Kesepakatan itu merupakan respons dari dampak Covid-19, yang telah mengakibatkan anggaran kesehatan dan perlindungan sosial membengkak.
Kolaborasi antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan akibat wabah terus berlanjut setelah sempat terealisasi melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) jilid I dan II.
Kedua institusi itu—pemerintah dan BI—itu memutuskan untuk melanjutkan pembagian beban atau burden sharing pada 2021 dan 2022. SKB jilid III antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI itu menyepakati bahwa burden sharing ditujukan untuk mendukung pendanaan APBN pada 2021 dan 2022.
Apa bentuk SKB III tersebut? Kesepakatan antara pemerintah dan BI berupa pembelian di pasar perdana oleh BI atas surat utang negara (SUN) dan/atau surat berharga syariah negara yang diterbitkan pemerintah. Dalam kesepakatan tersebut, BI akan melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) sebesar Rp215 triliun di 2021 dan Rp224 triliun di 2022.
BI juga akan berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan dengan maksimum limit Rp58 triliun pada 2021. Bank sentral juga akan menanggung seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan dengan maksimum limit Rp40 triliun pada 2022, sesuai dengan kemampuan neraca BI.
Di sisi lain, sisa biaya bunga untuk pembiayaan penanganan kesehatan lainnya, serta penanganan kemanusiaan, menjadi tanggungan pemerintah dengan tingkat bunga acuan Suku Bunga Reverse Repo BI tenor 3 bulan (di bawah tingkat suku bunga pasar).
Menanggapi SKB III itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan bahwa kesepakatan itu merupakan respons dari dampak dari pandemi Covid-19, khususnya terkait merebaknya varian Delta, yang mengakibatkan alokasi anggaran kesehatan dan perlindungan sosial meningkat sangat signifikan.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan dan BI melakukan koordinasi untuk mendukung pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan, demi mengurangi beban fiskal. Dalam kesepakatan itu, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah dan BI akan tetap menjaga kredibilitas, baik kebijakan fiskal dan moneter. Kerja sama ini pun dijamin tidak akan mengganggu kredibilitas BI.
“Beban pemerintah bisa sedikit dikurangi dengan tetap menjaga integritas dan independensi BI, serta kemampuan BI dalam melaksanakan amanat UU-nya, yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam konferensi pers, Selasa (24/8/2021).
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa kerja sama pemerintah dan BI dalam SKB III tidak akan mengurangi independensi bank sentral tersebut. “Kerja sama ini tidak akan dan tidak pernah mengurangi independensi BI dan kemampuan BI untuk melaksanakan kebijakan moneter yang prudent. Ini juga sebagai wujud panggilan bangsa Indonesia, BI terpanggil untuk ikut serta memulihkan ekonomi,” ujarnya.
Dukungan Bank Indonesia
Perry menjelaskan, kesepakatan SKB III merupakan bentuk dari kontribusi dan dukungan BI kepada pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, terutama penanganan di bidang kesehatan dan kemanusiaan. “Merebaknya varian Delta menyebabkan kenaikan yang tidak terduga atas biaya penanganan kesehatan dan kemanusiaan di APBN 2021 dan 2022. Tidak hanya menyebabkan kemampuan fiskal semakin terbatas, tapi beban negara juga tinggi, terutama penerbitan SBN dengan bunga pasar yang tidak sejalan dengan asas kesehatan dan kemanusiaan,” jelasnya.
Adapun, penerbitan SBN akan dilaksanakan melalui mekanisme private placement. Seluruh SBN akan diterbitkan dengan tingkat bunga mengambang dengan acuan Suku Bunga Reverse Repo BI tenor tiga bulan. Dalam penjelasannya di konferensi pers itu, Sri Mulyani memberikan keyakinan bahwa penerbitan SBN itu akan bersifat tradable dan marketable.
Sebenarnya, skema burden sharing telah dipraktikkan oleh pemerintah dan bank sentral pada tahun pertama pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Namun kerja sama tersebut berakhir pada pengujung tahun lalu. Adapun burden sharing yang diakomodasi di dalam SKB III berlaku hingga 31 Desember 2022.
Diperpanjangnya burden sharing ini mencerminkan bahwa pemerintah masih membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk kebutuhan penanganan dampak pandemi Covid-19, baik pada tahun ini maupun tahun depan. Pasalnya, ketidakpastian ekonomi kembali meningkat setelah serangan varian baru Covid-19, yang memaksa pemerintah untuk mengetatkan mobilitas masyarakat sejak kuartal III-2021.
Hal itu berdampak pada pembengkakan belanja dan penurunan penerimaan negara, yang disebabkan oleh tersendatnya roda perekonomian. Tak dipungkiri, dalam konteks dampak wabah, BI memang masih sangat dibutuhkan untuk membantu pembiayaan fiskal sebagai standby buyer.
Selama pandemi masih terjadi, pemerintah masih mengalami defisit yang lebar dan peran BI masih sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa pembiayaan APBN aman. Bila tidak, pemerintah tentu akan kesulitan membiayai defisit. APBN bisa terganggu.
Merujuk kondisi itu, burden sharing dalam kondisi krisis adalah hal yang wajar dilakukan oleh pemerintah. Hal ini tidak hanya dilakukan Indonesia, melainkan oleh banyak negara yang menghadapi tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Dengan demikian, melalui SKB III ini, anggaran kesehatan termasuk program vaksinasi dan program perlindungan sosial tetap terjaga sehingga harapan pemulihan ekonomi Indonesia pun bisa terjadi dan lebih akseleratif lagi.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari