Indonesia.go.id - Kami Sepenuhnya WNI, bukan lagi Pengungsi

Kami Sepenuhnya WNI, bukan lagi Pengungsi

  • Administrator
  • Selasa, 16 November 2021 | 15:35 WIB
PERUMAHAN RAKYAT
  Perumahan yang dibangun Kementerian PUPR untuk pengungsi Timor-Timur di Belu, Nusa Tenggara Timur.KEMENPUPR
Sebanyak 300 unit rumah tembok sederhana dibangun untuk ‘’warga baru’’ eks pengungsi Timor Timur di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka mendapat bantuan sebagai warga terluar.

Seorang perempuan muda bernama Adelina Rinalda, usia 30-an tahun, menyampaikan testimoninya melalui rekaman video yang diunggah di Youtube. ‘’Kami dari Balibo, Timor Leste.  Kami mengungsi ke Desa Silawan ini. Dulu kami tinggalnya di rumah alang-alang. Sekarang kami bersyukur bisa dapat  rumah tembok yang bagus,’’ ujarnya.

Desa Silawan terletak  di Kecamatan Tosifeto, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Adelima memang telah menempati rumah baru, berukuran 36 m2, kopel, dengan cat tembok krem terang berkombinasi dengan warna merah cabe di bagian tiangnya.

Atapnya seng gelombang warna biru laut yang disangga rangka aluminium. Ada air bersih yang mengalir dari sumur artesis. Pada satu adegan, Adelina menyiram tanaman hias dan kebun mininya di depan rumah dengan air kran.

Video itu diposting kanal InfoPagi. Gambarnya hampir seluruhnya footage video Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Setelah sekitar 50 hari diposting, video ini dapat menarik hampir 500 ribu penonton, dengan 5.400 like, dan hampir 1.000 komen, yang umumnya bernada apresiasi, per 12 November.

Video berdurasi 4 menit 31 detik itu menyampaikan pesan bahwa cerita nestapa kaum pengungsi asal Timor Timur (sekarang Timur Leste) secara berangsur-angsur memudar. Kisah nestapa itu menyeruak selama dua dekade lewat penampakan pondok-pondok beratap ilalang atau daun lontar, berdinding bebak (pelepah daun gewang) dan berlantai tanah. Tanpa sarana sanitasi dan pasokan air bersih.

Dalam perjalanannya, gubuk-gubuk dekil itu menyusut seiring dengan kemajuan sosial ‘’warga baru’’, sebutan bagi eks pengungsi Timor Timur. Toh, sebagian mereka masih terjebak di pondok daun ilalang di Desa Silawan, yang persis berhadapan dengan wilayah Timor Leste.

Cukup kontras dengan kondisi jembatan kokoh dan Kompleks Layanan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Mota’ain yang megah, di ujung Desa Silawan. Perjalanan dari Mota’ain ke Atambua (ibu kota Belu) diwarnai oleh panorama pondok-pondok rombeng berdinding daun bebak itu.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu pun berinisiatif membangun permukiman yang layak untuk warga baru. Kementerian PUPR menyanggupi membangun 300 unit rumah sederhana tipe 36 m2, dan Pemkab Belu menyediakan lahannya. Maka, dibangunlah perumahan dalam tiga tahap, sejak 2020,di Kecamatan Tosifeto dan Raimanuk. Yang sudah selesai langsung dibagikan dan ditempati mereka yang membutuhkan, seperti Adelina Rinalda, lengkap dengan akses jalan masuknya, listrik dan air bersih.

“Kami harapkan bantuan ini dapat meningkatkan kualitas hidup para penerima, dengan rumah yang lebih layak, sehat dan nyaman,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam keterangan resminya, Selasa (14/9/2021) terkait program rumah khusus (rusus) dari kementeriannya. Rusus itu dibangun menggunakan teknologi rumah instan sehat sederhana (RISHA), dengan modul-modul khusus pada tiangnya, yang membuatnya lebih kuat, tahan gempa, dan awet.

Warga eks Timor Timur itu menerima bantuan rusus itu sesuai kriteria warga berpenghasilan rendah yang tinggal di kawasan tertinggal, terluar dan terpencil (3T). Para warga baru eks Timtim di Belu itu memenuhi kriteria sebagai penduduk terluar, karena berada di perbatasan dengan Timor Leste.

Program Sejuta Rumah Kementerian PUPR, yang dirintis sejak 2015, mendukung pengadaan rumah layak huni dengan berbagai cara. Ada pola rusus seperti di daerah 3T dan di daerah yang terdampak bencana alam. Ada pula ‘’bedah rumah”, di mana melalui desa/pemkab, PUPR memberikan bantuan material bangunan dan biaya tukang, untuk merenovasi rumah warga miskin. Secara resmi, program bedah rumah ini ada di bawah kegiatan Program Rumah Swadaya.

Di daerah perkotaan, ada program rumah susun yang bisa disewa dengan harga terjangkau. Rusun ini juga telah dibangun di banyak pesantren dan kampus perguruan tinggi untuk hunian sementara para generasi muda. Ada pula bagian program sejuta rumah ini untuk warga non-masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dari klaster menengah-bawah, yang umumnya berupa rusun atau  rumah sederhana cicilan dengan bunga rendah.

Pada 2020, menurut catatan Kementerian PUPR, pemerintah berhasil menyediakan 960 ribu unit hunian dengan berbagai skema itu. Untuk 2021 disediakan alokasi Rp8,1 triliun bagi program sejuta rumah. Pandemi membuat realisasinya tersendat. Pada akhir Juni 2021 realisasinya baru 400 ribu unit dari 600 ribu yang direncanakan. Salah satu yang tak tertunda adalah perumahan di Desa Silawan, Kabupaten Belu itu.

Bukan Pengungsi

Bagi keluarga eks pengungsi Timor Timur seperti Felix Jumairo, bantuan rumah khusus (rusus) yang dia tempati kini di Desa Silawan adalah hal yang sangat berarti. Bukan soal nilai bantuannya saja, ia juga merasa martabatnya sebagai warga negara dihargai dan dilindungi. ‘’Kami bukan pengungsi lagi. Kami sepenuhnya WNI. Saya orang Indonesia,’’ katanya.

Felix, 55 tahun, mengaku tidak menyesali tindakannya pascareferendum Timor Timur 1999. Ketika itu, dia menyeberang ke wilayah Indonesia dan terdampar di Belu. Referendum memenangkan kelompok prokemerdekaan dan menyulut gelombang pengungsi yang khawatir kepada situasi baru di Timur Leste. Felix ada di tengah gelombang pengungsi yang memuncak pada September 1999 itu.

Sekitar 280 ribu penduduk Timor Timur merangsek ke wilayah Indonesia, terutama Kabupaten Belu (61 persen), Kabupaten Kupang (19 persen), dan sejumlah kabupaten lainnya termasuk di Flores dan Sumba. Bahkan, ada yang sampai ke Bali. Mereka mendapat status pengungsi dari The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Dalam perjalanannya, sebagian besar mereka kembali ke kampung halaman lewat proses repatriasi resmi, yang dibantu UNHCR, yang berlangsung sampai 2009. Setelah itu masih ada proses repatriasi mandiri. Mereka yang berniat menjadi WNI menerima status sebagai warga baru.

Problemnya ialah penempatan warga baru itu agar mereka bisa meninggalkan kamp-kamp pengungsiannya. Prosesnya tidak bisa serta merta. Sebagian bisa beradaptasi, membaur, dan mencari penghidupan sendiri. Mereka mencari pekerjaan di Lombok, Bali, Jawa, Sulawesi, dan tempat lainnya. Tak sedikit yang harus menetap di lokasi pengungsian sampai 20 tahun lamanya, seperti yang dialami Adelina Rinalda dan Felix Jumairo.

Pemerintah Kabupaten Belu 2012 mencatat, dari 11.898 KK (35.835 jiwa) warga baru yang ada di 24 kecamatan, sebanyak 7.724 KK (65 persen) di antaranya telah menempati rumah milik sendiri atau mengontrak. Mereka telah mandiri secara ekonomi. Begitu halnya di kabupaten yang lain. Hingga 2016, masih tercatat ada 32.000 KK warga baru yang belum mentas dari kamp pengungsian, dan pemerintah memberikan bantuan Rp10 juta per KK untuk membantu settlement.

Berikutnya, pada 2018 secara umum 85 hingga 86 persen warga baru telah memiliki rumah tinggal sendiri di luar lokasi kamp pengungsian awal. Demikian yang direkam dari survei di Kabupaten Belu, Kupang, dan Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU). Tak semuanya rumah layak huni, karena masih banyak yang berlantai tanah, berdinding seng, dan tanpa sanitasi.

Namun, karena mereka sudah resmi menjadi WNI, bantuan dari pemerintah masuk skema bedah rumah, program yang banyak dilakukan baik di Kabupaten Belu, Kupang dan TTU. Program rumah khusus untuk mereka yang berada di dekat perbatasan.

Toh, masih ada yang tertahan di kamp pengungsian, yang bahkan tak kuasa mengakses bantuan rumah swadaya. Mereka belum punya tanah dan kebun. Namun, seperti dituturkan Felix Jumairo, repatriasi mandiri ke Timor Leste bukan pilihan menarik. Saat kesulitan hidup terbantu oleh bantuan iuran BPJS, kartu sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), bahkan ada subsidi listrik di masa pandemi, kemudahan serupa itu tak ada di tanah asalnya.

Mereka memilih menjadi Indonesia karena harapan akan hidup lebih baik. Kini mereka pun masih harus berjuang untuk kehidupan yang lebih layak, seperti yang dilakukan warga Indonesia lainnya yang masih tertinggal dan seperti yang dilakukan pula oleh banyak eks warga Timor Timur lainnya.  Pemkab, pemprov, pemerintah pusat, dan banyak pihak lainnya terus berupaya mendorong lewat program pengembangan sosial dan ekonomi.

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari