Indonesia memiliki keragaman jenis bambu. Dari sekitar 1.439 jenis bambu di dunia, 176 jenis di antaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 50 persennya endemik.
Suara daun-daun rumpun bambu yang saling bergesekan saat tertiup angin seperti sebuah orkestra alam, mampu menghadirkan suasana tenang, teduh, dan damai. Bambusoideae, demikian nama ilmiah dari bambu, dikenal juga sebagai tanaman konservasi air dan tanah karena sejumlah keunggulannya.
Tanaman bambu sejak dulu dikenal karena aneka manfaatnya dan sangat lekat dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Berkembang menjadi sebuah kearifan lokal, bambu juga kerap dijadikan penanda atau pembatas antardesa atau kampung.
Akar serabut bambu mampu menjaga ekosistem air dan menyimpan pasokan air yang melimpah untuk lingkungan sekitarnya. Bambu menjadi benteng alam pencegah erosi karena kekuatan akar serabutnya mencengkeram kuat ke tanah.
Hal itu dibuktikan dalam sebuah riset para peneliti Badan Riset dan inovasi Nasional (BRIN) di Kebun Raya Bali, Kabupaten Tabanan. Mereka menemukan fakta bahwa dari satu rumpun bambu betung usia lima tahun dengan jumlah 20 batang dan tinggi pohon rata-rata 15 meter serta diameter batang 10 sentimeter dapat mengkonservasi banyak air. Jumlahnya mencapai 39,22 meter kubik atau setara 391,22 ribu liter air per hektare.
Rumpun-rumpun bambu yang membentuk hutan kecil ternyata juga sanggup menurunkan suhu udara di sekitarnya dan membuatnya lebih sejuk. Bambu termasuk keluarga rumput raksasa dan dikelompokkan sebagai hasil hutan bukan kayu. Tanaman ini tersebar merata di wilayah beriklim tropis dan subtropis di seluruh dunia, khususnya di benua Asia, Afrika, dan Amerika.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia mempunyai keragaman jenis bambu yang tinggi karena dari sekitar 1.439 jenis bambu di dunia, sekitar 176 jenis di antaranya tumbuh di Indonesia. Bahkan, sekitar 50 persen dari jenis bambu yang tumbuh subur di Nusantara digolongkan sebagai tumbuhan endemik.
Sebanyak dua jenis bambu hitam, yakni bambu lako yang hanya tumbuh di Flores, Nusa Tenggara Timur, dan bambu tutul di Halmahera, sudah masuk tanaman hampir punah. Bambu memiliki tiga pilar pemanfaatan, yakni dari aspek sosial budaya masyarakat, aspek ekonomi, dan aspek ekologis. Sayangnya, sampai hari ini data sebaran dan jenis bambu di Indonesia masih minim.
Ini tentu menjadi tantangan untuk pembenahan tata kelola pelestarian bambu, utamanya jika dikaitkan dengan perubahan iklim. Demikian dikatakan Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) KLHK, Sarwono Kusumaatmadja dalam diskusi daring bertema "Pojok Iklim: Kebijakan Multiusaha Kehutanan Sebagai Aksi Mitigasi Perubahan Iklim" yang diadakan KLHK di Jakarta, 15 Februari 2023.
"Kita adalah rumah bagi jenis yang paling umum di antara komunitas bambu, yaitu bambu tropis yang cenderung memiliki batang lebih tebal daripada bambu lain," ujar mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup periode 1993-1998 itu.
Saat menjabat Menneg KLH itu, kata Sarwono seperti dilansir Antara, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Kongres Bambu Internasional ke-4 di Bali pada 1995. Tindak lanjut dari kongres tersebut, pihaknya kala itu menyusun semacam naskah tentang pengembangan strategis bambu yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Regulasi itu usianya telah mencapai hampir 30 tahun dan mesti diperkaya lagi.
Menurut Sarwono, pada setiap kesempatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia kerap menyinggung peran penting bambu, utamanya dalam mitigasi perubahan iklim. Lantaran bambu dalam peran ekologisnya mampu menghadapi ancaman lingkungan dan dampak buruk perubahan iklim. Bahkan, total biomassa yang mampu disimpan tanaman bambu berkisar 87,35 ton per ha.
Banyak Manfaat
Kendati belum ada data valid mengenai luas lahan bambu di tanah air, diyakini bahwa bambu telah tumbuh di kawasan seluas lebih dari 1 juta ha. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari Monica Tanuhandaru, melalui program Indonesia's FOLU Net Sink 2030, pemerintah dan masyarakat bisa mendapat banyak manfaat dari pengembangan wanatani atau agroforestri bambu.
Monica mencontohkan, ketika terjadi siklon tropis Seroja disertai angin kencang, tanah longsor, dan banjir bandang yang menghantam wilayah NTT pada April 2021 menyebabkan banyak rumah rusak dan hancur. Namun, desa-desa yang dikelilingi oleh hutan bambu relatif aman dari badai tropis tersebut. Hal serupa juga terjadi saat gempa bumi bermagnitudo 4,3 melanda Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 21 November 2022.
Ketika banyak rumah warga terbuat dari tembok beton runtuh akibat kuatnya hantaman gempa yang berpusat di kedalaman 10 kilometer itu, sebaliknya rumah-rumah dari kayu dan bambu justru tidak mengalami kerusakan. Oleh sebab itu, pihak Monica mendorong 74.000 desa di Indonesia untuk menanam bambu lewat pola wanatani bersama komoditas pangan.
Pola tersebut dilakukan supaya setiap desa memiliki cadangan bambu untuk value change dan supply chain. Agroforestri juga dapat menambah populasi bambu dan bisa membantu restorasi lahan kritis. Hal itu telah dilakukan di NTT yang telah menanam 2,5 juta bibit bambu dan bambu dewasa di lahan seluas 1.300 ha. Sekaligus mendukung program Indonesia's FOLU Net Sink 2030 untuk menurunkan efek rumah kaca (ERK).
Jika agroforestri bambu bisa berjalan sesuai rencana di tujuh provinsi untuk merestorasi lahan kritis di sepadan sungai seluas 300 ribu ha, maka bambu bisa memberi valuasi tinggi. KLHK dan Yayasan Bambu Lestari memperkirakan, nilainya bisa mencapai Rp10 triliun dalam waktu enam tahun sejak penanaman dengan investasi senilai Rp3 triliun.
Bambu mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam mitigasi perubahan iklim jika melihat letak geografis dan astronomis Indonesia. Namun, di sisi lain tanaman berbatang lurus itu memberi manfaat ekonomi melalui bermacam produk olahan pangan, sandang, papan, agrowisata, hingga seni budaya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari