Waisak ialah ritual paling suci bagi umat Buddha. Ribuan umat Buddha, bukan hanya dari Indonesia melainkan juga mancanegara, berkumpul di Candi Borobudur, di Jawa Tengah, untuk ambil bagian dalam rangkaian ritual dan upacara.
Disebut juga "Hari Buddha", ritual Waisak sering juga disebut sebagai ritual "Trisuci Waisak". Pasalnya, ritual suci yang selalu jatuh setiap Mei, ketika bulan purnama, digelar untuk memperingati tiga momen penting.
Pertama, lahirnya Pangeran Siddharta. Kedua, Pangeran Siddharta mencapai pencerahan agung dan menjadi Buddha pada usia 35 tahun. Dan ketiga, Buddha Gautama wafat (parinibbana) di usia 80 tahun. Tiga peristiwa ini dinamakan "Trisuci Waisak".
Acara tersebut diawali dengan sebuah upacara untuk mendapatkan air suci dari mata air murni di Jumprit di Kecamatan Temanggung. Pada hari yang sama, diikuti dengan menyalakan api bagi obor Waisak. Apinya diambil dari api abadi di Mrapen, di Desa Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.
Api dan air suci kemudian disimpan di Candi Mendut, dari Jumat malam hingga Sabtu pagi (18/5/2019). Kemudian air dan api itu diarak dan digunakan saat upacara di Candi Borobudur pada perayaan hari Waisak yang sebenarnya, yakni dari Sabtu hingga Minggu (19/5/2019).
Rangkaian Waisak ditutup dengan seremonial di pelataran Candi Borobudur. Lazimnya penutupan upacara disertai momen pelepasan ribuan lampion Waisak pada Senin dini hari.
Tokoh dan Ajaran
Bernama lengkap Siddharta Gautama. Siddharra ialah nama kecilnya. Gautama ialah nama keluarganya. Pun nantinya setelah mengalami pencerahan dikenal dengan nama Shakyamuni, yang berarti 'orang bijak dari kaum Sakya'. Sakya ialah nama marga keluarganya.
Menurut cerita, Pangeran Siddhartha terlahir dalam lingkungan yang penuh kemewahan. Entah dibangun dari sumber historis manakah, Huston Smith dalam The Religions of Man memberi gambaran rumah Pangeran Siddharta laiknya puri bangsawan keluarga Skotlandia di Abad Pertengahan.
Pada usia 16 tahun dikisahkan ia menikah dengan putri negara tetangga. Yasodhara, demikialah nama kekasih Pangeran Siddharta. Hasil perkawinan keduanya melahirkan seorang putra semata wayang yang diberi nama Rahula.
Singkat cerita, setelah bertemu "empat peristiwa" yaitu orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan pertapa yang meninggalkan kehidupan duniawinya, hidup Pangeran Siddharta menjadi resah gundah gulana. Seluruh harta kekayaan dan kemewahan istana seolah jadi tak berarti saat tema kematian merenggut seluruh perhatiannya.
Juga hiburan dan nyanyian para gadis penari yang molek, irama musik, dan pesta dansa-dansi, seakan-akan justru mengejek pikirannya yang tengah bergejolak dengan ribuan pertanyaan yang membuncah, tanpa ia tahu jawabannya.
Akhirnya ketika berusia 29 tahun, Pangeran Siddharta memutuskan meninggalkan istananya dan meninggalkan seluruh kehidupan duniawinya berikut istri dan anaknya, sebagai harta tak ternilai. Sejak itulah Pangeran Siddharta menjalani kehidupan sebagai pertapa, seorang yogin, untuk mencari penerangan rohani.
Dikisahkan selama menjadi seorang yogin, Pangeran Siddharta menjalani tiga tahapan. Langkah pertama ialah belajar pada beberapa orang guru Hindu paling terkemuka di zamannya. Tapi, semua guru terkemuka itu tak mengobati dahaga pertanyaanya, sekalipun Siddharta diceritakan malah berhasil melampaui seluruh pengetahuan batin guru-gurunya tersebut.
Tahap kedua ialah menjalani proses pertapaan dan menyiksa diri secara ekstrim di Hutan Uruvela. Walaupun telah melakukan bertapa dan menyiksa diri selama enam tahun, tetap saja Pangeran Siddharta belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukannya.
Hingga pada suatu hari dalam pertapaannya, Pangeran Siddharta mendapat vision dari roh pemusik yang kemudian bukan saja berhasil menuntunnya untuk mendapatkan pencerahan rohani, melainkan juga menjadi salah satu resep ajarannya nanti.
"....Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannya yang harus pandai menimbang dan mengira...”
Demikianlah menjadi seharmoni dan senatural mungkin, itulah hakikat meditasi. Maka Pangeran Siddharta pun mengakhiri proses pertapaannya di Hutan Uruvela. Ia tiba pada kesimpulan, ekstrimitas penyiksaan diri tidak akan pernah menghantarkan manusia pada pencerahan batin sejati. Bukan tidak mungkin, justru berakhir pada pengukuhan eksistensi ego atau bahkan hanya akan menghantar pada kematian yang sia-sia. Saat itu badannya tinggal tulang belulang dan hampir-hampir tidak sanggup lagi menopang tubuhnya sendiri.
Visi itu sangat berarti. Pangeran Siddharta akhirnya memutuskan menghentikan tapanya. Setelah memutuskan untuk minum susu kambing dan makan secukupnya, Pangeran Siddharta melanjutkan meditasinya dengan suatu teknik lain, setelah terinspirasi dari senar musik tersebut.
Demikianlah menjelang fajar pada hari bulan purnama, di usia tiga puluh lima tahun, Pangeran Siddharta akhirnya mencapai pencerahan sempurna dengan usahanya sendiri. Itulah salah satu cerita klasik perihal Pangeran Siddharta yang terdapat dalam relief Candi Borobudur. Cerita di atas dipahatkan ke dalam 120 panel relief.
Tentu isi cerita dalam relief tak hanya itu. Candi Borobudur mempunyai panel relief sebanyak 2.672 itu terdiri dari 1.460 relief cerita dan relief dekoratif sejumlah 1.212 panel. Relief cerita di candi ini bersumber dari Kitab Lalitavistara, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha.
Relief cerita pada tingkat Kamadhatu (kaki candi) mewakili dunia manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi. Pada dinding kaki candi yang asli terpahatkan 160 panel relief Karmawibhangga yang menggambarkan hukum sebab akibat.
Sedangkan pada tingkat Rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara dalam kosmologi Budhisme. Pada relief ini dilukiskan perihal perilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh adanya suatu konsep atau pengertian tentang dunia nyata.
Naik lagi ke atas akan ditemui stupa-stupa yang di dalamnya terdapat arca Buddha, hingga sampai puncaknya bakal ditemui satu stupa induk tanpa arca. Jumlah stupa 73 buah. Terdiri dari 32 stupa pada teras melingkar I, 24 stupa pada teras melingkar II, dan 16 stupa pada teras melingkar III. Sedang di puncaknya terdapat satu stupa induk dengan diameter 9,9 meter.
Inilah tingkat pencapaian Arupadhatu, suatu kesadaran tanpa wujud, tanpa nama, dan tanpa rupa, yaitu tahap pencerahan tertinggi dalam tradisi Budhisme. Sayangnya bicara ritual Budhisme, seringkali tak sedikit orang salah memahaminya, dan beranggapan pemeluk agama ini menyembah Buddha dalam arti sebagai entitas "supreme being".
Memahami Buddha
Atau anggapan lainnya, tak sedikit yang menuduh agama Buddha tidak memiliki konsep Tuhan atau dianggap identik dengan "atheisme". Kedua pandangan ini tentu saja keliru, dan cenderung menilai Buddha berdasarkan asumsi-asumsi keyakinannya sendiri.
Untuk memahami apa sesungguhnya saripati Buddha, kita dapat menyimak dari dialog di bawah ini, yang setidaknya memberikan sedikit ilustrasi untuk memahami agama ini.
Konon suatu ketika Pangeran Siddharta pernah ditanya perihal siapakah sejatinya dirinya? "Apakah Anda seorang Dewa?" Tanya mereka. "TIdak." "Seorang malaikat?" tanyanya lagi. "Tidak." Apakah seorang Santo?" "Tidak juga." Lantas, apa sebenarnya Anda ini?"
Pangeran Siddharta menjawab. "Aku bangun." Jawaban ini kemudian menjadi gelarnya, karena memang itulah arti "Buddha." Dalam bahasa Sanskerta, Buddha mempunyai arti "bangun" maupun "mengetahui". Dengan demikian kata Buddha berarti "Ia Yang Bangun" atau "Ia Yang Mengetahui." Dan proses kebangunan itu dicapai oleh Pangeran Siddharta atas jerih payah usaha dan perjuangan sendiri
Benar, dalam arti keberadaan "tuhan personal" atau "tuhan anthropomorfisme" sebagai entitas "supreme being," ajaran Buddha tidak mengandaikan signifikansinya bagi proses pembebasan rohani manusia. Ada atau tidak-adanya Tuhan dalam arti tersebut di atas, menurut ajaran Siddharta adalah tidak penting dan tidak perlu diperdebatkan.
Budhisme juga menolak sosok mahakuasa sebagai pencipta dan menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh hukum kausalitas yang bersifat lahir maupun batin. Namun demikian bukan berarti Budhisme menisbikan atau menganggap tidak ada yang namanya "Realitas Tertinggi." Menurut ajaran ini, secara ontologis “Realitas Tertinggi” adalah suatu keniscayaan. Dalam Bahasa Pali, “Realitas Tertinggi” ini diungkapkan dengan frase "Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang", yang artinya ialah "Suatu yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan, dan yang Mutlak".
Lebih jauh, “Realitas Tertinggi” atau Ketuhanan ialah suatu entitas yang "tanpa Aku" (anatta). Sehingga keberadaannya pun tidak bisa dipersonifikasikan dan tidak dapat dilukiskan dengan cara apa pun. Dengan adanya "Yang Mutlak", yang tidak berkondisi (asamkhata) inilah, maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi dan menembusi seluruh kemelekatan terhadap realitas-realitas semu sehingga tersingkirlah seluruh ilusi kehidupan. (W-1)