart. Tayang perdana pada 1995, film yang disutradarai sekaligus dibintangi Mel Gibson itu menceritakan tokoh legendaris yang hidup di kisaran abad ke-13 asal Skotlandia, bernama William Wallace.

Titik temu antara sejarah hidup Untung Surapati dan William Wallace adalah saat kedua tokoh legendaris ini sama-sama menjadi pemberontak. Menariknya, pemberontakan kedua sosok ini bermula dari kehilangan akan kekasih hatinya. Keduanya sama-sama menikah secara diam-diam, namun akhirnya diketahui publik, dan ternyata berdampak fatal.

Jika Untung Surapati lantas dipisahkan dari istrinya, Suzanna Moor, karena ketidaklaziman di zaman itu, di mana lelaki bumiputra kawin dengan perempuan Eropa. Lalu Untung Surapati masuk penjara dan Suzanna Moor dipulangkan ke negeri Belanda.

Sedangkan, William Wallace kehilangan istrinya karena dibunuh oleh prajurit Inggris. Pembunuhan Murion, istri Wallace ini, didasarkan dan mengatasnamakan pada konsepsi prima nocta. Sebuah hukum legal yang memberikan hak bagi setiap bangsawan Inggris untuk tidur dengan pengantin wanita Skotlandia di malam pertama mereka.

Ya, sangat jelas terdapat ketidakadilan sosial mendera kuat dalam kehidupan kedua tokoh legendaris itu. Yang mana itu berakar kuat dalam tata nilai dan tata kehidupan kolonialisme. Hindia di bawah koloni Belanda. Skotlandia di bawah koloni Inggris. Kisah kasih yang tak sampai inilah, yang langsung atau tidak, telah melecut kedua sosok ini menjadi pemberontak yang legendaris.

Seperti telah diulas artikel sebelumnya, Kawin Antarbangsa, kisah cinta Untung Surapati dan Suzanna Moor setidaknya harus melampaui tiga jurang sosial. Pertama, jurang menganga yang hadir karena prasangka rasialisme. Saat itu supremasi kulit putih dan politik Apartheid kuat mendera kehidupan kaum bumiputra.

Pada akhir abad ke-17, perkawinan antarbangsa jelas tidaklah lazim. Terlebih posisi lelakinya ialah seorang bumiputra dan posisi perempuannya seorang Eropa atau Belanda.

Kedua, jurang prasangka kelas sosial. Seperti diketahui Untung Surapati adalah budak dari orang tua Suzanna Moor, Endeler Heer Moor. Cinta yang hendak melampaui jurang prasangka kelas sosial jelaslah bukanlah perkara gampang.

Saban hari, selain mengerjakan banyak tugas ini itu di keluarga tersebut, Untung juga harus menemani dan melayani Suzanna, putri terkasih Tuan Moor. Sementara posisi kelas sosial Tuan Moor, merujuk Dick Hartoko (1985), adalah anggota Dewan Hindia, seorang pejabat tinggi pemerintahan di Hindia Belanda. Sumber lain menyebutkan, Tuan Moor adalah komandan militer pasukan VOC.

Ketiga, jurang prasangka perbedaan agama. Untung Surapati yang berasal dari Bali lazimnya tentu memeluk agama Hindu-Bali. Sedangkan, Suzanna Moor sebagai orang Belanda lazimnya juga memeluk Kristen. Jika saat ini saja perkawinan antaragama masih sering menuai keriuhan publik, maka bisa dibayangkan bagaimana kegaduhan publik di Tanah Hindia saat itu menjelang akhir abad ke-17.

Dua Fragmen Novel

Tulisan ini bermaksud memaparkan kilasan cerita dari roman percintaan antara Untung Surapati dan Suzanna Moor, menggenapi dua artikel sebelumnya, Sang Legenda Jawa dan Kawin Antarbangsa.

Merujuk Pramoedya Ananta Toer (2003) dalam Tempo Doeloe—Antologi Sastra Pra-Indonesia, disebutkan seluruh karya Melati van Java, yang memiliki nama asli Nicolina Maria Christina Sloot, telah diterjemahkan utuh oleh Ferdinand Wiggers.  Roman Van Slaaf Tot Vorst diterjemahkan menjadi Dari Boedak Sampe Djadi Radja, roman ini terbit di Batavia pada 1898.

Sejauh ini, ada dua fragmen cerita dari roman itu yang telah ditulis ulang. Pertama, berjudul Kepada Anakku!. Fragmen ini berkisah tentang surat seorang ibu (Suzanna) kepada anaknya (Robert), yang barulah boleh dibaca nanti saat anaknya telah dewasa. Karya ini diterjemahkan dan dipublikasikan kembali dalam Bianglala Sastra, Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan Indonesia karya Dick Hartoko.

Selain itu, bagian keenam dari karya Dari Boedak Sampe Djadi Radja juga telah dirilis kembali dalam buku Pramoedya Ananta Toer tersebut di atas. Berjudul Soerapati Hakim Pengadilan, fragmen kisah ini bercerita tentang pertemuan Surapati dengan anaknya, Robert, buah hatinya dengan Suzanna, hingga momen kematian Surapati dalam peperangan menghadapi pasukan VOC di Pasuruan.

Ya, banyak hikmah nilai-nilai universalisme (virtue) momot dalam kisah roman karya Melati van Jawa. Ada cinta sejati yang sangat kuat, juga kisah tragis mengharu biru. Selain heroisme, cinta, dan tragedi inilah, yang bukan tidak mungkin, justru membuat kisah Untung Surapati jadi legendaris sekaligus lekat di hati masyarakat Indonesia, bahkan hingga kini.

Mari disimak beberapa poin penting sebagai saripati hikmah dari kedua fragmen tersebut.

Fragmen Pertama: Kepada Anakku!

Dalam fragmen Kepada Anakku!, struktur narasi dibangun dengan plot orang pertama, yaitu Suzanna sendiri sebagai pencerita. Surat itu menceritakan masa lalu kisah percintaannya dengan Untung Surapati kepada anaknya, Robert.

Bahwa, sebelum ia menikah dengan Surapati, Suzanna selalu memberi hati dan sekaligus membangkitkan keberanian pemuda bumiputra asal Bali itu untuk mengambil langkah mengawini dirinya yang beretnis Eropa.

“Dan aku terus memberinya hati, memberinya keberanian yang pasti tidak dimilikinya andaikata aku tidak membangkitkannya. Maklumlah, Robert, aku cinta padanya, biarpun ia berkulit sawo matang dan ia hanya seorang budak.”

Lebih jauh Suzanna juga mengatakan:

“Memang, Kakanda, dan kuulangi kembali: Tuhan Allah orang Nasrani tidak membeda-bedakan manusia menurut warna kulitnya. Ia hanya mementingkan hati mereka.”

“Beratkah rantai perbudakan (itu)?” tanya Suzanna.

Surapati menjawab:

“Tidak, tetapi kadang-kadang terasa berat juga dan satu isyarat dari ayahmu cukup menjadikannya alat penyiksa. Namun jika benar apa yang kau katakan, tuanku puteri, maka dengan senang hati aku akan menyembah Tuhan Allahmu dan Ia akan merelakan aku memperistri dirimu. Dan ayahmu akan menerima aku sebagai anaknya sendiri, karena kau kusukai lebih daripada kusukai cahaya mataku, atau matahari yang menyinari kita, lebih daripada kenangan baginda ayah dan ibuku.”

Surapati diceritakan sempat berharap atau berkhayal tinggi. Namun tak berlangsung lama, harapan atau khayalan itu kemudian disanggahnya lagi sendiri.

 “Tetapi aku tidak boleh membayangkan, bahwa itu akan terjadi, Nona Suzanna, sama seperti cacing di bawah telapak kakimu tidak boleh memikirkan bintang yang waktu malam bersinar terang di angkasa.”

Suzanna tetap bersikukuh meyakinkan Surapati,

“Tidak, tidak, sayangku! Ayah tidak berbeda pendapat. Beliau pun maklum, bahwa di hadapan Tuhan semua orang adalah saudara sekandung dan Dialah Bapa kita. Ayah cinta padamu dan memanjakan dirimu. Nah, aku akan menandaskan kepadanya, bahwa engkaulah satu-satunya pria yang kukehendaki sebagai suami.”

Alur cerita kemudian mengerucut, Suzanna jugalah inisiator yang mendorong pemuda bumiputra Surapati untuk segera menikahinya.

“Ayah sekarang sedang dalam perjalanan, apa yang dapat menghalangi kita untuk kawin sebelum ia pulang.”

“Maukah kau jadi suamiku?” lanjut tanya Suzanna. “Marilah kita bergegas-gegas. Tetapi di manakah upacara nikah akan kita langsungkan? Kau belum memeluk agama Nasrani, jadi di gereja tak bisa dilakukan. Kau tahu jalan keluarnya?”

Surapati menjawab:

“Nah,” ujarnya, “Sanggupkah kau menjadi istriku menurut upacara agamaku, sementara kita menantikan kesempatan untuk menikah di hadapan Tuhanmu?”

Suzanna setuju. Sayangnya tidak diceritakan lebih jauh bagaimana akhirnya mereka berdua menikah. Surat itu hanya menceritakan, Suzanna bersumpah di bawah Kitab Injil di depan seorang budak tua yang mencintai Surapati seperti anaknya sendiri. Bahwa, Suzanna akan mencintai Surapati seumur hidupnya.

Diceritakan dalam surat Kepada Anakku! itu, Suzanna ketika itu berusia 16 tahun. Sayangnya usia Surapati tidak disebutkan. Sekadar dikisahkan, usia Surapati berada di atas umurnya.

Singkat cerita, perkawinan secara sembunyi-sembunyi antara Untung Surapati dan Suzanna Moor ternyata tidak dapat disembunyikan lagi. Ayah Suzanna yang sekaligus majikan Surapati, sangatlah murka.

Surapati ditahan, didera, dan dijatuhi hukuman mati. Namun keberuntungan ternyata masih menyertainya. Surapati akhirnya bisa meloloskan diri dari penjara dan kemudian jadi pengacau keamanan di daerah-daerah sekitar Batavia.

Suzanna, meskipun tengah hamil, seketika diusir pergi juga. Terlebih, setelah ayahnya bermaksud menikahkan Suzanna dengan relasi-relasi ayahnya, namun masih seperti dulu tetap saja ditolak anaknya. Ditambah terbetik kabar, Surapati menyerahkan diri dan kemudian berkarir militer sebagai tantara VOC, Tuan Moor lantas memutuskan memulangkan anak semata wayangnya ke Belanda.

Robert, demikian nama anak itu, lahir setelah momen Suzanna mendengar kabar jika Surapati berhasil lolos dari penjara. Ditinggal ibunya yang meninggal dunia saat perjalanan naik kapal dari Hindia ke Belanda, ia kemudian dibesarkan keluarga van Reijn. Hidup di Belanda, Robert barulah tahu kalau van Reijn bukanlah orang tuanya setelah mereka wafat. Ada surat dari mendiang ibunya, yang diperuntukkan bagi Robert setelah dewasa.

Merasa frustasi karena sejak kecil sering diolok-olok memiliki kulit berbeda dengan teman-teman Eropa-nya, juga karena merasa sebatang kara setelah tahu keluarga van Reijn hanyalah keluarga angkat semata, Robert memutuskan bertolak ke Batavia dengan cita-cita menjadi tantara VOC.

Fragmen Kedua: Soerapati Hakim Pengadilan

Singkat cerita, Untung Surapati akhirnya berhasil mendirikan kerajaan kecil di Pasuruan. Ia memerintah di daerah itu dengan gelar Raden Wiro Negoro.

Robert sebagai tentara VOC di Tanah Hindia, suatu ketika ditugaskan menjadi mata-mata ke Jawa Timur. Namun sayangnya karena kurang hati-hati, Robert akhirnya tertangkap pasukan Surapati. Robert ditahan dan kemudian diantar ke hadapan Surapati.

Ketika baju Robert digeledah ditemukan secarik surat, lukisan perempuan, dan belahan uang perak. Itulah belahan uang logam yang diberikan Surapati dahulu kepada Suzanna, sebagai simbol cinta kasih mereka yang abadi dan tak terpisahkan. Belahan satunya selama ini juga masih disimpan Surapati.

Sementara lukisan perempuan di kertas lusuh itu adalah sosok perempuan yang selama ini sangat dicintainya, Suzanna Moor. Segera maklumlah Surapati, bahwa Robert adalah anaknya sendiri.

“Itu dia potongan dari pada satu duit-duitan yang aku kasih mamamu sepotong dan aku simpan sepotong. Lihatlah, potongannya. Lihat kalau aku sambung cocok sekali.”

Robert pun menunduk, ia harus mengakui bahwa orang yang di depannya, yang ia sebagai tentara ditugaskan untuk memata-matainya, ialah bapak kandungnya, Untung Surapati. Dari pembicaraannya dengan anaknya pula, Surapati akhirnya juga tahu bahwa Suzanna tidak pernah menikah lagi hingga akhir hayatnya.

“Sesudahnya engkau lahir, apakah mamamu kawin lagi dengan Tuan Ajudan Kuffeler?” tanya Surapati.

“Jangan bicara begitu. Aku punya mama bersetia seumur hidupnya dengan laki-laki yang sekali dicintainya, yang diakuinya sebagai suaminya yang sah! Sekalipun mamaku tidak pernah kawin lagi,” demikian jawab Robert.

Ingin membalas budi semua kebaikan hati kekasihnya Suzanna, Surapati menumpahkan rasa kasihnya kepada anaknya Robert. Ia menawarkan pada Robert untuk membantunya melaksanakan cita-citanya, yaitu membangun persekutuan antara Surapati dan VOC. Atau jika hal itu tidak mungkin diwujudkan, ia mengajak Robert turut bertempur dengan ayahnya melawan VOC.

Selain itu, Surapati juga menawarkan posisi putra mahkota kepada Robert sebagai pengganti dirinya kelak dan menjadi raja di Pasuruhan.

Hati Robert terbelah. Namun ternyata unsur Belanda lebih keluar sebagai pemenang dibandingkan unsur bumiputra dalam darah dan jiwanya.

“Bapak, jika aku terima permintaanmu, maka sama saja aku berkhianat pada negeriku. Aku bersumpah tetap setia pada ayah punya musuh, aku tidak boleh berkelahi dengan saudara-saudaraku, anak dari satu bendera Belanda.”

Ya, saat terjadi pertempuran antara pasukan Surapati dengan VOC di sekitar Bangil, Robert diam, atau lebih tepatnya sekadar melihat saja di samping ayahnya, saat sang ayah kandungnya bertempur menghadapi gempuran pasukan VOC dan menikamnya secara bertubi-tubi.

Surapati terluka parah dan menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan anaknya sendiri, buah cinta kasih antara dia dan Suzanna Moor. (W-1)