Indonesia.go.id - Pembangunan dan Masa Depan Budaya Majemuk

Pembangunan dan Masa Depan Budaya Majemuk

  • Administrator
  • Jumat, 14 Desember 2018 | 09:34 WIB
STRATEGI KEBUDAYAAN
  Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 di Jakarta. Sumber foto: Antara Foto

Bicara strategi kebudayaan secara ‘social engineering’ untuk memperkuat identitas kebudayaan nasional kini dan ke depan, tentu dibutuhkan pemahaman bersama akan kompleksitas persoalan di Indonesia.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dan heteregonisme yang tinggi jika dibanding bangsa-bangsa lain. Presiden Joko Widodo berulang kali di banyak forum mengatakan, Indonesia memiliki 714 etnis dan subetnis. Bukan hanya multietnis, tapi juga multibahasa, multiagama, dan multibudaya.

Sekalipun Indonesia nisbi tidak memiliki identitas budaya yang tunggal, toh bukan berarti Indonesia tidak memiliki jati diri. Sebaliknya, adanya keanekaragaman budaya justru membuktikan masyarakat Indonesia memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, setidaknya jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan ialah hasil cipta manusia.

Suwardi Suryaningrat atau populer dipanggil Ki Hadjar Dewantara, pernah di masa lalu mendefinisikan kebudayaan nasional ialah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Deskripsi ini tentu sangat relevan pada konteks masyarakat pascakolonial, tapi belum tentu saat ini.

Waktu itu Indonesia jelas membutuhkan unsur pemersatu dalam konteks mendorong agenda antikolonialisme dan dekolonialisasi kebudayaan. Ada kebutuhan kuat untuk membangun rumusan kebudayaan secara dikotomis atau ‘kutub-duaan’ (binary-opposition). Tujuannya bukan lain ialah untuk membangun, mengembangkan, dan memperkuat rasa kebanggaan nasional sebagai pembentuk identitas keindonesiaan Indonesia.

Masih berpijak pada kerangka itu, Presiden Soekarno juga pernah meredefinisikan pokok pikiran Ki Hadjar. Bapak Proklamator ini merumuskan visi kebudayaan nasional ke dalam salah satu prinsip Trisakti, yakni ‘berkepribadian dalam kebudayaan’. Sekalipun secara substansi tentu memilik perbedaan, kasat mata masih ada kesinambungan kuat antara gagasan Ki Hadjar dan Bung Karno.

Akan tetapi jikalau gagasan Ki Hadjar dibaca pada lanskap kekinian, secara inheren perspektif ini terasa memiliki sedikit cacat bawaan. Secara mendasar konsepsi ini mengandaikan adanya garis pembeda dan demarkasi, antara budaya tinggi dan budaya rendah (popular culture).  Bicara perihal kriteria dan siapakah yang berwenang menilai, selain hasilnya bakal menyulut pro-kontra, juga secara epistemologis bermasalah saat digunakan menakar tinggi rendahnya nilai sebuah kebudayaan.

Artinya, bicara kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak atau sari-sari kebudayaan daerah pada konteks sekarang tentu terkesan bergerak menjauh dari kredo demokrasi, dan bahkan cenderung kurang relevan dengan kondisi dan spirit zaman.

Terlebih memasuki milenium ketiga. Perkembangan revolusi sains dan inovasi teknologi kini telah mengantar masyarakat Indonesia memasuki epos baru. Sebuah babakan tanpa memiliki preseden sejarah sebelumnya. Oleh kalangan akademisi sering disebut revolusi digital, yang membuat semesta makna dari masyarakat manusia sedunia hadir serentak secara mondial dan bahkan mencipta sebuah “dunia yang dilipat”.

Ya, kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi tentu memiliki dampak sangat besar. Membawa kemudahan mobilitas sosial dan kontak budaya antaretnis di Indonesia maupun budaya-budaya bangsa lain. Kini tak hanya derajat intensitasnya lebih kuat, melainkan proses penyebarannya berlangsung supercepat dan masif, serta memiliki jangkauan sangat luas.

Walhasil, di tengah upaya Indonesia menumbuhkan identitasnya sendiri sebagai bangsa (nation state) yang selalu dalam proses menjadi (becoming) ini, maka kini seringkali justru ditemui gejala perubahan kebudayaan yang bergerak supercepat. Bukan saja menimbulkan dampak perubahan semesta tata nilai-nilai, seringkali juga diikuti fenomena gegar budaya dan dislokasi sosial, bahkan tak jarang pun memunculkan anomali tersendiri.

Sebutlah munculnya fenomena radikalisme dan suicide bomber. Negeri damai tanpa perang namun ironisnya muncul fenomena ekstrimisme. Atau lainnya, menguatnya narasi politik-identitas dan praktik intoleransi. Bagaimanapun, fenomena radikalisme, suicide bomber atau menguatnya politik-identitas, suka atau tidak-suka harus diakui sebagai ujud gagalnya strategi kebudayaan membangun proyek keindonesiaan.

Pada titik ini, bicara strategi kebudayaan secara ‘social engineering’ untuk memperkuat identitas kebudayaan nasional kini dan ke depan, tentu dibutuhkan pemahaman bersama akan kompleksitas persoalan di Indonesia.

Kompleksitas persoalan ini bukan semata Indonesia ialah realitas multietnis, multibahasa, multiagama, dan multibudaya. Kompleksitas persoalan juga hadir karena perbedaan tajam tingkat kemajuan ekonomi dan sosial antardaerah-daerah sebagai buah sejarah pembangunan Orde Baru selama ini. Plus fenomena mondialisme dengan segala dinamika politik-ekonominya yang kompleks dan bergerak sangat cepat sebagai dampak dari capaian termutakhir revolusi digital di abad ini, tentu menambah kompleksitas persoalan yang semakin pelik.

Seluruh kompleksitas persoalan ini hadir sebagai sebuah tantangan bagi peradaban keindonesiaan Indonesia. (W-1)