Sambut era baru pendidikan dengan Kurikulum Merdeka yang menghapus jurusan di SMA, memberikan siswa lebih banyak kebebasan untuk memilih mata pelajaran sesuai minat mereka. Apakah ini langkah maju atau tantangan baru bagi sistem pendidikan Indonesia?
Pemerintah senantiasa mengupayakan terciptanya kesetaraan di dunia pendidikan Indonesia. Di antaranya, dengan memberlakukan kurikulum Merdeka, demi mengurangi kesenjangan yang terjadi di lingkup tersebut.
Belakangan, publik diramaikan dengan informasi perihal pemberlakukan kurikulum Merdeka. Di mana, dengan pemberlakukan itu, seolah siswa sekolah menengah atas (SMA), khususnya, sekolah tidak lagi memberikan pilihan penjurusan IPA/IPS dan Bahasa di 2024 ini. Kontan kebingungan dan kekhawatiran menyergap berbagai kalangan terkait, tidak hanya siswa, melainkan juga orang tua bahkan para penyelenggara pendidikan, khususnya terkait kondisi saat ini di mana sebagian siswa masih duduk di kelas IPA/IPS atau Bahasa.
Sebagaimana pernah disampaikan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo, ada sejumlah alasan penghapusan jurusan tersebut adalah, pertama, persiapan studi lanjut dan karier. Pertama, kebijakan itu ditempuh agar murid bisa lebih fokus membangun basis pengetahuan yang relevan dengan minat dan rencana studi lanjutnya.
"Murid kelas 11 dan 12 SMA yang sekolahnya menggunakan Kurikulum Merdeka kini dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan, dan aspirasi studi lanjut atau kariernya," kata pria yang akrab disapa Nino, pada medio Juli lalu.
Nino mencontohkan, murid yang ingin berkuliah di program studi teknik bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran Matematika Tingkat Lanjut dan Fisika, tanpa harus mengambil mata pelajaran Biologi. Sementara itu, murid yang ingin kuliah di program studi kedokteran bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran Biologi dan Kimia, tanpa harus mengambil mata pelajaran Matematika Tingkat Lanjut.
"Persiapan yang lebih terfokus dan mendalam ini sulit dilakukan jika murid masih dikelompokkan ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa," kata Nino.
Kemudian alasan kedua, menghapus privilese jurusan IPA. Di mana menurut Nino, dalam situasi yang lazim ditemukan, ada kecenderungan siswa jurusan IPA mendapat privilese lebih dalam memilih program studi di perguruan tinggi.
"Yang terjadi ketika ada pembagian jurusan adalah sebagian besar murid memilih jurusan IPA. Hal ini belum tentu dilakukan berdasarkan refleksi tentang bakat, minat, dan rencana kariernya, melainkan karena jurusan IPA diberi privilese lebih dalam memilih program studi di perguruan tinggi," terangnya.
"Dengan menghapus penjurusan di SMA, Kurikulum Merdeka mendorong murid untuk melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat, dan aspirasi karier, serta memberi kesempatan untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel sesuai rencana tersebut," imbuhnya.
Sedangkan alasan ketiga ditempuhnya kebijakan itu, menurut Nino, karena sejalan dengan seleksi masuk perguruan tinggi. “Penghapusan jurusan di SMA juga bertujuan menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan selain IPA dalam seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru. Semua lulusan SMA dan SMK kurikulum Merdeka dapat melamar ke semua program studi melalui jalur tes, tanpa dibatasi oleh jurusan mereka ketika SMA atau SMK,” katanya.
Belum 100 Persen
Lantas bagaimana pemberlakuan kurikulum Merdeka di tingkat SMA, bagi siswa-siswa yang kini masih mengisi penjurusan di sekolahnya? Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Yogi Anggraena menjelskan, pemberlakuan kurikulum baru itu akan dilakukan secara bertahap.
Dalam webinar bertajuk Penghapusan Jurusan di SMA/MA yang diselenggarakan oleh Direktorat SMA Kemendikbudristek di Jakarta, pada Kamis (1/8/2024), Yogi mengungkapkan bahwa pihaknya belum seratus persen mewajibkan pemberlakuan kurikulum Merdeka di tingkat SMA. “Untuk saat ini belum kami paksa untuk 100 persen wajib, maka kami membuka pendataan. Berdasarkan pendataan kami, ada 365.000 satuan pendidikan yang sudah terdaftar, kurang lebih sekarang kalau formal sudah 95 persen, dan sudah kita terbitkan SK-nya. Jadi dapodiknya sudah disesuaikan bagi yang menerapkan,” jelas Yogi.
Bagi sekolah yang sudah masuk dalam data tersebut, pihaknya sudah memberikan arahan untuk memberlakukan kurikulum Merdeka bagi kelas siswa-siswi yang duduk di kelas 10.
Selanjutnya pada tahun ajaran berikutnya, pihak sekolah dapat mengikutsertakan kelas 10 dan 11 dalam implementasi kurikulum Merdeka hingga pada dua tahun berikutnya barulah seluruh kelas di SMA tersebut dapat memberlakukan kurikulum yang sama.
Sebagaimana diketahui, implementasi kurikulum Merdeka Belajar terbukti mengurangi kesenjangan pendidikan di Indonesia. Dalam rilis Kemendikbudristek, pada Rabu (31/7/2024), dipaparkan tentang sejumlah kebijakan utama yang telah diterapkan Kemendikbudristek guna meningkatkan pemerataan pendidikan. Antara lain, melakukan distribusi sumber daya yang jauh lebih afirmatif melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta kontekstualisasi kurikulum melalui Kurikulum Merdeka.
Selain itu, Kemendikbudristek juga telah memberikan akses pengembangan guru yang lebih demokratis melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM), menetapkan target kompetensi literasi dan numerasi yang diukur melalui Asesmen Nasional dan Rapor Pendidikan, serta desegregasi melalui zonasi.
Berdasarkan data PISA 2015 dan 2022 atau tahun sebelum dan sesudah berlangsungnya kebijakan PPDB, ada penambahan keragaman sosial ekonomi di dalam tiap-tiap sekolah serta kemiripan level sosial ekonomi antarsekolah. Kontribusi sosial ekonomi terhadap prestasi juga berkurang. Dengan kata lain, latar belakang sosial ekonomi murid menjadi prediktor lebih lemah terhadap prestasi. Itu merupakan indikator meningkatnya keadilan dalam pendidikan.
Sejauh ini, Merdeka Belajar secara implementasi sudah berjalan sesuai kebutuhan meskipun masih harus terus melakukan berbagai penyesuaian. Kendati secara nasional, perbaikannya sangat terlihat, perlu dilakukan beberapa hal yang lebih terfokus pada sekolah dan kelompok-kelompok yang tertinggal, sehingga mereka itu mendapatkan manfaat lebih dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Lantaran itulah, untuk sekolah yang belum masuk dalam pendataan awal, Yogi mengatakan, sekolah tersebut tetap memberlakukan kurikulum 2013 hingga pihak sekolah mengajukan untuk menggunakan kurikulum Merdeka di tahun ajaran yang akan datang. “Nah kalau yang tahun ajaran ini 2024 belum daftar, belum melaksanakan, berarti masih tahun ini kurikulum 13. Tahun depan boleh, tetapi daftar dulu, daftar tahun depan, dan nanti menerapkannya di kelas awal dulu, kelas 10 dulu,” jelasnya.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari