Indonesia.go.id - Menggantang Asa Pemulihan Ekonomi Berlanjut

Menggantang Asa Pemulihan Ekonomi Berlanjut

  • Administrator
  • Minggu, 23 Oktober 2022 | 17:28 WIB
SUKU BUNGA
  Ketidakpastian pasar ekonomi global berdampak pada lemahnya nilai rupiah. ANTARA FOTO/ Muhammad Adimaja
Bangsa Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan untuk mengamankan ekonomi dalam negeri.

Bank Indonesia, Kamis (20/10/2022) mengambil keputusan penting demi tetap menjaga momentum pemulihan ekonomi. Pada hari itu, rapat dewan gubernur bank sentral tanah air itu memutuskan untuk mengerek bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen.

Bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 4 persen dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi 5,5 persen.

Alasan Bank Indonesia mengambil langkah itu sebagai bentuk front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting). Benar, jika kebijakan Bank Indonesia itu tidak terlepas dari agresivitas sejumlah negara yang menaikkan suku bunga acuan bank sentral. Bahkan, diprediksi model itu akan mencapai puncaknya pada 2023.

Sebut saja, langkah The Federal Reserve (Fed) yang saat ini mematok suku bunga acuan di level 3,25 persen. Diperkirakan, pada akhir 2022, Fed fund rate (FFR) akan dinaikkan ke 4,50 persen dan pada akhir 2023 di level 4,75 persen.

Berkaitan dengan itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai langkah agresif menaikkan suku bunga acuan tidak hanya dilakukan The Fed, melainkan juga oleh bank sentral negara-negara lainnya. Tujuannya, mengendalikan inflasi akibat berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan, dan investasi. 

Gubernur Bank Indonesia mengakui, kenaikan suku bunga The Fed akan mendorong makin kuatnya mata uang dolar AS, sehingga memberi tekanan atau depresiasi terhadap nilai tukar negara lain, termasuk Indonesia.

Dampak lanjutannya adalah ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat tak lagi terelakkan.  “Pelemahan nilai tukar rupiah semakin tinggi dengan ketidakpastian pasar keuangan global meningkat. Emerging market, termasuk Indonesia diperberat oleh aliran modal asing keluar dalam bentuk portofolio,” tuturnya.

Perry menegaskan, langkah kenaikan suku bunga acuan yang agresif di sejumlah negara tidak serta-merta menurunkan risiko inflasi di negara maju. Soalnya, inflasi di negara-negara maju tidak hanya disebabkan oleh sisi permintaan, tapi juga sisi pasokan akibat munculnya risiko stagflasi di sejumlah negara.

Berbagai risiko ini pun, kata Perry Warjiyo, berdampak pada ekonomi AS. Perekonomian Negeri Paman Sam berpotensi makin lambat, bahkan masuk resesi dengan peningkatan probabilitas hingga 50 persen atau sudah lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya.

 

Lima Tantangan

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, setidaknya terdapat lima tantangan yang akan dihadapi ekonomi global tahun depan, di mana pertumbuhan ekonomi dunia berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, disertai meningkatnya risiko resesi di sejumlah negara.

“Karena itu kita perlu meningkatkan kewaspadaan untuk mengamankan ekonomi dalam negeri,” tambahnya.

Perry menjelaskan, risiko pertama, perlambatan pertumbuhan ekonomi global. BI memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,6 persen pada 2023, melambat dibanding tahun ini diperkirakan mencapai 3 persen.

Pertumbuhan ekonomi 2023 pun berpotensi lebih rendah dari perkiraan 2,6 persen. “BI memperkirakan ekonomi global tahun ini tumbuh 3 persen dan tahun depan 2,6 persen dengan kemungkinan risiko ke bawah,” ucap dia.

Risiko kedua, kata dia, yaitu tingkat inflasi global yang sangat tinggi, baik di negara maju maupun negara berkembang, disebabkan gangguan rantai pasok yang diperparah oleh perang Rusia versus Ukraina serta ketegangan AS dan Tiongkok.

Ketiga, kenaikan suku bunga yang agresif di negara maju sebagai respons untuk mengendalikan tingginya inflasi, terutama di AS. Bank Indonesia memperkirakan Fed fund rate (FFR) berpotensi meningkat tinggi menjadi 4,5 persen pada 2022 dan 4,75 persen pada 2023.

Perry Warjiyo mengemukakan, kenaikan suku bunga yang agresif di sejumlah negara belum tentu mampu menurunkan inflasi secara cepat di negara maju. “Sebab, inflasi tidak hanya disebabkan oleh sisi demand, tapi juga dari sisi supply. Di sinilah muncul risiko stagflasi, bahkan di sejumlah negara. Probabilitas AS memasuki resesi meningkat, terakhir 50 persen,” ucapnya.

Risiko keempat, menurut Perry Warjiyo, kenaikan suku bunga The Fed yang agresif telah mendorong penguatan dolar AS, dengan indeks yang mencapai level tertinggi 114 pada 28 September 2022. Bahkan, jika dihitung dari pertengahan 2021, penguatan dolar AS hampir mencapai 25 persen.

Kelima yaitu risiko dari persepsi investor. Di tengah ketidakpastian yang tinggi, ada kecenderungan investor menarik dana dari negara berkembang dalam bentuk investasi portofolio dan menumpuknya dalam bentuk tunai. “Lima fenomena itu menjadi tantangan dari seluruh dunia,” tandas dia.

Berkaca dengan kecenderungan ekonomi global itu, Perry Warjiyo pun tetap mengusung optimisme bahwa kondisi ekonomi Indonesia hingga kuartal III-2022 masih kuat. Hal itu tecermin pada berbagai indikator dini.

Penguatan itu juga tidak terlepas dari sinergi dan koordinasi yang makin erat antara pemerintah dan BI, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di level Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

“Bagaimana respons bauran kebijakan ekonomi nasional itu dilakukan secara bersama-sama untuk memitigasi dan menangkal dampak rambatan dari ekonomi keuangan global yang serba penuh tantangan,” tuturnya.

Perry menjelaskan, laju ekonomi kuartal III-2022 akan ditopang peningkatan konsumsi swasta dan investasi nonbangunan, tetap kuatnya ekspor, serta daya beli masyarakat yang masih terjaga di tengah kenaikan inflasi.

Indikator yang digunakan di antaranya hasil survei terakhir BI, seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur. “Ini semua mengindikasikan terus berlangsungnya proses pemulihan ekonomi domestik,” tutur dia.

Gubernur BI menambahkan, di sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan tetap kuat, khususnya batubara, minyak sawit mentah (CPO), serta besi dan baja. Hal ini ditopang permintaan beberapa mitra dagang utama yang masih tinggi serta kebijakan pemerintah mendorong ekspor CPO dan turunannya. 

“Perbaikan ekonomi nasional juga tecermin pada kinerja lapangan usaha utama, seperti perdagangan, pertambangan, dan pertanian,” kata dia.

Perry Warjiyo mengungkapkan, dengan berbagai kondisi ekonomi yang menguat, pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan tetap bisa ke atas dalam kisaran proyeksi 4,5--5,3 persen. 

Senada seirama dengan Bank Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 akan tumbuh sangat kuat yakni di atas 5,5 persen (year-on-year/yoy). Lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang tercatat sebesar 5,44 persen.

Menurutnya, perkiraan tersebut datang dengan melihat berbagai indikator seperti mobilitas, indeks penjualan retail, dan Mandiri Spending Index di mana semuanya masih dalam situasi yang positif dan ekspansif. “Kita memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia pada 2022 ini antara 5--5,3 persen. Ini artinya pertumbuhan ekonomi di kuartal III masih akan tumbuh sangat kuat di area di atas 5,5 persen, perkiraan dari Kemenkeu,” kata Sri Mulyani, dalam konferensi pers APBN Kita Edisi Oktober 2022, Jumat (21/10/2022).

 

Sejumlah Indikator Menguat

Dia mengatakan sejumlah indikator seperti PMI Manufaktur, Indonesia bahkan mengalami penguatan. Itu artinya dalam 13 bulan berturut-turut PMI Indonesia terus-menerus berada dalam zona ekspansi, menggambarkan bahwa pemulihan ekonomi sudah terjaga momentumnya.

Kemudian, dilihat dari konsumsi listrik. Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan konsumsi listrik dari sektor bisnis dan industri juga positif. Masing-masing sektor tercatat tumbuh sebesar 17,3 persen dan 8,1 persen. 

Dari sisi manufaktur, industri pengolahan kapasitas produksi juga mengalami kenaikan. “Ini semuanya menggambarkan bahwa kuartal III ini GDP kita mungkin masih kuat. Meskipun kemarin kita melakukan penaikan harga BBM, pengaruhnya terhadap growth masih relatif terjaga,” ujarnya.

Kendati demikian, dia juga memperingatkan untuk tetap waspada, terutama pada 2023. Pasalnya, gelombang pelemahan ekonomi dunia dan ketidakpastian global, serta kecenderungan suku bunga yang naik pasti akan mempengaruhi berbagai indikator dan juga faktor-faktor yang mendorong ekonomi Indonesia.

Tak dipungkiri, ketika dua penjaga perekonomian Indonesia, Perry Warjiyo dan Sri Mulyani, terus menggantang asa bahwa pemulihan ekonomi domestik akan terus berlanjut pada 2023, tentu menentramkan pelaku usaha dan masyarakat.

Apalagi, dari sisi permintaan domestik masih terlihat solid sejalan dengan terus meningkatnya mobilitas dan berlanjutnya penyelesaian program strategis nasional (PSN), di tengah lebih dalamnya perlambatan perekonomian global.  Di tengah kondisi global agak suram, ekonomi Indonesia patut tetap optimis, meski juga memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.

Bangsa ini memang harus bersama memitigasi rambatan dari kondisi ekonomi global. Butuh sinergi, kolaborasi semua stakeholder dibutuhkan untuk stabilitas makroekonomi tetap terjaga.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari