Indonesia.go.id - Evolusi Dangdut Indonesia

Evolusi Dangdut Indonesia

  • Administrator
  • Jumat, 16 November 2018 | 23:13 WIB
MUSIK
  Indonesian dangdut evolution. Sumber foto: Antara Foto

Dangdut adalah suatu bentuk atau cara berkesenian yang mungkin kini paling luwes untuk menjelaskan pada masyarakat dunia tentang apa itu Indonesia.

Andrew Weintraub (56), profesor pada jurusan musik Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, pada bukunya Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), mengutip ungkapan yang ditulis peneliti sejarah dari Universitas Ohio William Frederick, menyebutkan bahwa musik dangdut adalah prisma yang peka dan berguna untuk memandang masyarakat Indonesia.

Lebih jauh, Andrew berpendapat, dangdut tidak hanya mencerminkan keadaan politik dan budaya nasional. Tapi sebagai praktik, ekonomi, politik, dan ideologi, dangdut telah membantu membentuk gagasan tentang kelas, gender, dan etnisitas di negara Indonesia modern.

Musik populer yang namanya diambil dari bebunyian kendang, alat musik serupa tabla di India tetapi lebih sederhana, memang terbukti hingga saat ini tak lekang oleh zaman. Oma Irama (71) adalah sosok seniman genius yang namanya akan selalu lekat dengan bentuk kesenian ini. Jika saat ini orang mengenal dia sebagai Rhoma Irama itu adalah sebutan kehormatan bagi dia dengan menyertakan dua kata ‘raden’ dan ‘haji’ di depan namanya.

Rhoma Irama, lepas dengan segala kekurangannya, adalah sosok penyanyi, komposer, pencari bakat, produser musik dan film, ideolog, hingga pelestari musik dangdut yang namanya mungkin akan selalu dicetak dalam tinta emas sejarah Indonesia. Lewat lagunya Rhoma bahkan bisa menjelaskan dengan sederhana proses evolusi terbentuknya musik dangdut. "Ini musik Melayu, berasal dari Deli, lalu kena pengaruh, dari Barat dan Hindi." Sederhana.

Deli dalam lingkup kebudayaan Melayu di Sumatra Timur (Sumatra Utara bagian Timur saat ini) adalah sebuah metropolis pada akhir abad ke-19 yang di dalam dirinya tercampur berbagai ekspresi budaya yang mewakili etnis Melayu sendiri, Arab, India (Tamil atau Keling), Jawa, dan Eropa. Pada saat itu, antara kota Medan dengan Malaka (Malaysia) belum terbentuk sekat-sekat nasionalisme seperti sekarang.

Mathew Cohen (2006), peneliti seni pertunjukan Indonesia mencatat, leluhur musik dangdut berasal dari orkes keliling yang melawat dari Malaya (Malaka), kemudian Medan, Singapura, Bukittinggi, Jakarta, Semarang, hingga Surabaya. Pertunjukan orkes keliling itu dikenal dengan nama Stambul, sebuah penamaan yang identik dengan budaya kosmopolitan di akhir abad 19 yang dekat dengan warna-warna klasik Imperium Usmaniah dengan ibu kotanya, Istambul.

Orkes-orkes ini memainkan musik dengan seperti yang biasa dipertunjukkan dalam pentas-pentas di London, Paris, Istambul, Damaskus, hingga Kairo yang memadukan mini orkestra, dengan biola, picolo, piano, gitar, akordeon, dan tambur tentu saja dengan aksentuasi Melayu.

Andrew mencatat, pada tahun 30-an lah musik Melayu mulai tersentuh industri rekaman. Pada zaman itu, Sumatra, Malaya, dan Permukiman Selat (Singapura, Riau, dan Kepulauan Riau) adalah pasar tunggal bagi piringan hitam yang diproduksi oleh Gramophone Company Limited. Hingga tahun 50-an, suasana kosmpolitan itu masih terasa karena penyanyi-penyanyi yang muncul dari Riau atau Medan lebih mungkin tampil di Malaka atau Singapura ketimbang tampil di Jakarta atau Surabaya.

Yang kemudian menjadi pembeda adalah musik Melayu Deli kosmopolitan pada saat itu cenderung membawakan lagu-lagu dengan aksen Melayu yang kuat. Sedangkan, orkes Melayu yang kemudian berkembang di Jakarta dan Surabaya memilih untuk memodifikasinya.

Di Jakarta para pemain orkes bereksperimen dengan musik-musik rekaman dari India dan memadukan cengkoknya dengan orkes Melayu. Sedangkan di Surabaya, warna musik-musik berbau Hadramaut atau Maghribi masuk menjadi musik Gambus yang dikenal hingga sekarang.

Lagu-lagu semacam "Selayang Pandang", adalah buah dari iklim Melayu-Deli yang diputar di Medan-Malaya. Sedangkan lagu seperti "Terajana" dan "Purnama" adalah warna-warna India yang berkembang di Jakarta.

Sementara itu, "Seroja" yang dibawakan oleh penyanyi berdarah Hadramaut, Said Effendi, asal Bondowoso, memberi warna padang pasir. Bagi generasi 80-an hingga 90-an, siaran radio legendaris dari ABC Australia yang biasa dibawakan oleh Nuim Haiyat adalah pengobat rindu diputarnya lagu-lagu ini.

Hingga munculnya politik konfrontasi dengan Malaysia, pada periode awal 60-an, sesungguhnya pertalian ekspresi kebudayaan dua bangsa serumpun adalah saling memajukan satu sama lain. Setelah pelarangan lagu barat dan lagu ngak-ngik-ngok, muncullah sekat-sekat pemisahan.Tetapi, ekspresi orkes Melayu terus berkembang dengan ciri khas masing-masing.

 

Zaman Klasik

Ciri khas musik dangdut generasi yang pertama dari artis dan seniman yang mulai berkembang di tahun 50-60-an adalah irama yang mereka sebut sebagai ‘chalte’. Chalte atau calte adalah irama memukul gendang gaya India yang bisa dicermati dengan bunyi ‘tak-tung, dang-dut, .... tak-tung, dang-dut’. Cara memukul gendang seperti ini yang paling banyak didapati dalam rekaman-rekaman artis, seperti Ellya Khadam, A Rafiq, Ida Laila, hingga Oma Irama.

Rhoma Irama-lah yang menasbihkan kata ‘dangdut’. Lagu "Terajana" adalah cara Rhoma Irama membalas cemoohan dari kelompok lain yang menganggap musiknya kampungan. "Dangdut suara gendang ... rasa ingin berdendang.." Petikan lagu itu adalah kata yang pertama muncul istilah dangdut yang kemudian menjadi label pada genre ini.

Jika warna irama melayu masih kental dalam rekaman lagu-lagu Meggy Zakaria, pada periode 60-70-an, Rhoma Irama tidak berhenti di sana. Kembali pada dialog dengan grup-grup musik lain yang bergenre hard rock atau funk, Rhoma Irama mencampurkan komposisi musiknya dengan sentuhan perkusi John Bonham dari Led Zeppelin dalam lagu "Pertemuan" atau sayatan gitar Ritchie Blackmore dalam lagu "Ghibah".

 

Rekaman dan Pita Kaset

Memasuki masa 80-an hingga 90-an  kepeloporan Rhoma Irama masih sangat kuat, tetapi karena keputusannya untuk mengambil sikap politik yang berbeda membuat dia tidak bisa tampil di televisi nasional. Pada periode inilah musik dangdut yang dibawakan oleh Meggy Zakaria, Mansyur S, Muhsin Al Atas, Elvy Sukaesih, hingga Camelia Malik mengisi popularitas di televisi.

Corak musik dangdut dengan penggunaan syntesizer sebagai variasinya mulai biasa muncul dalam rekaman pita kaset. Penyanyi-penyanyi generasi berikutnya, seperti Hamdan ATT, Asmin Cayder, Evie Tamala, Jhony Iskandar, hingga Iis Dahlia, mulai akrab dalam pandangan dan pendengaran penikmat musik dangdut. Muncul pula variasi bergaya disko dalam rekaman lagu-lagu Merry Andani, hingga Rama Aipama menjadi pilihan periode ini 

 

Kembali ke Komunitas

Sebenarnya ada berbagai macam perubahan dalam dunia musik rekaman sebelum kemunculan kategori dangdut ini. Periode 80-an hingga 90-an awal adalah periode keemasan dunia musik rekaman yang menggunakan pita kaset. Perkembangan teknologi komputer belum cukup berkembang membuat para penikmat lagu dangdut harus mendengarkan radio dan membeli kaset untuk mendapatkannya. Belakangan, media rekaman berkembang menjadi kepingan Compact Disc.

Para masa ini, dunia musik rekaman mencatat keuntungan yang menggiurkan hanya dari memproduksi kaset rekaman dan distribusi siaran radio. Tetapi setelah perkembangan komputer memunculkan teknologi perekaman audio dalam bentuk yang lebih ringkas atau teknologi mp3, inilah masa keruntuhan industri rekaman dimulai. Periode akhir 90-an adalah cikal bakal keruntuhan industri rekaman tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. 

Genre dangdut koplo sebenarnya berawal dari masa transisi ini. Ketika kaset rekaman, atau keping CD rekaman tidak lagi bisa mendongkrak penjualan para musisi dangdut di daerah-daerah mau tidak mau harus mempunyai kiat-kiat khusus dalam mendongkrak penghidupan mereka. Karena dunia rekaman tidak menjanjikan keuntungan yang memadai seniman-seniman musik dangdut di daerah-daerah mengembangkan cara-cara khas dalam memasarkan produk mereka.

Yang pertama, alih-alih memusuhi pembajakan lagu melalui keping CD, grup-grup di daerah malah mendorong agar para pembajak lagu merekam pertunjukan keliling mereka dan menyebarkannya ke seluruh Indonesia.

Yang kedua, kembali pada kiat lama, dunia musik hiburan hanya akan bertahan dengan safari pertunjukan keliling di berbagai kota. Yang ketiga, mengembangkan komunitas, semangat kolaborasi antara musisi, seniman, artis penyanyi, produser, hingga kordinator penggemar ternyata menjadi alat pemasaran yang paling cocok dengan perkembangan jaman. Jejaring penggemar melalui media sosial lebih memperkuat tradisi pengembangan komunitas ini. 

Yang keempat, mengembangkan satu genre yang bisa memasukkan seluruh unsur kreativtias populer yang mudah dikenal masyarakat. Pengembangan cara memukul gendang dangdut dengan warna lokal memunculkan genre baru yang kemudian dikenal sebagai Dangdut Koplo atau Kendang Kempul pada masa awal kemunculannya.

Yang kelima, memunculkan artis-artis muda potensial, dengan penampilan dan gaya yang bersahaja, tidak glamor, dan cenderung tidak kontroversial. Kiat-kiat inilah yang membuat genre paling mutakhir ini terbukti menjadi genre yang paling bisa diterima oleh semua kalangan dan memunculkan bintang-bintang terkenal yang baru.

Saat dunia musik rekaman tidak mampu memunculkan artis-artis yang potensial karena sulitnya mendapatkan pendapatan dari hasil penjualan hasil rekaman, genre dangdut koplo, dengan kiat-kiat kembali ke komunitas, kembali menjadi jawaban atas kelesuan industri rekaman.

Salah satu yang menjadi artis terkenal, nyaris tanpa kehebatan dunia televisi atau radio, adalah artis dangdut Sodik Monata. Penyanyi berambut gimbal yang pernah menjadi tukang becak ini memulai karir di rombongan orkes musik koplo sebagai kuli angkut sound system.

Dalam perkembangannya kemudian ternyata dia bisa menjadi petugas check sound. Dan karena dia mempunyai suara dan kemampuan menyanyi yang khas, penonton pertunjukan mendaulat Sodik menjadi pembawa lagu.Ketekunan menjalani pentas pertunjukan dari kota ke kota hingga ke pelosok desa disertai kemunculan dalam VCD rekaman bajakan yang diputar di berbagai terminal bis atau pelabuhan-pelabuhan dan pangkalan-pangkalan truk membuat popularitas Sodik meroket.

Tetapi Sodik tidak tinggi hati. Sebuah website pernah mengukur berapa penghasilan Sodik tiap bulan pada masa keternarannya saat ini. Setidak-tidaknya dalam satu tahun Sodik bisa mendapatkan miliaran rupiah. Tetapi Sodik tetap menyempatkan diri untuk pulang ke rumahnya di daerah Pandaan, Malang, untuk memandikan istrinya yang terkena stroke setiap dia mendapat kesempatan pulang.