Peter Carey, sejarawan Inggris yang tekun meneliti tentang sejarah Jawa dalam sebagian besar hidupnya pernah menyitir sebuah pepatah. "The hand that rocks the craddle rule the world", “tangan yang menggoyang ayunan adalah tangan yang menggerakkan perubahan dunia”. Demikian terjemahan bebasnya. Ungkapan ini menunjukkan pentingnya orang yang mengasuh bayi, dalam hal ini perempuan, sebagai tokoh penentu yang menentukan perubahan dunia.
Tahun-tahun sebelum meletus perang Jawa (1825-1830), adalah tahun-tahun yang mencatat peran perempuan-perempuan elite di Jawa yang sangat menentukan berbagai dinamika di bidang politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial, khususnya di wilayah Jawa bagian Selatan. Hal itu ditulis Peter Carey dalam artikelnya yang berjudul Spirited Srikandhis and Sly Sumbadras; The Social, Political and Economic Role of Women at the Central Javanese Courts in the 18th and Early 19th Centuries (1986).
Sumber-sumber yang digunakan Carey untuk melihat periode transisi dari zaman VOC hingga zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda meliputi naskah-naskah seperti babad dan hikayat, surat pribadi, serta silsilah. Salah satu contoh yang menarik dari sumber-sumber itu adalah "Serat Silsilah para Leloehoer ing Danurejan" yang mencatat sejarah leluhur keluarga priayi agung asal Banyumas yang melahirkan sebagian besar calon pepatih-dalem Keraton Yogya dari zaman perang Giyanti (1755) hingga pendudukan Jepang (1942-45). Naskah itu didapat Carey dari Museum Sono Budoyo, Yogyakarta, dan sebuah salinan dari Fakultas Sastra Jawa Universitas Indonesia.
Perempuan-perempuan Penjaga Keraton Jawa
Keraton Jawa Tengah yang berada di bagian Selatan memancing perhatian seorang misionaris Belanda yang hidup pada pertengahan abad 17. Dia adalah Francois Valentijn (1666-1727), misionaris dan ahli botani yang menulis buku berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien (Yang Lama dan Yang Baru di Hindia Timur) (1726). Buku itu menyebutkan istana Mataram di Kartasura yang di dalamnya terdapat lebih dari 10.000 perempuan yang bermukim di area keraton. Di lingkaran yang lebih dalam terdapat sekitar 3.000 perempuan, kebanyakan lanjut usia, yang tinggal dekat "baluwarti" luar keraton, yang wajib mengurus orang yang masuk dan keluar gerbang istana. Ada juga sekitar 3.000 budak perempuan atau (mungkin) pelayan yang melayani permaisuri dan garwa ampeyan atau selir. Rinciannya sekitar 50 hingga 60 pelayan per istri ditambah sekitar 4.000 perempuan perajin yang memintal, menenun, membatik, dan menyulam.
Gambaran Valentijn bisa jadi terlalu dibesar-besarkan jika mengingat konteks penulisan "dunia timur" saat itu kental dengan warna keajaiban dan eksotisme yang sangat digemari Eropa. Satu abad setelah Valentijn muncul, JW Winter menulis ada sekitar 350 dayang di Keraton Surakarta pada pemerintahan Pakubuwono V. Di antara dayang ini ada "para nyai" dan "nyai keparak" atau orang-orang dekat yang wajib melayani raja di Proboyekso pada waktu malam, karena semua abdi dalem laki-laki harus pergi setelah matahari terbenam. Catatan lain pada masa Sultan Hamengkubuwono II (1792-1828), yang dituliskan Peter Carey menyebut ada sekitar 48 "para nyai" di bawah komando seorang lurah yang bergelar Tumenggung.
Perempuan-perempuan pengawal khusus raja Jawa ini terlihat saat acara-acara pergelaran keraton seperti grebegan. Raja atau sultan selalu diapit oleh "prajurit keparak estri" atau prajurit perempuan terdekat yang biasa disebut sebagai pasukan Langenkusumo. Pasukan ini terdiri dari putri-putri dari "para yayi" atau putri pejabat atau orang terkemuka di daerah yang kadang diambil secara paksa. Trilogi Rara Mendut (1987) yang ditulis YB Mangunwijaya adalah roman yang menulis tentang para perempuan pada periode ini yang mempunyai kemampuan, intrik, dan keahlian tersendiri yang menentukan perubahan-perubahan penting di dalam bagian terdalam kekuasaan Jawa.
Sufi, Pujangga, dan Pemimpin Perempuan
Oman Fathurahman, filolog Indonesia yang serius mempelajari manuskrip pegon di kawasan budaya "melayu' yang membentang di seputar Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, hingga Kepulauan Pasifik Utara menulis khusus tentang peran perempuan-perempuan dari Keraton Jawa abad 18 hingga 19 yang sangat kuat perannya di masa 'renaisans' peradaban Jawa. Dari berbagai manuskrip yang berasal dari koleksi Aceh, Minangkabau, Cirebon, Jawa, dan Mindanao serta beberapa yang ada di koleksi Eropa, dia menemukan manuskrip yang menyebutkan tentang perempuan pemimpin politik sekaligus pemimpin spiritual keagamaan atau sufi dengan kemampuan sekelas pujangga sastra.
Nama-nama perempuan itu dia dapati dalam naskah Silsilah Tarikat Syattariah yang menyebutkan beberapa nama perempuan dari berbagai wilayah Nusantara di dalam satu jaringan. Nama-nama itu adalah Hamidah binti Sulaiman dari Aceh, Kanjeng Ratu Kadipaten dan Raden Ayu Kilen dari Yogyakarta, hingga Kanjeng Ratu Ibu Cirebon, Ratu Raja Fatimah dan Nyimas Ayu Alimah dari Cirebon.
Artikel berjudul Female Indonesian Sufis:Shattariya Murids in teh 18th and 19th Centuries in Java (2016) adalah salah satu artikel karya Oman Fathurahman yang terbit dalam Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies (2018). Dalam artikel itu Oman menemukan nama-nama itu dalam sebuah silsilah yang hanya menyebutkan geneologi tarikat. Masih banyak penelitian yang diperlukan untuk mengupas lebih dalam sejauh mana perempuan-perempuan pendorong ayunan yang menggerakkan dunia ini menentukan berbagai perubahan besar dalam sejarah Nusantara. Salah satu nama yang kuat mengungkap peran perempuan-perempuan itu adalah penelitian Peter Carey yang khusus mengungkap "dunia" Pangeran Dipanegara dari masa kecil hingga berakhirnya perang yang paling menguras kekayaan Hindia Belanda.
Penelitian Peter Carey tentang Kanjeng Ratu Kadipaten yang merupakan nenek buyut Dipanegara mencerminkan seorang perwira Langenkusumo yang memiliki kedalaman pengetahuan agama dan mistik hingga pendidikan budi pekerti dan keperwiraan yang sangat tinggi, bahkan untuk ukuran sekarang. Kemampuannya membaca dan menulis huruf kawi dan huruf 'pegon' terlihat dari beberapa koleksinya yang dirampok oleh Raffles dan kawan-kawan ketika menyerbu Keraton Yogyakarta di awal abad 19. Salah satu koleksi naskah 'pegon' yang berada dalam koleksi John Crawford dengan judul "Serat Menak" bahkan mungkin merupakan manuskrip tunggal yang paling tebal di seluruh dunia.
Dalam berita beberapa waktu terakhir, manuskrip koleksi Kanjeng Ratu Kadipaten sedang dalam proses untuk kembali ke koleksi Keraton Yogyakarta, setelah lebih dari dua ratus tahun berada di koleksi British Library. Sebuah proyek digitalisasi naskah ini telah selesai di pertengahan tahun ini. Saat ini publik bisa mengakses lembar demi lembar dalam laman British Library yang terbuka bagi siapa saja yang punya koneksi internet. Konon kemampuan pujangga Ratu Kadipaten telah dimulai jauh sebelumnya oleh Kanjeng Ratu Pakubuwono yang hidup seratus tahun sebelumnya.
Merle Ricklefs dalam buku Mystic Synthesis in Java (2006) adalah orang yang meneliti tentang perempuan Jawa permaisuri Pangeran Puger, yang dinobatkan sebagai Pakubuwono I, yang waktu itu membuat gentar VOC. Kemampuannya di bidang sastra, spiritual, dan politik istana dengan pengetahuan tentang pusaka keraton yang sangat rahasia itu membuat dia menjadi sosok 'raksasa' di masa subur penulisan naskah Jawa. Dialah yang memelopori penulisan Serat Menak pada masa itu, yang merupakan alih bahasa dari naskah yang lebih dulu popular di dunia Melayu. (Y-1)