Indonesia.go.id - Raego Paduan Suara Tertua di Nusantara

Raego Paduan Suara Tertua di Nusantara

  • Administrator
  • Kamis, 31 Oktober 2019 | 03:29 WIB
BUDAYA
  Paduan suara Raego. Foto: Pesona Indonesia

Indonesia kaya akan budaya. Tidak  hanya bela diri, karapan sapi, tarian, ritual keagamaan, benda bersejarah, hingga paduan suara. Salah satu tarian yang diiringi alunan suara tertua di Nusantara bahkan di dunia, bisa kita dapati di Sulawesi Tengah.

Terdengar sorak dari sekelompok orang tua paruh baya, perempuan dan laki-laki mengenakan pakaian adat. Laki-laki mengenakan siga di kepala dan guma atau parang adat di pinggang. Sementara, perempuan mengenakan rok susun tiga dan halili atau baju adat yang lengkap dengan aksesoris manik-manik.

Mereka berkumpul membentuk lingkaran.  Berpasangan, tangan saling bersimpul dan merangkul. Kaki-kaki mulai menghentak maju dan mundur. Mereka melakukan tarian sambil melantunkan sebuah syair. Simpul dan merangkul adalah simbol kebersamaan dalam situasi apapun. Inilah makna yang tersirat dalam Raego, tarian dan paduan suara warisan leluhur tertua di Nusantara bahkan di dunia.

Tarian ini milik masyarakat adat Suku Uma, Tobako, Ompa, Moma, dan Tabo yang mendiami sebagaian besar wilayah dataran tinggi Kulawi dan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah. Suku bangsa ini menamakan Raego dengan penyebutan berbeda.

Suku Kulawi menyebut Raego, Kaili menyebut Rego, dan Bada menyebut Raigo. Apapun penyebutan dan ada sedikit perbedaan dalam pembawaan Raego oleh suku-suku tersebut, tapi mempunyai makna yang sama, yaitu sebuah penghormatan terhadap Sang Pencipta.

Lebih menarik, syair  dilantunkan dari paduan suara yang telah ditetapkan sebagai salah satu aset cagar budaya tak benda ini adalah, dalam bahasa daerah Uma tua yang sudah tidak dipakai lagi dalam percakapan sehari-hari. 

Tarian yang diiringi alunan suara dengan syair-syair yang dilantunkan secara lantang ini, tidak hanya sebuah karya seni untuk hiburan, tapi tarian yang memiliki nilai sakral yang menjadi bagian pelaksanaan upacara adat, penyambutan tamu, peresmian rumah adat Lobop, syukuran hasil panen, hingga peristiwa duka.  Syair-syair dalam paduan suara tersebut berisikan pesan moral untuk masyarakat dan memiliki makna simbolis terhadap upacara ritual. 

Sayangnya, warisan budaya ini akan sulit dilestarikan, karena tidak semua suku memiliki sarana komuniasi dalam bentuk tulisan. Sang pewaris pun hanya mengandalkan pada informasi ingatan dan lisan saja. Ditambah lagi, tidak semua lapisan Suku Kulawi memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam mengetahui bahkan menekuni Raego ini, karena hanya beberapa anggota masyarakat berusia lanjut saja yang menjadi pelakunya. 

Raego masih dianggap  hanya untuk para totuangata atau orang yang sudah berusia lanjut. Pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan Raigo menjadi generasi yang terbatas. Apalagi penyebaran informasi dan ilmu dari tarian ini tidak merata di semua lapisan masyarakat. Dampaknya adalah, jumlah dari para pelaku Raego semakin berkurang.

Salah satu yang dapat menjadi dokumen adalah, Raego ini menjadi inspirasi dalam sebuah film yang berjudul Mountain Song yang terpilih sebagaiThe Most Promising Project di Makassar SEAscreen Academy 2016. Film ini disutradarai oleh Yusuf Radjamuda yang terkesan dengan kebiasaan warga Pipikoro, Kabupaten Sigi, bahwa masyarakat di sana selalu bersyukur dalam berbagai kondisi, tidak hanya kebahagiaan tapi juga kesedihan, seperti gagal panen dan kematian. Mereka tetap mengadakan Raego.

Bukan Sepasang Suami Istri

Kelompok paduan suara ini terdiri dari lelaki dan perempuan. Dalam sejarahnya, pasangan lelaki dan perempuan dalam Reogo bukanlah sepasang suami istri, maka lelaki yang menjadi pasangannya dalam tarian tersebut harus menyediakan seserahan adat kepada suami atau keluarga dari pasangan dalam Raego.

Saat melantunkan syair-syair, mereka melakukan tarian. Para penari akan membentuk lingkaran dengan tangan saling merangkul, membentuk sebuah simpul yang disimbolkan kebersamaan dalam menghadapai situasi apapun, bahagia dan duka. Perempuan akan dirangkul oleh tangan kiri laki-laki yang menjadi pasangan. Sementara tangan kanan lelaki memegang parang yang dililitkan di pinggang sebelah kiri.

Tarian mereka sangat seirama dengan lantunan syair. Sesekali menghentakan kakinya di tanah sambil memekik. Mereka pun bernyanyi dengan suara lantang.  Semua lagu memiliki khas yang sama, selalu mengulang syair beberapa kali. Perbedaannya adalah melodi dan tempo yang tinggi.

Syair berbeda-beda tergantung peruntukan dalam sebuah acara. Jika panen, syair yang dilantunkan adalah mulai dari proses membuka ladang, menanam, menyiangi, hingga memanen.  Berbeda halnya jika acara berkabung seperti kematian, syair pun berisi tentang siklus kehidupan manusia, mulai dari lahir hingga kematian, dan tak lupa menceritakan kebaikan orang  yang meninggal.

Sejatinya, dalam tarian dan paduan suara ini tak ada iringan musik. Tapi seiring berkembangnya zaman, ada Raigo yang dibawakan dengan diiringi musik, seperti tabuhan gendang dan gitar, terutama saat upacara sesudah panen atau pementasan kesenian.

Tarian dan paduan suara ini sudah melekat pada adat Suku Uma, Tobako, Ompa, Moma, dan Tabo. Tapi sayang, tidak ada penelitian khusus yang mengungkap kapan dan dimana tarian ini pertama kali  dibawakan. Pastinya, ini sudah menjadi warisan budaya yang turun temurun dari nenek moyang mereka yang jauh sebelum mengenal peradaban.

Berumur ratusan tahun, Raego telah muncul jauh sebelum masa penjajahan Belanda, bahkan sebelum masyarakat mengenal agama. Karenanya, Raego bisa dikatakan salah satu paduan suara tertua tidak hanya di nusantara tapi di dunia. (K-HP)