Indonesia.go.id - Meringankan Beban Penghiliran Minerba

Meringankan Beban Penghiliran Minerba

  • Administrator
  • Selasa, 13 Oktober 2020 | 05:10 WIB
UU CIPTA KERJA
  Sebuah kapal tongkang pengangkut batubara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (2/10/2020). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja punya pemanis untuk sub sektor mineral dan batu bara. Tujuannya untuk memacu investasi dan penyediaan lapangan kerja.

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja baru saja disahkan. Regulasi baru itupun tak luput ada resistensi. Wajar saja bila sebuah perangkat perundangan-undangan tidak bisa memuaskan semua pihak. Toh, masih ada jalan hukum melalui Mahkamah Konstitusi.

Secara umum materi UU Cipta Kerja merupakan bagian dari upaya pemerintah memberi iklim berbisnis yang lebih baik, yakni lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat. Kalangan pebisnis pun menyambut kehadirannya dengan ramah.

Salah satu tujuan pokok UU itu adalah menghilangkan atau setidaknya menata tumpang tindihnya aturan serta ketidakpastian hukum. Harapannya, iklim investasi bisa lebih kondusif sehingga produktivitas naik dan lapangan kerja baru tersedia secara luas. Kali ini, akan diulas UU Cipta Kerja yang menyentuh sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terutama sub klaster mineral dan batu bara (minerba).

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam teleconference Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta, Rabu (7/10/2020) mengemukakan, UU itu memberikan perlakuan tertentu terhadap penerimaan negara bila usaha atau kegiatan memberikan peningkatan nilai tambah.

“Misalnya peningkatan nilai tambah bagi pengolahan batu bara, pelaku usaha mendapatkan insentif berupa royalti sebesar nol persen. Intinya adalah bagaimana bahan baku bisa kompetitif dan kemudian investasi bisa dilaksanakan, kemudian tenaga kerja bisa terserap dan produk memiliki nilai kompetitif," paparnya.

Tak dipungkiri, insentif dari UU yang baru ini untuk sektor ESDM, terutama sub sektor mineral dan batu bara, bertujuan untuk memacu investasi dan penyediaan lapangan kerja. Maka, negara pun mendorong para pelaku usaha menghasilkan produk bernilai tambah yang tinggi dari eksploitasi kekayaaan sumber daya mineral bangsa ini. Dengan begitu, tak ada lagi anekdot menjual tanah dan air.

Nah, dalam salah satu klausul di sektor ESDM, khususnya sub sektor mineral dan batu bara disebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara bisa mendapatkan pengenaan royalti hingga 0 persen. Harapannya, adanya pemanis itu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengingatkan, bahwa insentif itu hanya akan berlaku jika para pengusaha tambang batu bara benar-benar melakukan penghiliran batu bara. “Alasannya, penghiliran membutuhkan investasi yang lebih besar,” katanya. Mengolah batu bara menjadi bahan bakar cair perlu pabrik yang mahal.

 

Butuh Kesungguhan

Adanya UU ini tentu patut diapreasiasi. Pengorbanan pemerintah dengan memberikan pembebasan royalti bagi dunia usaha masuk ke penghiliran harus diikuti dengan kesungguhan dari pelaku usaha itu sendiri. Bayangkan, bila kebijakan ini dijalankan, pemerintah akan kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Khusus untuk batu bara, tarif royalti diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 81/2019.

Sebagai ilustrasi, pengenaan tarif di tambang underground, misalnya, tarif royalti bagi tambang batu bara lebih dari 5.700 kalori per Kg dikenakan tarif royalti 6 persen dari harga jual, kalori 4.700-5.700 dikenakan tarif 4 persen, dan kalori kurang dari 4.700 dikenakan 2 persen.

Hingga per 8 Oktober 2020, menurut data Kementerian ESDM, realisasi penerimaan PNBP pemerintah mencapai Rp24,73 triliun atau mencapai 78,73 persen dari target. Penerimaan PNBP 2019 (Rp46,59 triliun), Rp49,63 triliun (2018), Rp40,52 triiun (2017), Rp27,15 triiun (2016), dan Rp29,30 triliun pada 2015. 

Bila mengacu kepada ketentuan pengenaan royalti sebesar 0 persen itu, sesuai dengan yang tercantum dalam UU Cipta Kerja, insentif itu bersifat opsional.

Persoalan penghilirisasi memang perlu didorong terus karena penting bagi negara untuk meningkatkan nilai tambah. Apalagi, pemerintah berkeinginan mewujudkan terbangunnya industri penghiliran batu bara skala komersial pada 2030.

Khusus penghiliran batu bara, pemerintah punya ambisi bisa mencapai kapasitas total 37,6 juta ton pada tahun itu. Menurut catatan Kementerian ESDM, saat ini beberapa sektor minerba yang sudah bergerak dan menggarap penghiliran, yakni sub sektor seng dan timbal sebanyak 2 unit, mangan (2), tembaga (4), besi (4), bauksit (9), dan nikel sebanyak 29 unit.

Bahkan, saat ini beberapa perusahaan ditengarai sudah mulai menggarap proyek penghiliran. Misalnya, proyek gasifikasi batu bara yang dikerjakan oleh PT Bukit Asam Tbk. Proyek ini direncanakan memproduksi 1,4 juta ton dimethyl ether, 300.000 methanol, dan 250.000 ton methanol ethylene glycol.

Begitupun dengan PT Kaltim Prima Coal juga berencana menggarap proyek gasifikasi batu bara menjadi methanol di Bengalon, Kalimantan Timur dengan target operasional pada 2024. “Pemberlakuan ketentuan royalti itu masih menunggu persetujuan Kementerian Keuangan,” ujar Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Jonsson Pakpahan.

Di sisi lain, Ketua Indonesian Mining Institute Irwandy Arif mengemukakan pemberian insentif pembebasan royalti tersebut diyakini dapat memacu penghiliran atau gasifikasi batu bara. Beban biaya produksi berkurang dengan insentif tersebut.

Memang, dia tidak memungkiri bahwa dengan dihapuskannya royalti batu bara menjadi 0% itu akan berdampak terhadap PNBP tetapi hal itu hanya bersifat sementara. Pasalnya, kelak sumbangan komoditas batu bara mendominasi PNBP.

Terlepas dari semua itu, upaya pemerintah melahirkan UU Cipta Kerja tetap patut diapresiasi. Bisa jadi UU tak memuaskan semua pihak. Bahkan, sempat energi bangsa terkuras dengan munculnya pro dan kontra berkaitan dengan UU tersebut.

Di sisi lain, ancaman Covid-19 masih mengintai bangsa ini. Artinya, negara tetap harus berupaya mengerahkan segenap kekuatan nasionalnya untuk mengatasi pandemi.

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini