Indonesia.go.id - Agar Rakyat tak Terjerat Ranting Patah

Agar Rakyat tak Terjerat Ranting Patah

  • Administrator
  • Rabu, 14 Oktober 2020 | 03:17 WIB
UU CIPTA KERJA
  Masyarakat Argapura, Majalengka, Jawa Barat, mengelola hutan dan tanah milik pemerintah. FOTO : Bismo Agung

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, akses rakyat pada sumber daya hutan diakui. Reforma agraria bisa dijalankan lebih cepat, absah, dan korporasi tak memonopoli hutan produksi.

Lingkungan hutan perlu dijaga agar lestari keberadaannya. Kawasan hutan juga perlu ditata dan diatur agar pemanfaatannya seimbang. Semangat itu terasa betul kentalnya dalam klausul-klausul peraturan yang terangkum pada klaster lingkungan hidup UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI pada Selasa (6/10/2020). Salah satunya menyangkut perhutanan sosial.

Meski ratusan UU sudah lahir, baru kali pertama di negeri ini urusan perhutanan sosial masuk ke dalam tubuh perundang-undangan. Kawasan hutan ini bukan semata wilayah konservasi, bukan pula lahan cadangan untuk usaha komersial. Di sana juga ada fungsi sosialnya.

Melalui Perhutanan Sosial, hak-hak masyarakat dilindungi. Izin pemanfaatannya tidak lagi untuk para korporasi, melainkan juga bagi kelompok tani. Hak-hak rakyat terpenuhi. Diatur sedemikian rupa sehingga pemanfaatannya tak diborong untuk swasta dan sangat sedikit akses untuk rakyat.

Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari pada kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Unsur dinamika sosial budaya dan keseimbangan lingkungan dipadukan. Hutan sosial juga menjadi salah satu alternatif menyelesaikan sengketa terhadap pelanggaran atau pencurian di hutan.

Dalam UU Cipta Kerja ini tidak boleh ada lagi kriminalisasi kepada petani kecil atau masyarakat adat di sekitar hutan. Dalam UU sebelumnya, ada ketentuan pidana yang sangat keras bagi warga yang terbukti mengusik hutan konservasi. Ada pepatah “ranting tak boleh patah, nyamuk tak boleh mati” di kawasan hutan konservasi. Sanksinya pidana dan banyak rakyat kecil yang terjerat dan terpidanakan.

Dalam klausul UU Cipta Kerja, pada klaster lingkungan hidup, sanksi bagi masyarakat kecil pelanggar hutan hanya bersifat administratif, lalu diberikan pembinaan serta legalitas akses. Istilahnya dalam undang-undang itu berupa kebijakan penataan kawasan hutan seperti hutan sosial, kemitraan konservasi, reforma agraria, hutan adat, dan lain-lain.

Dalam rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) disebutkan, UU Cipta Kerja sangat berpihak kepada masyarakat dan mengedepankan restorative justice. Penegakan hukum bagi perusak lingkungan juga semakin jelas, tegas, dan lebih terukur. “Masih banyak yang perlu kita sampaikan, dan akan terus kita sampaikan, sehingga UU Cipta Kerja ini, sebagaimana tujuannya, dapat mewujudkan Indonesia Maju,” tulisnya.

Menteri LHK Siti Nurbaya dalam laman pribadinya, https://www.sitinurbaya.com/, mengatakan bahwa banyak sekali informasi bias dalam ruang publik terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Oleh karena itu, menurutnya, KLHK berkepentingan mengawal UU Omnibus Law berkaitan dengan perubahan atas tiga UU yang berlaku sebelumnya, yaitu UU 32 tahun 2009, UU 41 tahun 1999, dan UU 18 tahun 2013.

“Saya mengajak semua pihak mencermati pasal per pasal, bahkan ayat per ayat, serta kaitan antar-UU, sehingga tujuan utama lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat dipahami serta didukung bersama untuk kemajuan Indonesia,” katanya.

Dalam keterangannya, Siti Nurbaya mengatakan, UU Cipta Kerja itu sangat penting untuk menyelesaikan warisan masalah berkaitan dengan konflik-konflik lahan kawasan hutan. Pemerintah tidak ingin ada lagi kriminalisasi kepada warga lokal atau masyarakat adat atas masalah kasus kebun rakyat dalam kawasan hutan. Rakyat harus dilindungi dan diberikan akses ikut mengelola kawasan hutan untuk kesejahteraan mereka. Di sinilah peran UU Omnibus Law Cipta Kerja hadir.

“Dengan UU Omnibus Law, tidak boleh ada lagi petani kecil yang asal ditangkap sembarangan. Justru mereka harus dirangkul dan diberi akses mengelola kawasan dalam bentuk perhutanan sosial. Ini kali pertama perhutanan sosial diakui dalam UU,” kata Siti Nurbaya.

Perlu diketahui, izin pengelolaan bagi kelompok rakyat kecil ini sudah berjalan selama beberapa tahun terakhir di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Sebelum 2015, rakyat hanya menguasai 4% saja dari izin pengelolaan hutan. Saat ini realisasi perhutanan sosial sudah mencapai 4,2 juta ha dan lahan hutan untuk masyarakat sudah sekitar 2,6 juta ha.

Dengan begitu, secara sah kini rakyat diizinkan mengelola 13-16 % dari area lahan hutan produksi atau kawasan hutan produksi terbatas. Ada progres yang nyata dari yang semula 4%. Pemerintah bertekad agar target 12,7 juta ha hutan sosial dan tanah obyek reforma agraria (TORA) tercapai dan itu dapat melingkupi 30-35 % lahan yang tersedia. Di sini UU Cipta Kerja diperlukan untuk sandaran hukumnya, agar semua prosesnya bisa jelas, cepat, sah, dan transparan.

“Jelas ini mengoreksi kebijakan di masa lalu yang akibat-akibatnya sekarang kita rasakan dan sedang dibenahi satu per satu. Tantangannya tidak mudah, tapi pemerintah terus berupaya berpihak kepada rakyat, salah satunya dengan hadirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja,” tegas Siti Nurbaya.

Lebih jauh, Siti Nurbaya mengatakan, UU Cipta Kerja ini melarang izin bagi korporasi membuka hutan primer. Eksploitasi lahan gambut dihentikan secara permanen. Terkait kebun rakyat dan korporasi dalam kawasan hutan serta belum punya izin (ketelanjuran), sangat keliru adanya anggapan bahwa UU Omnibus akan memberikannya 'cuma-cuma' tanpa sanksi. Faktanya, korporasi yang 'telanjur' berada di kawasan, akan dikenakan sanksi denda atas ketelanjuran akibat 'kebijakan masa lalu' dan sanksi denda itu akan menjadi penerimaan negara.

Jika setelah UU Omnibus Law masih ada yang 'bermain-main' lagi di dalam kawasan hutan, maka akan diterapkan sanksi pidana yang tegas. Ketentuan ini menjadi penting, karena kasus-kasus ketelanjuran yang ditemukan itu menyangkut hak hidup orang banyak secara turun-temurun dan dibutuhkan kepastian berusaha untuk menjaga stabilitas ekonomi di daerah. Kita perlu ingat, ada banyak rakyat yang menggantungkan hidup dari sektor hutan.

Ketelanjuran harus ditertibkan dengan peraturan yang tegas, terang, dan adil bagi semua pihak. UU Omnibus Law mengakomodir semua hal itu. Menteri LHK menyesalkan bahwa di klaster penyederhanaan perizinan berusaha ada narasi mengatakan bahwa UU Cipta Kerja menghilangkan Amdal. “Itu tidak benar! Justru melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja mempermudah pemerintah mencabut perizinan berusaha bagi perusak lingkungan,” tegasnya.

Penggabungan pengurusan izin Amdal dengan pengurusan izin berusaha, jika perusahaan melanggar, maka pemerintah bisa mencabut keduanya sekaligus. Siti Nurbaya menolak anggapan UU Cipta Kerja adalah langkah mundur dalam perlindungan lingkungan, karena tidak ada perubahan terhadap dasar aturan Amdal. UU Cipta Kerja hanya menyederhanakan perizinan, yang juga dibutuhkan masyarakat kecil untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Terkait kekhawatiran beberapa kalangan bahwa kewajiban kawasan hutan 30% hilang dalam Omnibus Law, juga ditolak Menteri LHK. Karena catatan ini sudah dicover dalam kewajiban pertimbangan bio-geofisik dan sosiologi masyarakat, sebagai pertimbangan untuk penggunaan dan pemanfaatan, selain pertimbangan daya dukung daya tampung. Justru dalam UU Omnibus Law, ini bisa lebih ketat daripada hanya soal angka 30%.

“Artinya implikasi kewajiban memiliki dan menjaga kawasan hutan, akan lebih ketat dalam aspek sustainability dan penerapan tools untuk itu seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Termasuk tools analisis pengaruh terhadap rantai kehidupan seperti rantai pangan (food chain), rantai energi, siklus hidrologi, rantai karbon, dan lain-lain atau disebut Life Cycle Assessment (LCA) yang sudah diawali oleh KLHK,” tegasnya.

 

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini