Indonesia.go.id - Monumen Pers Nasional, Mengantarkan Masa Depan Pers Indonesia

Monumen Pers Nasional, Mengantarkan Masa Depan Pers Indonesia

  • Administrator
  • Minggu, 31 Juli 2022 | 20:02 WIB
CAGAR BUDAYA
  Pegawai bagian konservasi preservasi melakukan proses digitalisasi halaman koran di Monumen Pers Nasional, Solo, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/ Maulana Surya
Sebuah kebun warga yang ditumbuhi ilalang tinggi dan kandang kambing menjadi lokasi studio darurat RRI agar tetap bisa mengudara. Uniknya, ketika mereka bersiaran, tak jarang suara kambing mengembik turut terdengar.

Monumen Pers Nasional menjadi saksi bisu sejarah perjuangan para insan pers di tanah air terutama saat terbentuknya wadah Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI. Sebelumnya di tempat ini juga sebagai tempat dicetuskannya Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 Juli 1933. Ini stasiun radio publik pertama yang sepenuhnya dioperasikan oleh pribumi dan menjadi cikal bakal lahirnya RRI.

Monumen yang terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah itu berdiri di atas lahan seluas 2.998 meter persegi dan diresmikan pada 9 Februari 1978 oleh Presiden RI Kedua, Soeharto. Kendati ada embel-embel nama monumen, sejatinya tempat ini berfungsi sebagai sebuah museum yang menyimpan banyak benda bersejarah terkait perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia.

Koleksi umum yang dimiliki berupa arsip edisi koran dan majalah yang terbit di Indonesia. Di lantai dua bangunan terdapat penyimpanan 106.326 edisi koran dan 19.061 edisi majalah. Sedangkan di lantai tiga tersimpan 64.032 edisi koran. Teknologi digital dalam dokumentasi koleksi monumen juga sudah diterapkan di mana ada sebanyak 154.546 edisi koran dan 808 edisi majalah tersimpan secara digital (softcopy).

Hingga akhir 2020 lalu, seperti tercantum dalam buku "Monumen Pers Nasional: Spirit Journalist of Indonesia", masih terdapat 189.419 koleksi arsip edisi koran dan majalah yang belum tersimpan secara digital. Secara keseluruhan, Monumen Pers Nasional menyimpan total 358.206 edisi koran dan majalah yang pernah terbit di Indonesia sejak 1820 sampai edisi 2020 akhir.

 

Radio Kambing

Bukan koran dan majalah saja yang menjadi barang koleksi monumen. Sejumlah peralatan penunjang kerja jurnalistik wartawan juga turut disimpan. Misalnya, mesin ketik, pemancar radio, kamera, hingga memorabilia sejumlah tokoh wartawan nasional. Seperti mesin ketik milik Bakrie Soeraatmadja, Pemimpin Redaksi Sipatahoenan, koran yang terbit pertama kali di Tasikmalaya pada 1923.

Kemudian kisah penyelamatan sebuah transmisi pemancar radio berkekuatan 1 kilowatt milik RRI Surakarta ke Tawangmangu oleh Kepala RRI saat itu, Maladi. Upaya itu dilakukan karena tersiar kabar stasiun PTP Goni di Delanggu dibom pasukan Belanda, pada Desember 1948, ketika berupaya untuk kembali menjajah Indonesia.

Pemindahan pemancar tidak berlangsung mulus karena truk pengangkut tak bisa masuk ke jalan yang sempit di Desa Punthukrejo, Karanganyar. Alhasil, pemancar seberat 1,5 ton diturunkan di ujung jalan dan diangkut beramai-ramai oleh warga menggunakan tiang listrik. Upaya pengangkutan harus dilakukan malam hari agar tidak ketahuan pihak Belanda.

Perlu waktu empat hari untuk mencapai Desa Balong, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, sebagai lokasi yang diperintahkan Maladi untuk menyelamatkan pemancar. Sebuah kebun warga yang ditumbuhi ilalang tinggi dan kandang kambing menjadi lokasi studio darurat RRI agar tetap bisa mengudara. Di tempat ini pula pemancar disembunyikan, ditutupi ilalang kering dan terpal. 

Uniknya, ketika mereka bersiaran mengabarkan situasi Indonesia kepada dunia, tak jarang suara kambing mengembik turut terdengar. Itulah sebabnya siaran mereka dapat julukan radio kambing. Siaran dari dekat kandang kambing itu berlangsung dari Januari 1949 hingga awal 1950.

Hingga akhirnya Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, lokasi itu tidak pernah tercium oleh mereka. Oleh karena itu, alat siaran tadi turut disimpan di Monumen Pers Nasional karena kenangan bersejarah yang ditorehkannya. Sebagai pengingat jasa masyarakat Desa Balong, peralatan inti penyiaran dan power supply itu kemudian diberi nama Kyai Balong. Pihak Balai Konservasi Cagar Budaya berdasarkan analisa dari nomor registrasi alat tersebut memperkirakan buatan tahun 1930-an atau sudah berusia 90-an tahun.

 

Pakaian Perang

Ada juga peralatan terjun payung milik Trisno Yuwono, wartawan yang gemar terjun payung. Trisno pernah menjadi redaktur Pikiran Rakyat, koran yang terbit di Bandung, dan kemudian menjadi wartawan TVRI di 1970-an. Pascakemerdekaan, wartawan kelahiran 12 November 1926 itu sempat bergabung di militer sebagai anggota Pasukan 40 Tentara Rakyat Mataram dan Korps Mahasiswa.

Koleksi lainnya adalah baju dan celana peliputan dari Hendro Subroto, wartawan perang TVRI. Ia pernah meliput perang saudara di Kamboja pada 1970, Vietnam 1980-an, dan Perang Teluk 1991. Ketika meliput perjuangan integrasi di Timor Timur, pada November 1975 Hendro menderita luka berat ketika membuat laporan pertempuran di palagan Fatularan, dalam upaya perebutan Posto Atabae, di Bobonaro.

Ia tertembak di dada kanan atas, ibu jari kanan dan pipi kanan terserempet peluru. Hendro kemudian dievakuasi ke rumah sakit di Atapupu, Nusa Tenggara Timur. Pakaian yang dikenakan Hendro Subroto sewaktu tertembak menjadi koleksi Monumen Pers Nasional saat ini.

Ada pula koleksi kamera milik Fuad Muhammad Syafrudin yang juga dikenal dengan panggilan Udin, seorang wartawan Bernas di Yogyakarta. Ia dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru.

Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo menjelaskan, sebuah ruang perpustakaan dengan koleksi 15 ribu judul buku melengkapi kehadiran monumen. Terdapat pula ruang baca e-paper dan ruang digitalisasi koran serta majalah. Saat ini Monumen Pers Nasional menjadi salah satu Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Dirjen IKP Usman Kansong yang mengaku sangat menyukai sejarah. Ia mengatakan bahwa perjalanan pers di Indonesia tak lepas dari peran Monumen Pers Nasional. Dalam era digital seperti sekarang ini, Monumen Pers Nasional menjadi wahana yang mengantarkan masa depan pers Indonesia. Kehadirannya bahkan bisa menjadi inspirasi dan bahan pelajaran bagi wartawan generasi muda.

Usman berpesan, Monumen Pers Nasional dapat menjadi rujukan bagi siapa saja yang menyukai, ingin mengetahui, dan meneliti sejarah pers Indonesia dari masa ke masa. Tak lengkap berwisata ke Surakarta bila belum berkunjung ke Monumen Pers Nasional.

        

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari