Indonesia.go.id - Kemanusiaan di dalam Gerak; Ketika Suprapto Telah Berhenti

Kemanusiaan di dalam Gerak; Ketika Suprapto Telah Berhenti

  • Administrator
  • Senin, 6 Januari 2020 | 00:34 WIB
OBITUARI
  Proses Suprapto Suryodarmo disemayamkan. Foto: IndonesiaGOID/Yul Amrozi

Sepanjang karirnya yang membentang sejak paruh akhir 60-an, Suprapto menekuni jalan kemanusiaannya dengan menekuni apa yang dia suka. Seperti orang yang jatuh cinta dengan tubuhnya, Suprapto terus menari walau nyaris tanpa pola.

Dia menamai apa yang dia tekuni di sebagian besar hidupnya sebagai Joget Amerta. Joget adalah menari. Amerta berarti tidak mati. Joget yang tidak mati, joget yang selalu hidup. Suprapto Suryodarmo, sang pencetus gagasan ini ingin merayakan kehidupan ini dengan menekuni gerak tubuhnya. Gerak yang selalu hidup walaupun yang bergerak bisa saja berhenti atau mati.

Suprapto Suryodarmo meninggal pada umur 74 tahun, Minggu 29 Desember 2019. Sepanjang karirnya yang membentang sejak paruh akhir 60-an, Suprapto menekuni jalan kemanusiaannya dengan menekuni apa yang dia suka. Seperti orang yang jatuh cinta dengan tubuhnya, Suprapto terus menari walau nyaris tanpa pola.

Sekilas orang akan mengerutkan kening, apa yang istimewa dari gerak mengulat, melambai, mengepak, mengawai, membelai, melengkung, meringkuk, beguling, merangkah, merunduk, melata, menjura, merebah, mengesot, menjuntai, menggeleyong, kayang, jungkir, dan banyak lagi yang cukup sulit kata-kata untuk mengungkapkannya. Suprapto adalah orang yang menikmati berbagai petualangan baik lahir maupun spiritual ketika dia mengeksplorasi kemampuan gerak sewajarnya seperti manusia biasa.

Seorang Seniman, Seorang Bapak

Melati Suryodarmo (50), anak sulung Suprapto Suryodarmo yang menjalani karir sebagai "performance artist" mengenang sosok bapaknya sebagai pelaku seni dengan latar belakang tradisi kesenian Jawa pada umumnya. Seorang bapak yang jika dilihat dari kacamata orang zaman sekarang mungkin terlihat kaku. TIdak ada kehangatan yang seperti yang biasa ditunjukkan dalam gambaran ideal ayah kekinian.

Suprapto Suryodarmo, dalam kenangan anak sulungnya adalah seorang bapak yang lahir dari latar belakang pedagang. Cukup unik karena ayahnya lahir di lingkungan Kampung Kemlayan, kampung di tengah-tengah kota Solo yang menjadi tempat tinggal para "nayaga" atau pemain gamelan Kasunanan Surakarta. Artinya, ada unsur-unsur yang bukan seni tradisional, dalam diri bapaknya.

"Bapak saya, Suprapto Suryodarmo, ibu saya Siti Nuryantinah. Bapak saya dan Ibu saya bertetanggaan di satu kampung, Bapak saya dari keluarga pedagang, saudagar berlian, dan batik. Ibu saya keluarga penabuh gamelan," tutur Melati Suryodarmo dalam sebuah presentasi performatif di Dewan Kesenian Jakarta, pada Juni 2016.

Suprapto, nama aslinya, sudah menjadi yatim piatu sejak umur 17 tahun. Dalam kenangan Melati, kematian orang tua bapaknya telah memporak-porandakan ekonomi keluarga. Kondisi itulah yang membuat Suprapto, anak tertua dari delapan bersaudara itu harus rela, dalam istilah Melati, "dibagi-bagikan" kepada bibinya.

Suprapto sendiri pernah bercerita kepada Ahmad Rafiq dari Majalah Tempo yang terbit pada 11 Agustus 2014 tentang sekelumit masa mudanya. "Orang tua saya adalah pengusaha batik. Bapak saya orang kejawen yang sangat rajin melakukan ritual meditasi di tempat-tempat tertentu. Sejak kecil, saya sering diajak ritual hingga ke Wonogiri dan Gunung Lawu," cerita Suprapto.

Tidak Bertolak dari Tradisi

Kepada wartawan Tempo, Suprapto mengatakan, bentuk seni yang dia tekuni tidak bertolak dari tradisi. Walaupun sejak kecil Suprapto sudah tertarik pada tari tradisional Jawa. Suprapto mengenang bahwa saat dia sekolah di SMA, dia membuka rumahnya sebagai sanggar tari dengan mendatangkan guru tari. Tidak cukup tari, di sanggar itu ikut diajarkan bela diri seperti silat dan karate. Sanggar itulah yang kemudian dinamakan Sanggar Bharada.

Suprapto, setelah cukup lama belajar dan berlatih, merasa tidak memiliki ketrampilan untuk lanjut menekuni tari tradisional Jawa. Tetapi keinginan untuk mencari yang ada dalam dirinya membuat dia memilih untuk memperdalam apa yang dia sebut sebagai 'gerak bebas'. Gerak yang merupakan bagian dari ritual.

Sejak saat itu Suprapto terus mengeksplorasi pilihannya. Orang Jawa mengenal hal itu sebagai "laku", dan Suprapto memilih untuk terus belajar bergerak. Dia mencoba menafsirkan berbagai relief candi-candi yang banyak terdapat di wilayah sekitar kampung halamannya. Beberapa candi yang dengan tekun dia kunjungi dan dia eksplorasi dengan "caranya" adalah Candi Sukuh di Gunung Lawu hingga Candi Borobudur dan Candi Mendut di Magelang.

Buddha Sebagai Pilihan

Nama belakang Suryadarma adalah nama yang Suprapto dapatkan ketika dia mendalami Buddha sebagai jalan spiritualnya. Paruh pertama 70-an adalah waktu yang dia jalani saat belajar Buddha khususnya ajaran Sumarah atau "kepasrahan total" kepada Sudarno Ong, seorang guru Buddha yang cukup terkenal di Solo pada waktu itu. Matthew Isaac Cohen, peneliti seni tradisi Jawa era awal modernisasi di Jawa menulis riwayat itu di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Suprapto Suryodarmo: Art Ritual In Out In (2008).

Cohen, adalah peneliti seni tradisi Jawa, yang dalam bahasa seniman Solo Halim HD, cukup bingung untuk memahami "kesenian" Suprapto. Sebagai seorang peneliti yang mencermati wujud berkesenian tradisi di Pulau Jawa yang penuh dengan ekspresi seni rupa yang beraneka ragam bentuknya, sosok Suprapto menjadi sulit dipahami karena unsur mistisismenya. Seperti diketahui, Cohen hingga saat ini adalah seorang peneliti asal Australia yang bahkan telah belajar banyak untuk mendalami berbagai "kawruh" pedalangan mulai dari gaya Pantura hingga gaya Pedalaman.

Suprapto menamakan apa yang dia lakukan sebagai gerak spiritual. Kepada Majalah Tempo, Suprapto dia menceritakan proses dia belajar ajaran Sumarah dan meditasi Vipassana. Tidak hanya belajar secara spiritual, Suprapto bahkan mewujudkan hasil pembelajarannya dalam wujud Wayang Buddha yang dia pentaskan dalam sebuah pertunjukan dalam Pekan Penata Tari Muda di Taman Ismail Marzuki pada 1978.

Bagi Suprapto, cara Buddha mencari kesejatian hidup yang dia pilih adalah saat Buddha berjalan. Melalui meditasi gerak, Suprapto mengajarkan untuk melihat terjadi perubahan di dalam tubuh manusia ketika berhadapan dengan alam.

Dalam pertunjukan Wayang Buddha yang dia gelar dia sengaja meletakkan satu orang duduk berdiam diri di atas panggung sementara lainnya bergerak dinamis. Dari penari, pemusik, hingga kain layar ornamen pertunjukan bergerak-gerak menggelembung. Semua itu dia koreografikan agar orang mudah untuk melihat segala perubahan yang terjadi di atas panggung.

Video: https://youtu.be/PyfF1mxveJU (Y-1)