Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akhirnya disahkan di paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 dengan segala pro dan kontranya di ruang publik. Dari 11 klaster, beleid ini mengenalkan istilah baru dalam sistem pertanahan di Indonesia, yakni bank tanah. Sejak Undang-Undang nomor 1 tahun 1960 tentang Pokok Agraria diberlakukan, baru kali ini Indonesia bakal memiliki bank tanah. Sebuah kebijakan berani dari pemerintah.
Meski demikian, konsep bank tanah atau land banking ini bukan hal baru. Awalnya, bank tanah dibentuk untuk mengantisipasi ledakan penduduk sekaligus konsolidasi lahan-lahan pertanian.
Sebagai instrumen manajemen pertanahan, sebetulnya bank tanah merupakan bentuk penyempurnaan dan perluasan pola manajemen pertanahan yang diterapkan di beberapa negara Eropa, seperti Inggris (1710–1853), Denmark (1720), Swedia (1749), Norwegia (1821), dan Jerman (1821).
Dari menata lahan pertanian inilah kemudian dikembangkan untuk beberapa keperluan seperti konsolidasi tata ruang pertanahan, mengendalikan gejolak harga tanah, mengefektifkan manajemen pertanahan, mencegah terjadinya pemanfaatan yang tidak optimal, maupun pengembangan tata perkotaan yang baru.
Untuk itu, apabila pemangku kepentingan dalam konsolidasi lahan yang diterapkan di sektor pertanian pada umumnya adalah sektor pemerintahan, dalam bank tanah pendirinya dapat berupa sektor pemerintah maupun swasta.
"Bank tanah ini istilah saja. Istilah ini sangat familiar dalam industri properti dan perkebunan, ini merupakan istilah yang sangat mereka mengerti. Misalnya, dalam suatu perusahaan properti, suatu perusahaan memiliki banyak tanah kosong, itu disebut bank tanah. Kemudian perusahaan perkebunan, mereka punya tanah kosong 2.000 hektare, ini juga disebut bank tanah," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Hal ihwal bank tanah dalam UU Cipta Kerja ini bertujuan agar negara memiliki tanah, bisa menguasai tanah, dengan otoritas yang ada melalui Kementerian ATR/BPN. Di luar negeri, lembaga seperti BPN biasa disebut national land authority atau otoritas pertanahan nasional.
Apa peran lembaga tersebut? Mereka menjalankan dua fungsi, yakni regulator pertanahan/land regulator untuk mengatur hak milik, dan memberikan sertifikat tanah. Fungsi lainnya adalah mengelola aset tanah seperti land manager.
Tujuan negara mendirikan bank tanah ini adalah menampung aset-aset tanah yang tak bertuan, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), dan hak pakai yang sudah habis masanya kemudian digunakan untuk kepentingan umum.
Dijelaskan dalam regulasi terbaru tersebut, keberadaan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan
nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Terobosan penting lainnya adalah bank tanah juga akan mengakomodir program Reforma Agraria. Pada umumnya, tanah reforma agraria ini berasal dari hak guna usaha (HGU) lahan perkebunan yang sudah habis. Tanah tersebut kemudian diredistribusikan kepada petani atau masyarakat yang membutuhkan seperti yang sudah dilaksanakan di Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, maupun Kalimantan Selatan.
Jaminan hak tanah untuk rakyat tersebut diamanatkan kepada bank tanah dalam rangka efisiensi pengelolaan tanah agar melakukan redistribusi tanah paling kurang 30% dari tanah yang dikelola.
Ketimpangan kepemilikan tanah memang problem menahun di republik ini. Kementerian ATR/BPN memaparkan bahwa rasio gini tanah di Indonesia sudah mendekati 0,58. Artinya, satu persen dari total jumlah penduduk Indonesia menguasai 58 persen total luas tanah di Indonesia.
Pemerintahan Joko Widodo, sejak periode pertama, mencari jawaban persoalan itu melalui percepatan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Hingga 2019, redistribusi tanah yang berasal dari HGU yang habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang, tanah telantar, dan tanah negara lainnya berhasil dibagikan 573.432 bidang sertifikat atau 440.085 hektare (ha). Lalu untuk redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan dengan realisasi penerbitan sertifikat 25.310 bidang atau seluas 19.490 ha.
Kehadiran klaster pertanahan regulasi Cipta Kerja patut diapresiasi. Pasalnya, sejumlah hambatan berkaitan masalah pertanahan dibenahi, termasuk sejumlah tanah negara yang sulit untuk digunakan ketika dibutuhkan. Bahkan, pemerintah harus melakukan pembebasan tanah terlebih dahulu. Bayar mahal, sesuai harga pasar pula.
RUU Cipta Kerja ini juga menjamin percepatan proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Yakni melalui penguatan pelaksanaan Hak Pengelolaan (HPL) dan pemberian HGB/HGU di atas HPL dapat diperpanjang dan diperbaharui setelah beroperasi/laik operasi.
Artinya, setiap pemilik lahan tidak boleh menelantarkan lahan mereka sepanjang berlakunya HPL maupun HGB/HGU, jika tidak bank tanah akan mengambil alih.
Adapun pembentukan organisasi bank tanah terdiri dari komite, dewan pengawas, dan badan pelaksana (direksi). Komite bank tanah dipimpin oleh Menteri ATR/BPN serta didampingi sedikitnya dua menteri lainnya. Khusus untuk anggota dewan pengawas terdiri tujuh orang, di mana tiga orang dari unsur pemerintah dan empat dari profesional yang dipilih DPR.
Satu hal, Menteri ATR/BPN mengklarifikasi disinformasi mengenai fungsi bank tanah yang dituding bakal menghidupkan kebijakan ala Hindia Belanda, domein verklaaring. "Itu tidak benar sama sekali. Domein verklaaring adalah deklarasi negara di mana tanah yang tidak dikuasai atau tidak bisa ditunjukkan hak miliknya akan diklaim sebagai tanah negara. Sementara bank tanah akan mengelola tanah-tanah telantar dan ini kemudian diredistribusikan. Jadi, konsepnya beda," jelas Sofyan A Djalil.
Persoalan bank tanah masih tetap membutuhkan aturan di bawahnya setelah lahirnya UU Cipta Kerja. Pemerintah menjanjikan pembahasan peraturan turunannya yang akan dikerjakan dalam tiga bulan ke depan. Sebagai sebuah terobosan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, perihal bank tanah ini patut diwacanakan terus di ruang publik.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini