Indonesia.go.id - Istana Menjadi Saksi Tragedi dan Resepsi

Istana Menjadi Saksi Tragedi dan Resepsi

  • Administrator
  • Kamis, 24 Oktober 2019 | 19:47 WIB
ISTANA PRESIDEN
  Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Maruf Amin memperkenalkan calon menteri Kabinet Indonesia Maju di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Lingkungan Istana menjadi saksi pembentukan Kabinet Joko Widodo-Makruf Amin. Tak semua kepala negara mau tinggal di istana. Dalam sejarahnya, Istana Presiden itu berkembang seperti rumah tumbuh.

Tak ada drama yang getaran suspensinya melampaui kisah-kisah di seputar istana. Di sana ada nama-nama tersohor, urusan penting, seremori akbar, yang semuanya berkelindan dengan tangan kekuasaan, benturan kepentingan, dan kompromi. Ujungnya adalah peristiwa besar, dramatis, bahkan kadang tragis. Semuanya dianggap peristiwa besar, tercatat dalam sejarah, karena dampaknya dianggap besar kepada nasib sekalian rakyat. Maka, peristiwa apa pun sepanjang bergulir di istana disikapi serius.

Begitu pula yang terjadi hari-hari belakangan ini di Istana Presiden di jantung Kota Jakarta. Peristiwanya biasa saja, Presiden Joko Widodo mengundang para calon menterinya, untuk audiensi terkait kabinet baru yang akan dibentuk. Kemudian ada  pelantikan menteri dan sidang kabiinet. Media heboh. Bahkan, sebagian memperlakukannya bak drama reality show yang dicari-cari sisi dramaturginya.

Istana Presiden di Jakarta memang menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa sejarah. Tamu-tamu negara datang dan sejumlah perjanjian diteken. Kekuasaan tumbuh dan tumbang. Sejumlah peristiwa dramatis terhampar di sana. Ada tragedi Presiden Soekarno yang jatuh dan terusir, ada tragedi Presiden Soeharto yang terhempas dan kandas.

Toh, yang paling dramatisnya adalah ketika bendera Belanda Merah-Putih-Biru diturunkan, lalu bendera Merah-Putih dikibarkan , 27 Desember 1949, diiringi alunan lagu Indonesia Raya, menandai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia. Sorak-sorai ribuan massa membahana ketika Sang Saka menyentuh puncak tiang bendera, ditingkahi pekikan salam kebangsaan : ‘’Merdeka.. merdeka..”.

Istana Merdeka menyaksikan perubahan zaman. Dibangun di atas reruntuhan hotel, bangunan ini selesai tahun 1873, dan dinamai Paleis te Koningsplein, karena menghadap ke Koningsplein, taman kota Batavia yang kini dikenal sebagai Taman Monas. Warga Jakarta lebih suka menyebutnya Istana Gambir. Dengan gaya arsitektur Palladio, yang kental dengan nuansa klasik Kuil Yunani, Istana Merdeka menjadi gedung paling keren di Batavia pada zamannya.

Paleis te Koningsplein memang dipersembahkan  untuk istana gubernur jenderal. Luas bangunan 2.400 meter persegi, semuanya berlantai marmer. Langgam Palladio, diambil dari nama arsitek kenamaan dari Venesia, Italia, yang hidup pada abad 16, membuat bangunan ini serba simetris, anggun sekaligus kokoh. Jendela besar, lengkungan kedua gapura, di kanan kiri bangunan induk, menandai gaya klasiknya. Lebar bangunan inti istana sekitar 34 meter.

Enam pilar Doria bulat langsing di serambi ikut memberikan aksen khas pada keanggunannya. Serambi istana yang luasnya 220 meter persegi, menjadi panggung bagi presiden dan tamu kehormatan dalam Upacara Kenegaraan 17 Agustus. Di tangga marmer depan teras Istana Merdeka itu, Rabu lalu (23/10/2019), Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma'ruf Amin menjalani sesi foto bersama menteri-menterinya seusai upacara pelantikan.

Istana Merdeka itu sebetulnya dibangun sebagai rumah panggung. Lantainya sekitar dua meter di atas tanah tanah. Arsitektur panggung ini dirancang untuk memberikan sirkulasi hawa dan membuat ruang-ruang istana lebih sejuk. Namun, setelah tersedia mesin kipas angin lalu mesin AC, celah panggung itu ditutup tembok dan dijandikan ruang pendung, termasuk gudang, dan tempat istirahat staf istana.

Naik 16 anak tangga dari pelataran ke teras depan, setelah melewati teras dan memasuki pintu utama, ada ruang credentials, luasnya 192 meter persegi. Di situ,  presiden menerima surat kepercayaan duta besar. Jembangan bunga dari Cina dan Jepang, cermin besar, patung pengantin Jawa, patung garuda (dari kayu), menghiasi ruangan ini. Dari ruang Credentials ini ada ruang koridor yang menghubungkan ke ruang n resepsi. Ada dua pilar di ruangan  ini yang menyangga struktur bangunan istana. Beberapa lukisan menempel di dinding koridor.

Patung ukuran dada dua pahlawan proklamator, Soekarno dan M Hatta, terpasang di kanan kiri pintu masuk ke ruang resepsi, hall seluas 314 meter persegi yang berlapis permadani merah. Di ruangan ini terdapat empat unit lampu kristal bersusun tiga masing-masing beratnya 500 kg. Piring hias dan guci klasik  dari Cina dan Jepang, beberapa patung dan lukisan menghasi ruangan resepsi ini.

Di ruangan ini, Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo beramah-tamah menerima tamu-tamu dalam jumlah besar dalam format standing party, seperti seusai Upacara Perayaan 17 Agustus. Tak ada banyak kursi di sana. Untuk rombongan tamu terbatas, Presiden biasa yang menerima mereka di Ruang Jepara,  luasnya 108 meter persegi, yang bernuansa Jawa Tengah, dengan dua pilar beton  yang dibalut kayu jati berukir khas Jepara. Ruang Jepara itu juga dihiasi sejumlah  patung, relief pahatan Ramayana, dan beberapa lukisan bernuansa Nusantara.

Di Istana Merdeka itu  juga ada ruang terima tamu Ibu Negara, tuang kerja presiden, ruang istirahat pribadi presiden, dapur, ruang bendera pusaka, dan teras belakang. Ruang kerja presiden luasnya  67 meter persegi.  Presiden juga sering menerima tamunya, termasuk  tamu-tamu negara, di ruang kerja yang dilengkapi dua coffee table dan 8 single sofa.

Nama Istana  Merdeka dan Istana Negara disematkan oleh Presiden I RI Soekarno tak lama setelah Bung Karno boyong ke kompleks istana itu bersama keluarganya pada 28 Desember 1949. Bung Karno menfungsikan bagian Timur Istana Negara Merdeka sebagai kediaman resminya, sedangkan di bagian tengah baratnya digunakan untuk kegiatan kenegaraan. Jamuan makan dan resepsi kenegaraan yang disertai musik aatau tari-tarian digelar di Istana Negara yang memiliki ballroom lebih luas.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572251864_istana_negara.jpg" />Kompleks Istana Negara. Foto: PresidenRI

Istana Negara ada di utara Istana Merdeka berjarak sekitar 100 meter. Bila Istana Merdeka menghadap ke Selatan ke Jl Merdeka Utara, Istana Negara menghadap ke Utara ke Jl Veteran. Istana Negara lebih tua, mulai dibangun 1796 dan selesai 1804. Mulanya, bangunan berarsitektur Yunani seluas 3.375 m2 itu adalah vila milik pengusaha JA Van Braam. Bangunan itu dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1820, dijadikan kantor sekaligus kediaman resmi Gubernur Jenderal dan disebut Istana Wisjwijk.

Dalam perkembangannya, lantai atas bangunan itu dibongkar 1846. Alhasil, ruang resepsi di bawahnya yang dihiasi jajaran pilar itu  memiliki plafon tinggi dan menambah wibawanya. Di kanan kiri bangunan induk didirikan gedung pendukung yang berfungsi  sebagai kantor. Tidak ada perubahan lagi sejak saat itu. Ruang resepsi Istana Negara itu kini sering digunakan untuk upacara pelantikan para pejabat tinggi negara, seperti Panglima TNI, Kapolri, atau Kepala Badan dan Komisi Negara.

Istana Wisjwijk itu dulunya berdiri di atas lahan 6,8 hektar, termasuk lahan  yang kini menjadi Kantor Sekretariat Negata (Setneg) dan Kantor Sekretaris Kabinet (Seskab). Luas area istana kian  bertambah dengan dibangunnya Istana Merdeka. Pada era Presiden Soeharto, kawasan istana makin luas, karena lahan hotel di sisi kanan Istana Negara dibebaskan.

Di situ, Presiden Soeharto kemudian membangun Gedung Binagraha tempat ia sehari-harinya berkantor. Pak Harto juga membuat Museum Puri Bhakti Renatama, bangunan berlantai dua di belakang Binagraha. Bangunan ini menghadap ke Taman Istana, yakni hamparan lahan di antara Istana Merdeka dan Istana Negara.

Komplek Istana Presiden itu seperti rumah tumbuh. Presiden Soekarno membangun Masjid Baiturahim di sisi Barat Istana Negara 1961. Proklamator yang juga arsitek ini juga membangun gedung enam lantai yang kini disebut Wisma Negara. Bangunan itu dulu  disediakan sebagai penginapan para tamu presiden. Namun, sejak era Presiden Soeharto, Wisma Negara itu hanya digunakan untuk keperluan internal istana, dan tamu presiden dipersilakan menginap di hotel yang mulai bertaburan di Jakarta.

Dalam sejarahnya, tak banyak pejabat negara yang menggunakan Istana Merdeka dan Istana Negara ini sebagai kediaman resminya. Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda pun memilih Istana Bogor yang lebih sejuk sebagai kediaman resminya. Mereka hanya di Istana Batavia satu-dua hari setiap minggunya untuk menghadiri rapat-rapat resmi yang biasanya jatuh pada hari Rabu. Bahkan, sejak kereta api Bogor-Jakarta beroperasi 1873, praktis tak ada Gubernur Jenderal yang menginap di Istana Batavia itu.

Sepanjang era kemerdekaan, dari tujuh presiden, empat tinggal di istana. Presiden Soekarno mendiami Istana Merdeka, hal yang sama dilakukan oleh Presiden KH. Andurahman Wahid. Presiden SBY tinggal di Istana Negara atau di lantai 5 Wisma Negara bila putra, menantu, dan cucunya datang menginap. Ada pun Presiden Joko Widodo memiilih mendiami Istana Bogor.

Dengan semakin  banyaknya urusan pemerintahan, Presiden  Soeharto membangun Binagraha. Sehari-harinya, Presiden Soehato berkantor di situ, termasuk untuk melakukan sidang kabinet. Pak Harto juga membangun tiga gedung baru  di sisi Barat kompleks Istana, untuk Kantor Setneg dan Sekap. Sejumlah staf  terdekat Presiden Soeharto ikut berkantor di Binagraha.

Dalam masa kerjanya yang singkat Presiden BJ Habibie juga menggunakan Binagraha. Namun, sebagai ruang kerjanya, ia memilih ruang kerja di Istana Merdeka, yang dulu digunakan Presiden Soekarno. Gus Dur juga melakukan hal yang sama. Sementara itu, Presiden Megawati Soekarnoputri memilih merenovasi bangunan dua lantai Museum Puri Bhakti Renatama itu, dan membangun ruang kerja  presiden, ruang rapat kabinet, ruang konferensi pers, dan ruang pendukung lainnya. Bangunan itulah yang kini disebut sebagai Kantor Presiden.

Presiden Megawati telah menyiapkan kantor presiden itu dapat  mengakomodir keperluan pemakaian teknologi informasi terbaru. Maka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa tak perlu membangun bangunan baru. Presiden SBY memenfaatkan properti yang sudah terbangun termasuk ruang kerjanya  di kantor presiden itu.

Presiden Joko Widodo pun menggunakan ruang yang disebelumnya dipakai oleh Presiden Megawati dan Presiden SBY. Di situ pula, Pakde Jokowi beraudiensi dengan calon-calon menterinya. Media pers lantas mengemasnya dalam perspektif khas istana, kekuasaan besar yang didistribusikan kepada orang-orang penting. Walhasil, acara audiensi itu tersaji mirip Indonesian Idol. (P-1)