Pemerintah berkomitmen untuk terus memulihkan kawasan mangrove. Dari luas lahan kritis 637 ribu hektare (ha), sudah dipulihkan seluas 17 ribu ha pada tahun lalu.
Terpilihnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati menjadi co-chair Koalisi Global Menteri Keuangan untuk Perubahan Iklim periode 2021-2023 sekaligus mengafirmasi kepercayaan komunitas aksi perubahan iklim global yang besar pada Indonesia.
Dalam dekade terakhir, dunia melihat Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam upaya pengendalian perubahan iklim melalui berbagai kebijakan dan instrumen. Kebijakan dan instrumen terkait pendanaan, antara lain, alokasi APBN untuk perubahan iklim (budget tagging), pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) selaku pengelola beragam dana terkait kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon dan lainnya terkait lingkungan hidup di berbagai kementerian/lembaga.
Seiring dengan peran strategis dalam koalisi itu, pengarusutamaan (mainstreaming) isu perubahan iklim dalam program pembangunan nasional sejalan dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai nationally determined contribution (NDC). Komitmen NDC Indonesia terhadap Persetujuan Paris sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau 41% dengan dukungan internasional di 2030.
Salah satu upaya mengurangi emisi karbon adalah dengan merehabilitasi dan memanfaatkan lahan basah seperti hutan gambut, mangrove (bakau) dan padang lamun yang tersebar di sejumlah hutan dan pesisir Nusantara.
Ironisnya potensi besarnya stok karbon pada mangrove, rawa pasang surut dan padang lamun–yang dikenal sebagai ‘karbon biru’ juga diiringi dengan tingginya laju kerusakannya. PBB sampai menetapkan darurat perubahan iklim di wilayah-wilayah tropika, seperti Indonesia, Asia Tenggara, Brasil, dan Afrika Tengah akibat derasnya laju deforestasi gambut maupun mangrove.
Padahal hutan bakau menyimpan stok karbon kedua terbesar setelah lahan gambut dan menyimpan karbon tiga hingga empat kali lebih banyak dibanding hutan tropis. Mangrove merupakan tanaman pelindung bagi daratan dari terpaan angin kencang, gelombang besar (tsunami) akibat perubahan iklim. Sejumlah spesies flora dan fauna juga bisa lestari jika lahan bakau dijaga dengan baik. Penting manfaatnya untuk ketahanan bencana nasional dan menjaga keanekaragaman hayati.
Selain itu, ekosistem bakau mampu meningkatkan produktivitas perikanan, kepiting, dan silvofishery bagi masyarakat sekitar. Manfaat lain yaitu pemanfaatan bakau untuk spot ekowisata dan produk turunan dari tanaman di lahan bakau seperti dodol, sirup, dan keripik. Ada manfaat sosial ekonomi yang bisa digarap dari situ.
Temuan Badan Litbang Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar ton karbon–sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir di seluruh dunia.
Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk terus memulihkan kawasan mangrove. Dari luas lahan kritis 637 ribu hektare (ha), sudah dipulihkan seluas 17 ribu ha pada tahun lalu. Adapun, Menteri LHK Siti Nurbaya dalam Rakor Pengelolaan Mangrove Nasional, Kamis (11/2/2021), menjelaskan soal rencana rehabilitasi mangrove pada 2021 seluas 124 ribu ha (20%). Dilanjutkan pada 2022 seluas 155 ribu ha (25%), 2023 seluas 155 ribu ha (25%), dan pada 2024 seluas 187 ribu ha (30%).
Kerja besar ini tentunya memerlukan dukungan dana besar. Dana rehabilitasi mangrove dari APBN 2021 hanya mencakup areal 1.250 hektare. Oleh karena itu, diperlukan perluasan aspek anggaran melalui kerja sama internasional seperti hibah luar negeri yang disinergikan lintas kementerian dan lembaga.
Saat ini sudah tersedia dukungan dari kerja sama Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Jerman dan KLHK senilai 20 juta Euro. Ada pula bantuan dari World Bank melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang masih dibahas bersama Bappenas senilai lebih dari USD200 juta.
Upaya percepatan implementasi sudah dilakukan pemerintah di antaranya melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Rehabilitasi mangrove akan difokuskan di sembilan provinsi seluas 600 ribu ha, yaitu Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat.
Saat ini, pemerintah terus berkolaborasi dengan perguruan tinggi, NGO untuk menggarap riset dan kajian terapan soal bakau. KLHK dan KKP juga merintis pembangunan persemaian modern dan World Mangrove Center di Jawa dan Kalimantan.
Selanjutnya, pemerintah sedang mengkaji persemaian bibit bakau melalui program padat karya desa pesisir dengan menggunakan Dana Desa. Satu hal, Indonesia juga berhasil menggaet dukungan dana dan kerja sama pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dengan beberapa pihak internasional.
Indonesia telah mendapatkan komitmen pendanaan Result Based Payment (RBP) REDD+ dari Norwegia merupakan pembayaran atas kinerja pengurangan emisi GRK dari kegiatan REDD+ untuk periode 2016-2017 sebesar 11,23 juta ton CO2eq (ekuivalen karbon), dengan nilai sebesar USD56 juta.
Sementara itu, RBP Green Climate Fund diberikan atas kinerja penurunan emisi GRK dari kegiatan REDD+ periode 2014--2016 sebesar 20,3 juta ton CO2eq dengan nilai USD103,8 juta. Selanjutnya RBP dari kerja sama Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund World Bank di Provinsi Kalimantan Timur diberikan atas kinerja penurunan emisi GRK dari kegiatan REDD+ sebesar 22 juta ton CO2eq dengan nilai USD110 juta untuk tiga kali tahap pembayaran antara tahun 2021–2025.
Semua dana dari komitmen kerja sama internasional dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Dana RBP dari beberapa kerja sama internasional tadi diarahkan untuk memperkuat aksi-aksi mitigasi untuk mengurangi emisi di lapangan seperti untuk pemulihan mangrove dan gambut.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari