Indonesia mendorong dilakukannya kolaborasi global untuk mempercepat pemulihan pandemi dengan tetap berpegang pada prinsip solidaritas, akuntabilitas, dan kesetaraan.
Indonesia ingin menjadikan posisi Presidensi G20 sebagai momentum untuk mendorong ide, berbagi pengalaman, dan peluang dalam membangun kembali tatanan dunia yang lebih kuat setelah terkulai dihantam badai pandemi virus corona. Wabah ini bermula dari blok pedagang hewan di Pasar Huanan, Kota Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Tiongkok bagian tengah, akhir Desember 2019.
Sejak menyebar awal dari Tiongkok hingga hari ini, memberi dampak sangat besar bagi kehidupan miliaran masyarakat di muka bumi, tak terkecuali di Indonesia. melansir data Badan Kesehatan Dunia per Minggu (6/11/2022), tercatat ada 632.611.011 orang pernah terkonfirmasi positif Covid-19, dan 6.600.538 orang di antaranya meregang nyawa.
Ada tiga sektor menjadi fokus perhatian dari perhelatan bertema Recover Together, Recover Stronger ini dan akan berpuncak pada Konferensi Tingkat Tinggi yang bakal dihadiri 20 kepala negara anggota G20 di Nusa Dua, Bali, 15-16 November 2022. Salah satunya adalah penguatan pada arsitektur kesehatan global atau global health architecture karena pandemi masih berlangsung sampai saat ini.
Tema penguatan arsitektur global itu dibagi lagi ke dalam tiga subtema terdiri dari membangun ketahanan sistem kesehatan global, harmonisasi standar protokol kesehatan global, dan memperluas manufaktur global serta pusat pengetahuan untuk pencegahan pandemi, mitigasi, dan respons.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin selaku Ketua Health Working Group menyatakan, melalui ketiga subtema itu Indonesia berkomitmen untuk membangun kerja sama global yang nyata. Tentunya kolaborasi itu dibutuhkan dengan tetap berpegang kepada prinsip solidaritas, akuntabilitas, dan kesetaraan.
Prioritas pada kesehatan dilakukan karena pandemi belum usai dan untuk mempersiapkan dunia supaya punya mitigasi lebih baik ketika muncul krisis kesehatan di masa mendatang. Saat ini akses terhadap solusi medis masih tidak setara, utamanya di negara-negara berkembang. Diperlukan mekanisme permanen untuk mendorong akses setara terhadap solusi medis.
Hal itu dikemukakan Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi ketika menghadiri pertemuan virtual Covid-19 Global Action Plan Foreign Ministerial Meeting, 19 Juli 2022 lalu. Pertemuan ini diinisasi AS dan Jepang untuk mendorong adanya kemauan politik (political will) dunia untuk mengakhiri pandemi.
Karena itu Indonesia selaku Presidensi G20 2022 mendorong dunia dan mitra-mitra strategis di tataran regional untuk memperkuat pasokan vaksin agar memadai. Indonesia menilai, kapasitas produksi vaksin di negara-negara berkembang perlu dilakukan dengan mereplika model produksi vaksin hubs and spoke.
Indonesia pun telah melakukannya dengan meluncurkan vaksin Covid-19 buatan dalam negeri bernama Indovac yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Bandung, Jawa Barat, 13 Oktober 2022. Vaksin diproduksi oleh PT Bio Farma dengan kapasitas produksi 20 juta dosis sampai akhir Desember 2022. Jumlah dosis per tahunnya dapat bertambah sampai 120 juta dosis vaksin bila diperlukan.
Masih dalam kerangka penguatan arsitektur kesehatan global, Indonesia juga mendorong adanya pembiayaan kesiapsiagaan pandemi. Dalam hal ini Financial Intermediary Fund (FIF) yang dikembangkan Presidensi G20 Indonesia untuk membantu negara-negara lain untuk ikut berkontribusi.
Indonesia sendiri telah berkomitmen senilai USD50 juta (Rp785 miliar) pada Fund tersebut dan mengajak negara-negara lain untuk melakukan hal sama. FIF didirikan di bawah Bank Dunia sebagai wali amanat dan saat ini telah mempunyai 15 kontributor. Ide pembentukan FIF mengemuka saat Presidensi G20 Italia, 2021 ketika terjadi pembahasan soal mitigasi untuk merespons pandemi.
Yakni 12 kontributor berasal dari anggota G20 dan sisanya tiga filantropi internasional dengan dana terkumpul mencapai USD1,373 miliar (Rp21,55 triliun). Dana sebesar ini dapat digunakan untuk memperkuat respons terhadap mitigasi pandemi terutama di negara-negara berkembang.
Demikian dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menjadi pembicara utama sesi Keynote Dialogue rangkaian kegiatan Special Event Toward G20 di Washington DC, Amerika Serikat, 10 Oktober 2022 lalu seperti dilansir dari siaran pers Kemenkeu.
“Kita tahu bahwa dunia belum siap menghadapi pandemi semacam ini. Itulah sebabnya sejak tahun 2020, G20 meminta panel independen untuk benar-benar meninjau apakah dunia bisa lebih mempersiapkan diri. Karena pandemi semacam ini tidak akan menjadi yang pertama dan terakhir, dan mungkin frekuensi pandemi berikutnya akan lebih banyak lagi,” ungkap Menkeu.
Ini dilakukan berbarengan disusunnya tata kelola kesehatan global dalam Traktat Pandemi mengedepankan kesiapsiagaan lebih baik berlandas solidaritas dan kesetaraan dengan WHO sebagai pemegang mandatnya. Menurut Menkeu, sebagian besar negara anggota G20 memberikan dukungan kuat bahwa WHO perlu diperkuat dalam hal efektivitas, kredibilitas, serta sumberdaya yang lebih memadai.
Terlebih jika terkait dengan pandemi atau juga perubahan iklim, dunia dihadapkan pada kesenjangan antara isu yang perlu ditangani disandingkan dengan ketidakseimbangan tata kelola atau sumberdaya masing-masing negara dan menciptakan respons berbeda. Pembentukan FIF ini merupakan respons negara-negara G20 kepada WHO sebagai otoritas kesehatan global yang tata kelolanya perlu dibenahi.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari