Indonesia.go.id - Mengapa Museum Wayang Jakarta Jadi Destinasi Wisata Wajib?

Mengapa Museum Wayang Jakarta Jadi Destinasi Wisata Wajib?

  • Administrator
  • Selasa, 9 Juli 2024 | 07:00 WIB
MUSEUM
  Wayang kulit dari Palembang, Sumatera Selatan yaang jadi penghuni di Museum Wayang, Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat. ANTARANEWS/Ulfa Jainita
Jakarta tak hanya pusat bisnis, tetapi juga rumah bagi 89 museum menarik, salah satunya Museum Wayang di kawasan Kota Tua. Dengan koleksi lebih dari 6.800 wayang dari seluruh Nusantara, museum ini menyajikan keindahan budaya Indonesia yang diakui UNESCO. Ayo kunjungi Museum Wayang, temukan kekayaan sejarah dan budaya yang menakjubkan!

Jakarta tak hanya dikenal sebagai pusat bisnis semata karena kota yang sebentar lagi akan melepaskan statusnya sebagai pusat pemerintahan Indonesia tersebut juga memiliki banyak museum. Menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jakarta, hingga tahun 2022 lalu, ada sebanyak 89 museum telah berdiri di kota berpenduduk sekitar 11,34 juta orang itu. Salah satunya adalah Museum Wayang beralamat di Jl. Pintu Besar Utara nomor 27, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.

Lokasinya ada di sekitar kawasan Kota Tua, tepatnya di sayap timur dari gedung Museum Sejarah Jakarta atau masyarakat mengenalnya sebagai Museum Fatahillah. Sesuai namanya, Museum Wayang memajang ribuan koleksi wayang, salah satu warisan dunia takbenda asal Indonesia yang telah diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 7 November 2013. Ragam koleksinya meliputi wayang kulit, wayang klitik, wayang kaca, wayang boger, wayang golek, wayang kardus, wayang rumput, wayang janur, wayang beber, aneka topeng dan boneka, serta perangkat gamelan. "Total koleksinya 6.800 buah," kata pemandu Museum Wayang, Irfan Yulianda seperti dikutip Antara.

Koleksinya tersimpan rapi di dalam ratusan lemari kaca yang diberi lampu dengan pencahayaan sangat baik. Wayang-wayang di museum ini berasal dari seluruh Nusantara dan mengambil latar tokoh dari kitab Ramayana dan Mahabrata. Misalnya wayang kulit Palembang, wayang kulit Banjar dari Banjarmasin, dan wayang kulit Bali yang berbalut kain poleng. Terdapat juga koleksi wayang kulit khas Sasak, suku asli Pulau Lombok dan berbahan kulit kerbau.

Wayang kulit Sasak mengambil kisah bernuansa Islam yang kental, terutama mengenai perjalanan paman Nabi Muhammad SAW. Wayang kulit Sasak ini diketahui telah dibuat sejak 1955 dan mulai dikoleksi oleh Museum Wayang pada 1976 silam. Wayang Intan yang dibuat oleh Ki Guna Kerti Wanda pada 1870 menjadi koleksi tertua dan berasal dari Muntilan, Jawa Tengah. Wayang Intan dibuat satu set dengan perangkat gamelan. Tak kalah menariknya adalah koleksi wayang Purwa yang berada di lantai dua museum, salah satunya berasal dari Surakarta.

Koleksi Museum Wayang tak hanya sebatas wayang saja karena ada pula boneka dan ondel-ondel khas Betawi serta boneka Si Unyil, serial khusus anak-anak yang tenar pada era 1980-an setelah mengudara pertama kali 5 April 1981 di TVRI. Selain itu, Museum Wayang dibagi menjadi beberapa ruangan seperti Lorong Wayang Golek Sunda dan Betawi, Ruang Sumatra Utara menampilkan koleksi wayang dan boneka tradisional suku Batak. Ada pula ruang pertunjukan wayang yang menggelar pertunjukan secara berkala.

Sedangkan koleksi mancanegara umumnya berupa boneka tradisional dari Inggris, Polandia, Rusia, kemudian dari Malaysia, Thailand, Vietnam, Tiongkok, dan Suriname. Terdapat pula makam pendiri Batavia, Jan Pieterzoon Coen. Saat musim libur sekolah, Museum Wayang menjadi salah satu tujuan wisata edukasi masyarakat. Lorong-lorong museum selalu dipenuhi euforia anak-anak yang berlarian gembira sambil menikmati koleksi wayang.

Agar menambah daya tarik pengunjung, pengelola Museum Wayang sedang membangun satu wahana berteknologi imersif. Teknologi ini akan membuat dinding dan lantai ruangan dapat bergerak dan menampilkan rangkuman koleksi dalam bentuk video mapping. Kepala Bidang Perlindungan Kebudayaan Dinas Kebudayaan Jakarta Linda Enriany menerangkan, wahana ini akan memudahkan pengunjung mendapatkan informasi mengenai wayang di Nusantara. "Tata pamernya kita tingkatkan menggunakan teknologi imersif dan sudah dimulai tahun ini dan baru dibuka tahun depan," kata Linda.

Tak sekadar menggelar koleksi ribuan wayang saja, pengelola juga membuka kelas pelatihan (workshop) pembuatan wayang janur dengan membayar sebesar Rp15.000 per orang. Kemudian, setiap minggu digelar pertunjukan wayang yang tidak dipungut biaya. Setiap hari, Museum Wayang dikunjungi oleh hampir 500 orang dan jumlah itu bisa naik menjadi 1.500 orang saat musim libur sekolah.

Museum itu buka setiap hari sejak pukul 09.00 WIB dan tutup jam 15.00 WIB. Tarifnya sangat terjangkau, untuk orang dewasa dikenai Rp5.000 per orang, mahasiswa Rp3.000 per orang dan pelajar dikenai Rp2.000 per orang. Lokasinya juga mudah dijangkau dengan menumpang KRL Commmuterline, bus Transjakarta, atau kendaraan pribadi.

 

Sejarah Bangunan

Seperti juga sebagian besar bangunan di kawasan Kota Tua, gedung Museum Wayang usianya sudah tidak muda lagi, tepatnya lebih dari satu abad. Mengutip Edi Dimyati dalam "47 Museum Jakarta", bangunan Museum Wayang mulanya bernama De Oude Hollandsche Kerk atau Gereja Lama Belanda dan dibangun pada 1640 lampau atau lebih awal berdiri dibandingkan bangunan Museum Sejarah Jakarta pada 1707.

Memasuki 1732, pengelola gereja memperbaiki bangunan De Oude Hollandsche Kerk. Pekerjaan itu selesai pada 1736 dan mengganti namanya menjadi De Nieuwe Hollandsche Kerk (Gereja Baru Belanda). Namun, ketika terjadi gempa bumi pada 1808, seluruh bangunan Gereja Baru Belanda porak poranda. Pembangunannya dimulai lagi pada 1912 oleh sebuah perusahaan perkebunan Hindia Belanda, Geo Wehry & Co melibatkan dua arsitek terkemuka Belanda saat itu, Eduard Cuypers dan Marius Jan Hulswit.

Keduanya mendesain ulang bangunan yang semula sebagai gereja untuk difungsikan menjadi gudang penyimpanan rempah untuk diekspor oleh Geo Wehry & Co. Cuypers-Hulswit mendesain gudang bergaya neo-renaissance dan terdiri dari dua lantai dengan bentuk bangunan persegi panjang, menggunakan atap model perisai memanjang, dan dinding bata berlapis spesi yang dilapis cat. Jendela dan pintu terbuat dari kayu dengan bukaan tinggi, sedangkan fasad menganut gaya art deco. Pintu dengan model dua daun pintu bersebelahan melengkapi bangunan baru ini. 

Pada 14 Agustus 1936, gedung seluas 990 meter persegi (m2) dan berdiri di atas lahan 627 m2 selanjutnya diubah menjadi monumen sebelum akhirnya dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Ini adalah lembaga yang didirikan untuk memajukan penelitian dalam seni dan sains khususnya di bidang biologi, fisika, arkeologi, sastra, etnologi dan sejarah, dan mempublikasikan hasil penelitian.

Bangunan ini kemudian dijadikan museum dengan nama De Oude Bataviasche Museum atau Museum Batavia Lama yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir, Jonkheer Meester Aldius Warmoldu Lambertus Tjarda van Starkenborg Stachouwer pada 22 Desember 1939. Pada 1957, pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) dan bersalin nama menjadi Museum Jakarta Lama dan sewaktu 23 Juni 1968 diserahkan kepada Pemerintah Jakarta untuk dijadikan kantor Museum dan Sejarah Jakarta.

Pada 1970, bangnan itu sempat digunakan sebagai kantor Wali Kota Jakarta Barat. Resmi menyandang nama Museum Wayang pada 13 Agustus 1975 saat diresmikan oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin. Ide pendirian Museum Wayang dilatari oleh kekaguman Ali Sadikin dengan banyaknya ragam wayang di Indonesia. Belakangan, Ali Sadikin juga mencetuskan berdirinya Museum Sejarah Jakarta, Museum Keramik, dan Museum Tekstil, tak lama Museum Wayang diresmikan.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari