Indonesia.go.id - Dari Kolonialisme ke Diplomasi: Artefak Bersejarah Pulang ke Indonesia

Dari Kolonialisme ke Diplomasi: Artefak Bersejarah Pulang ke Indonesia

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2024 | 09:33 WIB
ARTEFAK
  Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, menandatangani serah terima 288 objek budaya (artefak) di Wereldmuseum Amsterdam, tempat objek budaya tersebut disimpan dan dipamerkan. KEMENDIKBUDRISTEK
Sebanyak 288 artefak bersejarah yang telah lama terpisah dari tanah air akhirnya dipulangkan ke Indonesia dari Belanda. Repatriasi ini bukan hanya tentang pengembalian fisik benda-benda, tetapi juga simbol dari pemulihan identitas nasional serta hubungan diplomatik antara kedua negara.

Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya repatriasi atau pemulangan kembali artefak-artefak bersejarah yang diambil selama masa kolonial dari Indonesia ke Belanda menjadi kenyataan. Sedikitnya 288 artefak, yang selama ini berada di tangan pemerintah Belanda dan dipamerkan di berbagai museum, kini pulang ke tanah air. Hal ini tidak hanya menjadi tonggak penting dalam hubungan diplomatik antara kedua negara, tetapi juga langkah signifikan dalam pemulihan identitas dan warisan budaya Indonesia yang telah lama terpisah.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid, menyatakan bahwa repatriasi ini memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar mengembalikan artefak. "Ini bukan sekadar tentang mengembalikan benda-benda sejarah, tetapi juga memahami dan menyebarkan pengetahuan tentang kekayaan sejarah dan budaya yang telah lama terpisah dari tanah air," ujar Hilmar dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (23/9/2024).

Proses repatriasi ini merupakan hasil dari kerja sama intensif antara Indonesia dan Belanda, di mana studi provenans—penelitian mendalam mengenai asal-usul dan kepemilikan benda-benda—menjadi elemen penting. Serah terima artefak-artefak ini dilakukan di Wereldmuseum, Amsterdam, yang selama ini menjadi tempat penyimpanan dan pameran benda-benda tersebut. Hilmar menekankan, pengembalian ini adalah bagian dari kesepakatan yang telah diatur dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani pada 2017.

Proses Diplomatik dan Pentingnya Repatriasi

Pemulangan artefak ini bukanlah sebuah proses sederhana. Setiap artefak harus melewati tahap penelitian asal-usul atau provenans untuk memastikan keaslian dan legitimasi klaim pengembalian. Proses ini melibatkan kerjasama antara para ahli dari kedua negara, serta dukungan dari berbagai institusi seperti Komite Repatriasi Indonesia dan Komite Koleksi Kolonial Belanda.

Pengembalian artefak-artefak ini menjadi simbol penting dari rekonsiliasi sejarah kolonial antara kedua negara. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, Eppo Egbert Willem Bruins, dalam pernyataan resminya mengungkapkan bahwa langkah ini bukan hanya sebagai wujud tanggung jawab moral, tetapi juga kontribusi dalam memperbaiki hubungan bilateral. "Ini adalah kali kedua kami mengembalikan benda-benda yang seharusnya tak pernah berada di Belanda. Kembalinya objek-objek tersebut penting terkait pemulihan material bagi Indonesia," ungkapnya.

Sebelumnya, rekomendasi dari Komite Koleksi Kolonial Belanda menyarankan pemerintah untuk mengembalikan benda-benda tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Wereldmuseum, objek-objek ini diambil selama periode kolonial dan dianggap penting untuk dikembalikan sebagai bagian dari keadilan historis.

Artefak yang dipulangkan ke Indonesia mencakup berbagai objek budaya bersejarah yang memiliki nilai tinggi, baik dari segi sejarah maupun budaya. Beberapa di antaranya adalah senjata, koin, dan perhiasan yang terkait dengan Puputan Badung, sebuah peristiwa heroik di Bali pada tahun 1906 ketika Kerajaan Badung dan Tabanan melawan pasukan kolonial Belanda. Artefak-artefak ini menjadi simbol perlawanan dan kebanggaan masyarakat Bali.

Selain itu, artefak lainnya adalah patung-patung Hindu-Buddha, seperti Bhairava, Nandi, Ganesha, dan Brahma, yang berasal dari Jawa dan dibawa ke Belanda pada paruh pertama abad ke-19. Patung-patung ini mencerminkan kekayaan spiritual dan seni rupa Nusantara pada masa lampau.

Pengembalian artefak-artefak ini tidak hanya berarti memulangkan benda fisik, tetapi juga menghidupkan kembali memori kolektif bangsa. Koleksi yang berhasil direpatriasi akan dikelola oleh Museum Nasional Indonesia dan Cagar Budaya, yang akan dipamerkan pada pameran besar Museum Nasional mulai 15 Oktober 2024. Pameran ini akan menjadi sarana penting untuk memperkenalkan masyarakat kepada warisan budaya yang telah lama hilang dan mengapresiasi perjalanan panjang untuk memulangkannya.

Pemulihan Identitas Budaya dan Pengajaran Sejarah

Repatriasi artefak ini memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar pemulangan benda bersejarah. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk memulihkan identitas budaya nasional yang tergerus oleh masa kolonialisme. "Pengembalian ini adalah langkah penting dalam pemulihan dan pelestarian identitas nasional," jelas Hilmar.

Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudristek juga telah menyiapkan serangkaian program yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang artefak-artefak tersebut. Program-program ini mencakup konservasi dan penelitian berkelanjutan, serta kegiatan pendidikan dan interaktif yang bertujuan mengedukasi masyarakat tentang nilai historis artefak tersebut.

Melalui program pendidikan ini, generasi muda Indonesia dapat lebih mengenal dan menghargai sejarah bangsanya sendiri. Hal ini penting untuk membangun rasa kebanggaan nasional serta memberikan pemahaman mendalam tentang perjuangan bangsa dalam memulihkan warisan budaya.

Meskipun 288 artefak telah berhasil dipulangkan, perjuangan Indonesia untuk mendapatkan kembali semua peninggalan sejarah yang tersebar di berbagai negara masih jauh dari selesai. Salah satu artefak penting yang hingga kini belum berhasil direpatriasi adalah Java Man—penemuan prasejarah yang menjadi salah satu kunci dalam memahami evolusi manusia.

Bagi Indonesia, Java Man memiliki arti penting karena menjadi salah satu temuan arkeologi paling berharga dari Nusantara. Namun, proses pengembalian Java Man menemui tantangan karena Belanda mengklaim bahwa benda tersebut diperoleh secara sah melalui penggalian arkeologis. Meskipun demikian, Indonesia terus berupaya untuk menegosiasikan klausul yang memungkinkan akses lebih luas terhadap artefak tersebut, bahkan jika tidak dapat dipulangkan sepenuhnya.

Sejarawan asal Aceh, Dr. M. Adli Abdullah, memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia yang telah berjuang untuk memulangkan artefak-artefak penting ini. "Artefak-artefak yang diboyong oleh Belanda itu memang seharusnya dikembalikan ke pemiliknya, yakni rakyat Indonesia, untuk disimpan dan dirawat dengan baik di Museum Nasional," ungkapnya.

Simbol Hubungan Diplomatik yang Kian Erat

Upaya repatriasi tidak hanya mencerminkan semangat untuk memulihkan warisan budaya, tetapi juga menjadi simbol dari hubungan diplomatik yang semakin erat antara Indonesia dan Belanda. Kedua negara, yang pernah memiliki sejarah panjang kolonialisme, kini bekerja sama dalam upaya untuk memperbaiki warisan tersebut melalui pemulangan benda-benda bersejarah.

Dengan setiap artefak yang kembali ke Indonesia, hubungan diplomatik ini terus diperkuat. Langkah ini juga memberikan sinyal bahwa dunia internasional semakin menghargai pentingnya repatriasi sebagai bagian dari pemulihan keadilan sejarah bagi negara-negara bekas jajahan.

Pemulangan 288 artefak bersejarah dari Belanda ke Indonesia adalah sebuah prestasi besar yang tidak hanya memulihkan warisan budaya, tetapi juga memperkuat identitas nasional. Melalui upaya repatriasi ini, Indonesia tidak hanya mendapatkan kembali artefak-artefak fisik, tetapi juga menghidupkan kembali memori sejarah yang telah lama terpisah dari tanah air.

Ke depan, pemerintah Indonesia harus terus melanjutkan upaya repatriasi ini, memastikan setiap benda bersejarah yang terpisah kembali ke tanah air. Generasi muda Indonesia akan memiliki kesempatan untuk mengenal, belajar, dan menghargai sejarah mereka sendiri, membangun masa depan yang lebih kuat dengan fondasi identitas budaya yang kokoh.

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/TR