Indonesia.go.id - Pungutan Pajak Berazas Perlakuan Setara

Pungutan Pajak Berazas Perlakuan Setara

  • Administrator
  • Minggu, 13 Desember 2020 | 00:51 WIB
BISNIS DIGITAL
  Warga membeli barang secara online melalui gadget miliknya di Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/11/2020). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Pemerintah berencana mengambil tindakan sepihak atau unilateral bila tak kunjung ada konsensus global atas pemajakan terhadap aktivitas ekonomi digital.

Kemajuan teknologi digital telah memberikan berkah bagi dunia di tengah-tengah wabah pandemi Covid-19. Kini, masyarakat sudah sangat tergantung dengan internet dalam banyak hal.  Begitu juga dunia usaha, model bisnis pun kini sudah berubah total dari pola konvensional bertemu secara fisik ke pola berbasis digital. Banyak para pelaku usaha dan konsumen mulai beralih menggunakan transaksi business to business (B2B) secara online.

Berkembangnya bisnis B2B online saat ini seringkali disebut sebagai salah satu dampak dari pandemi Covid-19, yang memaksa pelaku usaha dan konsumen beralih dari model bisnis offline ke B2B online atau e-commerce untuk bisa bertahan selama pandemi. Dalam salah satu studinya, perusahaan konsultan bisnis global McKinsey menyebut, pandemi Covid-19 membuat hampir semua penjualan beralih menjadi online atau berbasis platform digital. Mereka juga menemukan organisasi atau pelaku usaha yang berhasil bertahan di tengah krisis umumnya telah menerapkan transformasi digital sebagai inovasi usahanya.

Temuan McKinsey itu juga sejalan dengan laporan Google, Temasek, dan Bain dalam e-Conomy SEA 2020, yang memprediksi Indonesia tetap bisa menyumbang USD44 miliar atau setara Rp621,15 triliun dari ekonomi berbasis internet. Dalam konteks kawasan, nilai ekonomi berbasis teknologi itu di kawasan Asia Tenggara, lembaga itu memperkirakan bisa mencetak USD105 miliar, termasuk Indonesia pada tahun yang sama.

Dalam laporan itu juga menulis nilai ekonomi digital Indonesia pada 2020 tumbuh 11 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu (year on year). Pada 2025, nilai ekonomi digital pada kawasan regional diprediksi tumbuh 24 persen. Sedangkan di Indonesia diramalkan naik 23 persen. Proyeksi tersebut berlandaskan pada transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) lima sektor. Yakni, e-commerce, berbagi tumpangan (ride-hailing) dan pesan-antar makanan, media digital, online travel, dan finansial.

“Covid-19 telah mengubah kehidupan sehari-hari masyarakat. Termasuk hal-hal fundamental,” ujar Vice President for Google in Southeast Asia Stephanie Davis, Rabu (11/11/2020). Bahkan, adanya pandemi telah mendongkrak transaksi digital. Misalnya, pada sektor e-commerce dan platform penyedia kebutuhan sehari-hari.

Dengan kue bisnis yang besar cukup gurih di Indonesia, beberapa platform digital tumbuh bak jamur di musim hujan, baik besutan lokal maupun asing. Mereka berebut kue tersebut. Platform digital itu banyak bergerak di bisnis e-commerce, baik dalam bentuk C2C, ada B2C, B2B, B2G, hingga e-commerce pada segmen vertikal. Di antaranya, sektor pendidikan, kesehatan, wisata, musik, film, dan pergudangan.

 

Kewajiban Melekat

Bagi pemerintah, tumbuhnya lingkungan bisnis berbasis digital tentu disambut gembira. Bulan madu gurihnya kue bisnis digital tentu harus ada kewajiban yang juga melekat ke bisnis tersebut. Kewajiban itu adalah membayar pajak.

Menurut rencana, pemerintah akan mengenakan pungutan pajak terhadap perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) itu mulai tahun depan, Khusus pungutan pajak PMSE, di tingkat global sudah menjadi isu dan telah menjadi pokok bahasan, termasuk di Organisasi for Economic Cooperation and Development (OECD). Hasil konsensus global pun hingga kini belum menemukan titik terangnya.

Di sisi lain, desakan penerapan PPh digital kian kuat dari kalangan pelaku usaha domestik juga perlu mendapatkan perhatian serius pemerintah. Jangan sampai pasar besar negara ini hanya jadi objek keuntungan bagi pelaku asing. Oleh karena itu, seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah berencana mengambil tindakan sepihak atau unilateral ini apabila tak kunjung ada konsensus global atas pemajakan terhadap aktivitas ekonomi digital.

Menteri Keuangan mengatakan global taxation agreement sebenarnya bisa memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi digital global ketimbang aksi unilateral. “Jika tidak tercapai kesepakatan secara global, Indonesia sudah memiliki acuan untuk bertindak unilateral melalui Undang-Undang (UU) nomor 2/2020. UU itu mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19,” ujarnya, Selasa (1/12/2020).

Di UU itu, terutama di Pasal 6 Ayat 1 Butir (b) menyebutkan, pengenaan pajak penghasilan atau pajak transaksi elektronik (PTE) atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Pasal inilah yang akan digunakan Indonesia bila tak ada kesepakatan global. Indonesia akan melakukan langkah unilateral. “Bedanya, kita memungut tidak menggunakan formula yang digunakan dalam base erosion and profile shifting (BEPS) pilar satu dan pilar dua,” ujar Sri Mulyani.

Beberapa syarat harus dipenuhi untuk menerapkan pajak transaksi elektronik (PTE). Pertama, memenuhi kehadiran ekonomi signifikan atau significant economic presence (SEP) dari PMSE luar negeri di Indonesia. Dengan kata lain, tidak perlu kehadiran fisik perusahaan seperti diatur UU pajak penghasilan (PPh) dan tax treaty.

Kedua, pelaku usaha PMSE yang merupakan SPLN itu berasal dari negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Sebagai catatan, dari 70 P3B yang telah dilakukan Indonesia terdapat 69 P3B yang mengatur kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam kesepakatannya.

Menkeu menambahkan, PTE yang dipungut bakal menggunakan basis data SPLN yang saat ini sudah menarik, memungut, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penjualan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. “Ada estimasi income yang diperoleh pastinya bisa diestimasi dari pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) yang saat ini dan akan terus berjalan. Dan ini bisa saja dijadikan bahan untuk memungut pajak penghasilannya,” ujar Sri Mulyani.

Dari konteks kebijakan yang diambil, rencana pemerintah sudah on the track. Pasalnya, pemerintah sudah memberikan solusi dengan perlunya konsensus pemajakan ekonomi digital sebelum dilakukan kebijakan unilateral. Namun, pemerintah juga perlu menerapkan ambang batas berapa besar transaksi yang akan dikenakan PTE ini sehingga tidak berdampak negatif bagi pelaku usaha rintisan (start up).

Di beberapa negara, tarif pajak digital sudah mulai diterapkan. Di Prancis, misalnya, negeri itu sudah menerapkan digital service tax dengan tarif 3 persen dari nilai transaksi, begitu juga Itali, Spanyol. Namun, Austria mengenakan tarif lebih tinggi, yakni 5 persen. India dengan nama pajak equlisation levy mengenakan tarif 6 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, di Inggris dengan nama branch profit tax mengenakan tarif 25 persen dari diverted profit. Demikian pula, Australia yang mengenakan tarif 40 persen dari diverted profit.

Tentu saja kebijakan yang diambil pemerintah itu patut didukung karena pemerintah berusaha untuk berlaku adil bagi pelaku bisnis lokal yang sudah terkena pungutan pajak, di sisi lain ada pelaku bisnis multinasional yang berusaha mengingkari right tax yang berlaku di negara ini.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini