Para perancang di tanah air setiap tahun mengadakan pagelaran busana untuk mengenalkan pelbagai desain kain dan motif asli Indonesia kepada dunia.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan atau UNESCO, menyebut Indonesia sebagai negara adidaya atau superpower di bidang kebudayaan. Pengakuan itu disampaikan oleh Fransesco Bandarin ketika menjabat Asisten Direktur Jenderal UNESCO Bidang Budaya saat Sidang Umum ke-39 di markas mereka di Paris, Prancis, pada November 2017.
Pernyataan arsitek senior Italia, mantan Direktur Pusat Warisan Dunia UNESCO periode 2000--2010 itu tentu bukan tanpa sebab. Indonesia memang memiliki segudang kekayaan budaya dan tradisi yang sulit ditandingi oleh negara-negara lain di dunia.
Badan Pusat Statistik mencatat, masyarakat Indonesia terdiri dari 1.331 suku bangsa yang hidup di 38 provinsi. Setiap kelompok suku mempunyai seni dan tradisi yang berbeda-beda dan sampai tak terhitung jumlahnya, baik itu dalam hal masakan, kerajinan, termasuk wastra.
Secara etimologi, menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, wastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sehelai kain dan corak tradisional yang dibubuhkan di atasnya dan mempunyai makna tersendiri mencakup falsafah dan juga sejarah sebuah budaya dan tradisi. Bentuknya berupa tenun, songket, batik, dan lainnya.
Batik sendiri telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia pada 2009. Perancang busana terkemuka Indonesia, Samuel Wattimena pernah menyebutkan bahwa teknik wastra Nusantara adalah yang terlengkap di dunia.
Oleh sebab itu pulalah, demi memperkenalkan kepada dunia kekayaan wastra di tanah air, sebanyak 200 perancang busana nasional menggelar pagelaran busana bertema Indonesia Fashion Week di Jakarta pada 23 Februari 2012. Saat itu, tema yang diusung adalah Colorful Indonesia dan menjadikan sarung sebagai karya tradisional yang hendak dipopulerkan oleh para perancang.
Ajang IFW pertama itu bukan saja menjadi panggung bagi para perancang nasional yang karyanya telah mendunia, melainkan juga menjadi kawah candradimuka bagi para perancang busana pendatang baru. IFW kemudian menjadi ajang promosi produk seni dan tradisi etnik dan kontemporer Indonesia kepada masyarakat internasional, karena kegiatan tahunan itu ikut diliput oleh pelbagai media massa asing.
Pada ajang tersebut juga diadakan pameran menampilkan kreasi dari para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di tanah air. Sebanyak 32.000 orang datang untuk menyaksikan IFW 2012 dan ajang tersebut mampu mengumpulkan transaksi senilai total Rp7 miliar. Bak sebuah tradisi, setiap kali IFW diadakan, maka ajang itu menjadi etalase terbaik untuk memamerkan aneka wastra asli Indonesia kepada dunia.
Misalnya, sarung yang sempat mewarnai tahun-tahun awal IFW, kemudian wastra dari Kalimantan, seperti songket Sambas, ulap doyo, sasirangan, pakaian kulit kayu, tenun Samarinda, dan lainnya. Pesona wastra Kalimantan ini sempat diangkat beberapa kali di IFW, yaitu pada 2019 dan 2022, ketika mengusung tema Magnificent Borneo.
Membidik Kawaro
Untuk IFW 2023 yang diadakan pada 22--26 Februari, Presiden IFW 2023 Poppy Dharsono, di Jakarta, pada 20 Januari 2023, mengatakan bahwa tema yang diangkat adalah “Segara dari Timur”. Segara bermakna lautan dalam bahasa Sansekerta dan penyelenggara IFW membidik kain kawaro, wastra asli dari Gorontalo, untuk diangkat sebagai karya desain fesyen para perancang nasional di IFW 2023.
Menurut Poppy yang juga Ketua Umum Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) itu, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah memberi kesempatan penyelenggara IFW 2023 untuk memperkenalkan kain kawaro dengan segenap keunikan sulamnya. Salah satunya adalah dengan menggelar kompetisi desain busana Indonesia Young Designer Competition IFW 2023 bertema kain karawo. Sehingga para peserta diminta untuk memaksimalkan tema desain menggunakan sulam karawo.
"Ini cara yang baik untuk memperkenalkan wastra asal Gorontalo kepada para pelaku usaha fesyen muda di tanah air. Melalui promosi di IFW, kesadaran masyarakat akan kain kawaro pun dapat ditingkatkan," ucap Poppy, seperti diberitakan Antara.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Gorontalo, Lyla R Laya dalam kesempatan yang sama menyebutkan, pihaknya telah menyiapkan sekitar 300 baju karawo yang ditampilkan oleh 36 perancang lokal di IFW 2023. Karawo sendiri adalah kreasi sulam tangan pada sehelai kain dan dikerjakan selama lebih dari dua minggu untuk menghasilkan satu produk.
Dua perancang asal Gorontalo juga pernah diundang untuk menampilkan desain busana berbasis kain karawo pada ajang New York Fashion Week 2018. Kehadiran desain busana berbasis sulam karawo itu mendapat sambutan meriah pegiat fesyen di pusat mode dunia tersebut karena motifnya dinilai sarat budaya etnik.
Oleh karenanya, Poppy pun berharap industri fesyen di tanah air dapat memberikan dampak positif secara ekonomi kepada produk-produk unggulan daerah di Indonesia.
Ia meyakini, Indonesia mampu menciptakan tren mode sendiri dengan memanfaatkan kekayaan wastra Nusantara yang dapat diaplikasikan kepada produk-produk fesyen yang ada.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari