Indonesia.go.id - Menjaga Industri P2P Lending Tetap di Jalurnya

Menjaga Industri P2P Lending Tetap di Jalurnya

  • Administrator
  • Senin, 11 Juli 2022 | 13:34 WIB
FINTECH
  Layanan keuangan digital tumbuh subur dan mendongkrak perekonomian nasional. ANTARA FOTO
Seiring dengan semakin populernya industri peer-to-peer (P2P) lending, pemerintah fokus menjaga para pemain industri itu agar tetap berada dalam koridor yang sehat.

Layanan keuangan berbasis teknologi kini sudah semakin marak. Perkembangan yang pesat itu tidak terlepas sebagai bentuk hadirnya revolusi digital dalam bentuk layanan keuangan berbasis teknologi.

Fintech atau financial technology adalah bentuk layanan tersebut, yang memanfaatkan teknologi internet dan software terkini. Layanan berbasis itu sudah semakin banyak, mulai dari pembayaran, investasi, pembiayaan, asuransi, lintas-proses, dan infrastruktur.

Tentu kehadiran layanan itu sangat membantu sekali bagi masyarakat. Karena masyarakat sangat dimudahkan dalam melakukan transaksi pembayaran dan semacamnya. Fintech pun mampu mendongkrak ekonomi nasional Indonesia.

Fintech juga memberikan solusi struktural bagi pertumbuhan industri yang berbasis elektronik dan menjadi fasilitator bagi pertumbuhan usaha kecil dan usaha kreatif dalam mencapai pasar yang lebih luas. Di samping itu, sektor yang mulai berkembang sejak 2017 itu pun berperan dalam penyerapan tenaga kerja.

Apa saja layanan fintech tersebut? Layanan fintech itu seperti uang elektronik, pinjaman online, aggregator (jenis layanan informasi keuangan), pengelola investasi dan risiko keuangan, serta lain sebagainya. Menurut laporan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), bisnis keuangan berbasis teknologi relatif masih mampu bertahan dan masih sangat menjanjikan.

Apalagi, segmen fintech atau yang juga dikenal dengan teknologi finansial (tekfin) itu memiliki karakter tersendiri. Sehingga, memberi peluang untuk terus melakukan improvisasi.

Harus diakui, sebagai bisnis yang baru tumbuh, mengutip data AFPI, industri perusahaan tekfin tersebut belum sepenuhnya mampu mendulang untung. Sampai dengan kuartal I-2022, bisnis tekfin bahkan mengalami kerugian sebesar Rp25,41 miliar.

Tiga komponen beban terbesar di bisnis tekfin terletak pada ongkos ketenagakerjaan, pemasaran, dan periklanan, serta biaya umum dan administrasi. Total ketiga komponen itu mencapai Rp1,17 triliun atau hampir 80 persen dari total biaya operasional tekfin yang mencapai Rp1,46 triliun.

Pengeluaran dari ketiga komponen biaya itu mencapai 82 persen dari total pendapatan yang diperoleh tekfin senilai Rp1,41 triliun. Dalam perjalanannya, dikatakan Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah, industri tekfin yang berjaya dan tahan banting di tengah situasi ekonomi dewasa ini adalah bisnis platform industri peer-to-peer (P2P) lending.

 

Masih Tinggi

Indikatornya, menurut Kuseryansyah, di Indonesia credit gap industri itu masih sangat tinggi, yakni mencapai Rp1.650 triliun per tahun. Hal tersebut membuat akses kredit oleh lembaga keuangan alternatif seperti P2P lending begitu dibutuhkan masyarakat tanah air.

Terlebih, tidak semua individu atau pelaku usaha di Indonesia sudah layak dan mampu menerima kredit dari lembaga keuangan konvensional. “Ini membuat fenomena industri fintech P2P lending di Indonesia itu terbilang unik. Karena beda jauh dari fenomena di negara maju yang kebanyakan warganya sudah bankable, sehingga fintech itu rebutan nasabah dengan perbankan. Kalau di sini, kami justru bisa jadi front-end dari lembaga keuangan konvensional,” ujarnya.

Segmen borrower tersebut, misalnya, masyarakat yang belum punya riwayat kredit, tidak punya aset sebagai agunan pengajuan kredit, pelaku UMKM yang bisnisnya baru berdiri kurang dari dua tahun, pekerja sektor informal yang pendapatan bulanannya tidak tetap, serta beragam segmen lain yang hampir pasti ditolak ketika mengajukan kredit ke lembaga keuangan konvensional.

Oleh sebab itu, menurutnya masuk akal apabila startup fintech dalam industri ini punya model bisnis yang lebih stabil dibandingkan startup lain, bahkan startup tekfin klaster lain.

“Jadi bisa dibilang, platform dalam industri P2P lending cukup reliable. Buktinya, saat kredit nasional hanya tumbuh tujuh persen pada 2021, kami tumbuh 112 persen. Artinya, ada keandalan yang membuat tumbuhnya kepercayaan kepada kami. Bukan hanya dari sisi pengguna selaku peminjam, tapi juga kepercayaan dari sisi lender individu maupun institusi,” katanya.

Adapun, apabila melihat kinerja laba-rugi para pemain, Kus mengakui, bahwa mayoritas masih merugi. Namun, setidaknya para pemain sudah berada dalam jalur profitabilitas, sehingga AFPI optimistis rata-rata platform bisa mulai meraup cuan setelah 3—4 tahun beroperasi.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan menyatakan, industri masih seumur jagung itu kini masih fokus mengejar pertumbuhan. Terlebih, sebagian besar pemain baru mendapatkan izin operasional kurang dari setahun.

“Per Maret 2022, total agregat laba bersih industri P2P lending memang negatif. Namun pada periode akhir 2021, nilai agregat laba bersih industri sebenarnya sudah berhasil positif Rp208,6 miliar,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ke depan fokus pengawasan OJK terhadap industri P2P lending, yaitu agar para pemain terjaga dalam koridor bertumbuh secara sehat. Beberapa indikatornya, antara lain kinerja keuangan telah berada dalam jalur profitabilitas, serta memastikan setiap pemain memiliki ekuitas yang memadai untuk beroperasi.

“OJK sedang dalam proses penyiapan aturan baru mengenai penyelenggaraan P2P lending, salah satunya ditujukan untuk memastikan penyelenggara memiliki ekuitas yang cukup untuk mengembangkan usahanya secara sehat,” katanya.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari