Para desainer Bamboo Dome ingin menunjukkan bahwa di tengah dunia yang serba sintetis ada Indonesia yang masih autentik.
Perhelatan Presidensi G20 Indonesia dan berpuncak pada Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT di kawasan pariwisata terpadu Nusa Dua, Bali telah berakhir pada Rabu (16/11/2022) lalu. Namun, masih tersisa sejumlah cerita menarik dari kegiatan yang diikuti oleh sekitar 17 kepala negara dan Ketua Uni Eropa anggota G20, 41 undangan wakil pemerintahan dan lembaga internasional undangan, serta 17.500 orang anggota delegasi.
Salah satunya adalah bangunan Bamboo Dome di The Apuva Kempinski Hotel, Nusa Dua yang menjadi tempat santap siang para pemimpin negara G20, usai menghadiri pembukaan KTT di lokasi super premium tersebut. Bangunan berbentuk kubah terbuat dari bambu itu menyita perhatian ketika acara ini disiarkan secara langsung ke seluruh dunia. Saat para pemimpin G20 berada di dalam bangunan unik ini, mereka tampak menjatuhkan pandangan ke berbagai sudut.
Terletak di tepi pantai, Bamboo Dome dapat dilihat dari anjungan lobi hotel. Dalam ruang makan seluas 32 meter persegi tersebut disediakan 43 kursi dengan tata letak satu meja besar melingkar sehingga para pemimpin dan delegasi dapat menikmati suguhan makanan khas Indonesia bersama-sama.
Momen makan siang merupakan salah satu pertemuan penting sehingga untuk memilih dan mewujudkan lokasi dilakukan hampir sepanjang tahun. Awalnya akan didirikan tenda-tenda di halaman belakang Apurva Kempinski. “Waktu itu, permintaannya cukup sederhana, Presiden Joko Widodo ingin makan siang dengan pemandangan laut,” kata Visual Creative Consultant KTT G20, Elwin Mok.
Konstruksi Bambu
Ide tenda itu kemudian batal karena kekhawatiran kencangnya angin pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Ide berikutnya adalah mendirikan bangunan yang berbahan bata dan batu. Tapi ide ini diurungkan dengan pertimbangan bahwa bangunan hanya bersifat sementara dan akan dibongkar seusai penyelenggaraan G20.
Inspirasi bisa muncul dalam berbagai kesempatan, seperti saat dalam perjalanan singkat ke Pantai Melasti di selatan Bali, Elwin bersama timnya mendapat ide brilian. Mereka melihat sejumlah pekerja konstruksi menggunakan bambu dalam sebuah proyek bangunan. Setelah diskusi dengan tim diputuskan bambu menjadi bahan utama untuk lokasi makan siang.
Bambu menyimpan filosofi sangat dalam, mudah untuk dibentuk melengkung karena sifatnya lentur, elastis, dan gampang beradaptasi. Selain itu, bangunan bambu juga terkenal paling kuat terhadap guncangan gempa. Arsitek spesialis bangunan tradisional, Rubi Roesli, segera membuat desainnya disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Bali.
Untuk mematangkan ide, Rubi dan Elwin kemudian menemui pengajar dan pakar perhitungan bambu Universitas Gajah Mada (UGM) Ashar Saputra yang mengawali keseriusannya meneliti bambu pada 2008. Kala itu ia bekerja sama dalam pembangunan sekolah alam internasional di Bali yang seluruh bangunannya menggunakan bambu. Dari awal kerja sama tersebut ia kenal dengan para pegiat bambu. Ia tidak hanya melakukannya di Indonesia saja, tetapi dengan beberapa negara seperti Belgia, Tiongkok, dan India.
Dibangun Tiga Pekan
Rudi, Elwin, dan Ashar berdiskusi hingga mendapatkan bentuk yang tepat yaitu kubah setengah lingkaran atau dome, sesuai dengan lambang G20 berupa gunungan. Ditambah bambu ramah lingkungan, sehingga setelah KTT G20, Bamboo Dome dibongkar bambunya masih bisa dipakai ulang untuk keperluan lain. Bukan hanya dari sisi arsitektur, Bamboo Dome dapat sekaligus alat promosi Indonesia ke dunia internasional akan kualitas budayanya.
Seperti disebutkan pakar bambu asal Universitas Udayana Pande Ketut Dian Kencana dalam BW in Training: Mengenal Bambu, Mengenal Indonesia, dari 1.439 jenis bambu di dunia, sebanyak 162 jenis di antaranya ada di Indonesia termasuk 88 jenis bersifat endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tertentu di tanah air.
Ashar Saputra tidak menyangka sebelumnya bahwa ia akan dilibatkan dalam pembuatan Bamboo Dome ini. Tawaran Rubi dan Elwin bukan tanpa tantangan karena perajin hanya memiliki waktu relatif singkat untuk menyiapkan lokasi estetik dan aman. Para penggiat, perajin bambu disediakan waktu tiga pekan untuk menyelesaikan Bamboo Dome.
"Ini menuntut kerja sama yang intens antara arsitek, perajin bambu, dan saya untuk memastikan keamanannya sehingga harus dikawal dengan cukup ketat karena pekerjaannya cukup banyak dan harus zero tolerance terkait keamanan struktur bangunan,” papar Dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM ini seperti dikutip dari website UGM, Kamis (17/11/2022).
Ashar menjelaskan Bamboo Dome dibangun dari bambu apus dan sebagai penyangga memakai bambu petung dari Tabanan yang dibawa ke Gianyar untuk digarap oleh perajin. Pengerjaan Bamboo Dome dimulai dari menentukan pondasi, menyusun lengkung-lengkung utama, sampai keseluruhan dapat diuji karena strukturnya lengkung.
Langsung Diuji Alam
Ada tantangan tersendiri dalam pembangunannya yaitu dalam membentuk lengkungan yang estetik, namun segi keamanan tetap bisa tercapai. Berbeda dengan bangunan yang dibuat dari beton atau baja, membangun bambu memiliki ketidaktentuannya yang cukup tinggi, baik dari dimensi, kematangan, maupun kinerja sambungannya.
Ashar mengungkapkan ada satu momen yang ia sebut sebagai moment of truth dalam proses pengerjaan Bamboo Dome. Satu hari sebelum Presiden Joko Widodo melakukan cek lokasi, saat itu di Nusa Dua terjadi hujan yang sangat lebat dan angin yang sangat kencang selama dua jam.
Ia berada persis di bawah bangunan yang sedang dikerjakan sembari memperhatikan bangunan saat hujan dan angin kencang terjadi. Seluruh struktur bangunan hasil tangan-tangan terampil perajin bambu Bali tetap terlihat stabil dan kokoh.
“Di titik ini saya menjadi yakin dengan keamanan struktur bangunan Bamboo Dome yang hampir 100 persen pengerjaannya. Ketika saya tidak dapat menguji secara langsung tetapi bangunan langsung diuji oleh alam,” kenangnya.
Melalui momen ini ia berharap, bambu dapat dimanfaatkan dan diperkenalkan lebih baik kepada masyarakat. Ia juga berharap di masa depan UGM bisa membuat bangunan yang bagus, lekat dengan Indonesia, dan dapat menjadi nilai tambah bagi masyarakat.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari