Indonesia.go.id - Ragam Budaya Indonesia Menyambut Ramadan

Ragam Budaya Indonesia Menyambut Ramadan

  • Administrator
  • Senin, 11 Maret 2024 | 12:52 WIB
BUDAYA
  Sejumlah pengunjung berenang di aliran sumber mata air Obyek Mata Air Cokro, Tulung, Klaten, Jawa Tengah, Minggu (10/3/2024). Pengunjung melakukan tradisi padusan atau membersihkan diri di sumber mata air sebagai kesiapan diri untuk menyambut bulan Ramadhan. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Setiap tradisi yang dilakukan masyarakat itu menyimpan makna yang sangat dalam.

Ramadan tiba, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim pun menyambut momentum spesial itu dengan penuh suka cita. Masyarakat Indonesia dengan kekayaan budayanya memiliki tradisi menyambut Ramadan yang berbeda-beda.

Tradisi menyambut Ramadan tersebut dilakukan secara turun-temurun sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya dan adat istiadat. Bahkan, bila disimak lebih mendalam, setiap tradisi yang dilakukan masyarakat itu menyimpan makna yang sangat mendalam.

Tujuan semua itu dilakukan demi bisa menyucikan diri, saling mendoakan, dan memaafkan. Sekaligus, menjalin silaturahmi antarsesama dalam menyambut kehadiran bulan suci Ramadan.

Berikut delapan tradisi menyambut Ramadan di Indonesia yang penuh suka cita dan sangat bermakna:

 

Nyorog (Jakarta)

Masyarakat asli Jakarta atau suku Betawi memiliki banyak tradisi yang masih dilestarikan sampai sekarang. Salah satunya adalah tradisi nyorog atau kegiatan memberikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua. Baik itu orang tua atau mertua yang sudah berbeda rumah, maupun ke tokoh daerah setempat.

Tradisi nyorog bukan semata merupakan kegiatan berkirim makanan, melainkan tradisi yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan, sekaligus menjalin silaturahmi guna mempererat tali persaudaraan antarsesama. Bagi kita yang tinggal dan membaur dengan masyarakat Betawi, suasana itu sangat kental kita rasakan.

 

Cucurak (Jawa Barat)

Tak beda dengan masyarakat Suku Betawi, di masyarakat Sunda pun mengenal tradisi serupa yang diberi nama cucurak atau dalam bahasa Sunda diartikan sebagai ‘bersenang-senang dan berkumpul bersama keluarga besar dalam menyambut bulan suci Ramadan’.

Dalam tradisi cucurak, yang juga diisi dengan kegiatan makan bersama beralas daun pisang sambil duduk lesehan, disajikan menu khas berupa nasi liwet, tempe, ikan asin, sambal, dan lalapan. Dan sebagaimana nyorog, cucurak juga menjadi momen silaturahmi dan ajakan untuk saling bersyukur atas segala rezeki yang diberikan oleh Tuhan.

 

Padusan (Yogyakarta)

Lain lubuk lain ilalang. Di Daerah Istimewa Yogyakarta masyarakat memiliki tradisi menyambut Ramadan yang relatif berbeda. Tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu kala itu disebut dengan padusan. Dalam bahasa Jawa, padusan atau yang berasal dari kata padus itu memiliki arti ‘mandi’.

Dengan padusan berarti seseorang melakukan penyucian diri, sekaligus membersihkan jiwa dan raga demi menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Padusan juga bisa dimaknai sebagai momentum untuk merenung dan intropeksi diri atas kesalahan yang pernah diperbuat. Sehingga saat menjalankan ibadah puasa, umat Islam diharapkan berada dalam kondisi suci lahir dan batin.

 

Marpangir (Sumatra Utara)

Sejumlah daerah di Sumatra Utara memiliki tradisi unik dalam menyambut Ramadan. Tradisi itu dikenal dengan sebutan marpangir berupa aktivitas mandi secara tradisional dengan menggunakan dedaunan atau rempah. Seperti daun pandan, daun serai, bunga mawar, kenanga, jeruk purut, daun limau, akar wangi, dan bunga pinang untuk wewangian.

Tujuan marpangir adalah untuk membersihkan diri sebelum memasuki masa Ramadan.

 

Malamang (Sumatra Barat)

Tradisi khas untuk menyambut Ramadan juga dilakukan secara rutin oleh masyarakat di Sumatra Barat. Masyarakat lokal mengenal tradisi itu dengan sebutan malamang.

Malamang adalah kegiatan membuat makanan tradisional lemang yang khusus dilakukan menjelang Ramadan dan ditujukan untuk memupuk rasa kebersamaan antarmasyarakat Minangkabau.

 

Meugang (Aceh)

Di Aceh diketahui pula ada tradisi menyambut Ramadan di yang sangat menarik, yakni meugang atau haghi mamagang. Tradisi itu sudah dilakukan oleh masyarakat yang mendiami provinsi paling barat Indonesia sejak zaman kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, atau sudah berlangsung sejak abad ke-14.

Tradisi meugang diisi dengan kegiatan memasak daging sapi, kambing, atau kerbau sehari sebelum Ramadan. Olahan daging tersebut disantap bersama dengan seluruh anggota keluarga, kerabat, atau yatim piatu. Selain menyambut Ramadan, tradisi meugang juga digelar pada saat menyambut datangnya Hari Raya Iduladha ataupun Idulfitri.

 

Mattunu Solong (Sulawesi Barat)

Di tengah masyarakat Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dikenal  tradisi mattunu solong. Itu merupakan tradisi masyarakat setempat untuk menyambut Ramadan, yang berupa aktivitas menyalakan pelita tradisional yang terbuat dari buah kemiri dan ditumpuk dengan kapuk, lalu dililitkan pada potongan bambu. Pelita tersebut ditempel di pagar, halaman, anak tangga, pintu masuk, hingga dapur.

Menurut kepercayaan, tradisi mattunu solong bertujuan untuk agar umat muslim senantiasa memperoleh berkah dari Allah. Mattunu solong juga dilaksanakan sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar senantiasa memberikan kesehatan dan umur panjang, sehingga bisa menunaikan ibadah puasa dengan lancar.

 

Megibung (Bali)

Umat Muslim yang berada di Kabupaten Karangasem, Bali juga memiliki tradisi menyambut Ramadan yang dinamakan dengan megibung. Tradisi megibung berupa kegiatan memasak dan makan bersama sambil duduk melingkar.

Tradisi Megibung sendiri memiliki tata penataan makanan yang unik. Yakni, nasi akan diletakkan di wadah yang disebut dengan gibungan. Sedangkan, lauknya disajikan di sebuah alas karangan.

Menurut kepercayaan, tradisi megibung merupakan upaya untuk mempererat persaudaraan dan kebersamaan.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari