G20 pun membahas tentang praktik penghindaran pajak (tax avoidance). Pasalnya, banyak negara yang kini terancam.
Kepemimpinan G20 Indonesia telah digantikan oleh India. Negara Asia Selatan itu memegang tampuk pimpinan G20 untuk periode 2023. Sekitar 200 pertemuan direncanakan oleh negara yang memimpin kelompok 20 negara berkategori ekonomi utama itu.
India telah didapuk memimpin kelompok ini sejak 1 Desember 2022 hingga 30 November 2023. Setelah sejumlah pertemuan pejabat senior (senior officials meeting) hingga tingkat menteri. Rencananya KTT G20 India diadakan pada 9--10 September 2023.
Tak dipungkiri pertemuan G20 kali ini masih dihadapkan soal adanya pelambatan ekonomi global sebagai dampak dari krisis yang masih berlangsung di Ukraina. Konflik di Benua Biru itu telah merusak hubungan antara Rusia dan negara-negara industri Barat.
Di sisi lain, negara-negara barat itu sebagian besar adalah anggota G20, yang mewakili 85 persen dari PDB global dan 75 persen dari perdagangan internasional. Dari sejumlah pertemuan tingkat menteri, salah satunya adalah Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) ke-3 di bawah Presidensi India yang berlangsung 17-18 Juli 2023.
Pokok bahasan dari petinggi moneter dan fiskal negara yang tergabung ke G20 itu meliputi International Financial Arxhitecture (IFA),
seperti dukungan untuk negara-negara rentan, penguatan bank-bank pembangunan multilateral (MDB, dan dukungan MDB dan sektor swasta dalam mengatasi isu-isu terkini.
Menanggapi pertemian itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, pembahasan mengenai IFA, di antaranya dukungan untuk negara-negara rentan. “Selain itu, kami juga membahas penguatan bank-bank pembangunan multilateral (MDB) dan dukungan MDB dan sektor swasta untuk mengatasi isu-isu terkini,” kata Sri Mulyani dalam unggahan Instagram @smindrawati, yang dikutip Kamis (20/7/2023).
Khusus soal keberadaan MDB, keberadaaanya sangat dibutuhkan Indonesia, terutama melalui program Indonesia dengan Energy Transition Mechanism (ETM). “Program itu sudah diluncurkan sejak tahun lalu, dapat menjadi uji coba bagaimana MDB dan swasta berperan dalam proyek riil.”
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa praktik tersebut salah satunya disumbang oleh integrasi ekonomi global. Globalisasi telah menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas produksi dan operasional perusahaan terus berkembang.
Perkembangan strategi perusahaan mengarah pada satu tujuan utama yakni memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya dan pengeluaran, termasuk pengeluaran pajak. Sementara itu, perkembangan peraturan perpajakan yang mengenakan pajak terhadap keuntungan perusahaan global tidak banyak mengalami perubahan.
Penghindaran pajak adalah bentuk hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. Masalahnya, praktik penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal.
”Itu pembahasan di sesi siang, kami beralih membahas mengenai perpajakan internasional. Saya menyampaikan apresiasi atas kerja keras Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 dalam menyusun kerangka Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),” ujar Sri Mulyani.
Apa itu BEPS? BEPS adalah kerangka untuk menjaga basis pajak dari masing-masing negara dan mencegah penghindaran pajak. Praktik-praktik itu kini jamak terjadi. Bahkan, di Indonesia.
Tidak dipungkiri, dunia kini sudah terkoneksi satu sama lain. Begitu pun perusahaan asal Indonesia tidak lagi hanya beroperasi di Indonesia. Mereka harus ekspansi ke luar bila ingin menjadi pemain global.
Praktik itu jamak dilakukan perusahaan multinasional seperti Google, Amazon, Starbucks, ataupun Microsoft. Keberadaan mereka ada di mana-mana, termasuk di Indonesia. Persoalannya, ketika mereka ekspansi ke Indonesia, misalnya, beberapa tahun lalu, mereka ditengarai melakukan praktik penghindaran pajak.
Sorotan terjadi karena masalah ketidakadilan dan etika karena mereka tidak melanggar hukum. Yang menjadi pertanyaan, apakah masalah ini yang turut juga dibahas para pemimpin negara-negara G20 menjadi relevan di Indonesia atau negara berkembang lainnya serta permasalahan apa yang harus dihadapi. Diketahui, Google mendirikan anak perusahaan di Irlandia, Amazon yang mendirikan perusahaan perantara di Luxembourg untuk pasar Eropa dan penjualan e-commerce hingga Starbucks yang menyalurkan bahan baku lewat perusahaan perantara di Swiss adalah salah satu contoh struktur yang banyak dibuat untuk menghindari pajak.
Di Indonesia, banyak investasi dilakukan dengan mendirikan holding company di Belanda, Singapura, hingga Mauritius. Dalam beberapa contoh, perusahaan multinasional mampu meminimalkan atau bahkan menihilkan, atau double non taxation, dalam hal penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, capital gain, jasa, atau penghasilan lainnya.
Realitas seperti di atas yang menjadi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Permasalahannya karena base erosion berarti berkurangnya pendapatan pajak yang mengancam kewenangan perpajakan dan keadilan perpajakan di banyak negara dengan cara profit shifting.
Selain menjadi isu di pertemuan G20, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sudah memperhatikan tren tersebut. Terutama, dampaknya bagi negara berkembang,
Lembaga itu juga melakukan penelitian atas permasalahan BEPS khususnya untuk negara berkembang agar dapat mendukung negara berkembang atas permasalahan tersebut yang sejalan dengan pandangan PBB atas pajak internasional.
Permasalahan umum bagi negara berkembang dalam BEPS adalah karena sebagian besar negara berkembang lebih mengutamakan masalah sumber pajak dalam negeri. Otoritas negara tidak memperhatikan soal perilaku perusahaan yang melakukan praktik pengalihan penghasilan perusahaan dalam negeri ke yuridiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak.
Masalah sebenarnya, juga karena keterbatasan kapasitas dari otoritas perpajakan di negara berkembang tersebut.
Selain itu, praktik penggeseran laba atau profit shifting tidak dapat dilepaskan dari offshore financial center atau negara-negara yang disebut tax haven yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan rendah. Selain pembahasan masalah perpajakan, pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral juga membahas mengenai financial sector dan financial inclusion.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan, Indonesia mendukung Financial Stability Board (FSB) dalam mengatur dan mengawasi aset kripto dan stablecoin global. “Pembahasan soal itu sangat intens, namun juga menyenangkan karena bisa berbagi perpektif bersama kolega-kolega saya yang hadir,” tukas Menkeu Sri Mulyani.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari