Curt Sachs dalam World History of the Dance pernah mengatakan, tari adalah gerak yang berpola ritmis. Tapi bukan hanya semata-mata berpola ritmis, menurutnya tari juga gerak yang indah dan telah mengalami stilisasi.
Bicara latar belakang sejarah seni tari, Sachs mengatakan pada awalnya selalu ada kekuatan magis atau fungsi sakral dalam sebuah tarian. Sebab, menurutnya, seni tari pada kehidupan masyarakat kuno selalu lekat dan terkait-mait dengan ritus-ritus sehubungan fase-fase kehidupan manusia.
Dalam masyarakat kuno, mudah ditemui adanya motif-motif seperti inisiasi kedewasaan atau kesuburan, perkawinan, penyembuhan atau kesehatan, kematian, dan bahkan juga peperangan dalam sebuah tarian.
Tak jauh berbeda ialah pendapat Gertrude Prokosch Kurath, seorang penari Amerika dan sekaligus editor jurnal Ethnomusicology. Dalam artikelnya Panorama of Dance Ethnology, dia memperkenalkan istilah ‘ethnochoreography’ yang dimaknai sama dengan Etnologi Tari (Dance Ethnology) atau Antropologi Tari (Dance Anthropology). Kurath mendefinisikan sebagai “sebuah studi ilmiah tentang tarian-tarian etnik di dalam semua signifikansi kultural, fungsi religius atau simbolis, atau tempat sosial mereka”.
Lebih jauh Kurath menyebutkan, setidaknya terdapat 14 fungsi tari dalam kehidupan manusia, yaitu inisiasi kedewasaan anak, percintaan, persahabatan, perkawinan, persahabatan, pertanian, atau bahkan berkaitan dengan soal perbintangan atau ilmu astronomi. Selain itu, tari juga berfungsi untuk melukiskan tentang pekerjaan, meniru perilaku binatang, ritual perang, penyembuhan, kematian, kerasukan atau trance, dan tentu juga tak terkecuali diperuntukkan sebagai hiburan.
Merujuk analisis Tati Narawati dalam artikelnya Dari Ritual ke Panggung Pertunjukan: Perkembangan Tari Dalam Kehidupan Masyarakat, sebagian besar dari 14 fungsi tari yang diutarakan oleh Kurath itu jelas adalah merujuk fungsi tari untuk kepentingan ritual keagamaan. Sebutlah, inisiasi kedewasaan anak, penyembuhan, kematian dan kerasukan.
Benar, memang tidak sedikit pakar seni tari menyimpulkan bahwa fungsi tari yang paling tua adalah untuk kepentingan ritual keagamaan, dan karena itulah, lazimnya juga bernilai sakral.
Barulah, kemudian dalam perkembangannya fungsi atau makna baru dilekatkan dalam sebuah tarian, yaitu sebagai pertunjukan atau hiburan alias bernilai profan.
Yang menarik dicatat, bahwa munculnya disiplin Etnologi Tari (Dance Ethnology) atau Antropologi Tari (Dance Anthropology) sudah tentu sangatlah berarti. Disiplin ini merupakan solusi bagi penelitian tari-tarian di Indonesia khususnya yang termasuk kategori tari rakyat. Pasalnya tari-tarian kategori tari rakyat ini lazimnya sanggup melanggengkan dirinya mengarungi waktu dan zaman ketika tari ini secara kontekstual berfungsi ritual dalam kehidupan masyarakat.
Ya, bicara fungsi primer seni tari sebagai sarana ritual masih berlangsung hingga kini, tentu saja kasusnya banyak ditemukan di Indonesia. Lazimnya praktik sosial seperti ini ditemukan di wilayah yang agama atau kepercayaan yang dianut masyarakatnya menempatkan seni tari sebagai bagian integral dari upacara. Simaklah masyarakat Bali yang beragama Hindu-Bali, misalnya. Di sana pun mudah ditemui tarian yang berfungsi sebagai ritus atau upacara keagamaan.
Upacara Ritual Asyeik
Tapi fanomena tarian seperti itu tentu saja bukan monopoli masyarakat Bali semata. Beranjangsanalah ke Dusun Empih, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Di sini patut disimak yang disebut Tarian Asyeik.
Bagi masyarakat Suku Kerinci, tari ini jelas bukan semata pertunjukan atau hiburan yang profan. Menonton pertunjukan tarian ini segara terlihat, bahwa Tari Asyeik adalah sebuah ritual bagi Suku Kerinci. Bukan hanya bernilai sakral melainkan juga bahkan begitu magis. Tak salah jika tarian ini lebih pas disebut “upacara ritual Asyeik”.
Asyeik berasal dari bahasa kuno Suku Kerinci, yang berarti “yakin”, “dengan kerendahan hati”, atau “dengan sungguh sungguh”. Asyeik berasal dari tradisi nenek moyang sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum masuknya agama Islam ke Kerinci.
Sebelum tarian ini dipentaskan, sesaji harus dipersembahkan terlebih dulu. Mengutip Eka Putra dan Jauhari (2012), Senarai Sejarah Kebudayaan Suku Kerinci, sesaji itu berupa nasi putih, lepat, nasi kuning, nasi hitam, lemang, bunga tujuh warna, warna Sembilan, limau tujuh macam, telur ayam rebus, benang tiga warna. Selain itu, dalam sesaji juga harus ada satu ekor ayam hitam atau ayam putih, ayam panggang, dan kelapa tumbuh. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain, aria pinang, keris, kain tenunan kerinci, cembung putih, dan piring putih.
Ritual ini, yang dilakukan pada malam hari—dari sekitar pukul delapan hingga menjelang subuh—dipimpin oleh seorang sesepuh adat yang dalam bahasa lokal disebut “Bilan Salih”.
Di masa lampau, masih merujuk pada sumber di atas, upacara ritual Asyeik ini bisa berlangsung hingga satu minggu. Ada beberapa tahapan ritual. Dari acara ”Nyerau” atau “Nyaho” atau ”masouk bumoi”, mujoi gureu, ”mintoak berkeh” (minta berkah), dan “mageih sajin” (memberikan sesajian).
Sudah tentu selama tahap-tahap ritual itu berlangsung, pembacaan mantra-mantra kuno selalu dideraskan secara berirama. Ritual selama satu minggu ini disebut “Marcok”, puncak ritual ialah perhelatan Tari Asyeik, di mana roh nenek moyang diyakini turut hadir dalam momen tersebut.
Walhasil, para penari Tari RU itu terlihat menari sambil kerasukan (in trance). Saat in trance, tubuh para penari konon menjadi terasa ringan. Mereka bisa memanjat batang bambu, menari di atas pecahan kaca, atau melakukan hal-hal mustahil dilakukan saat mereka dalam kondisi sadar sepenuhnya. Para penari itu, baik laki-laki maupun perempuan, menarikan tarian itu dengan dirasuki oleh roh nenek moyangnya.
Upacara ritual Asyeik, diyakini masyarakat Dusun Empih sebagai bentuk silaturahmi terhadap roh nenek moyang dan sebagai bentuk ungkapan syukur pada kehidupan. Selain itu, hakikat tujuan dari dilakukannya ritual ini adalah membersihkan atau mensucikan jiwa dari segala pengaruh-pengaruh jahat.
Sebagaimana dipaparkan Sumandiyo, dirujuk dari artikel Syafriandi dkk, Ritual Asyeik sebuah Fenomena Budaya—Menjadi Estetik Penciptaan Film Dokumenter—bahwa ritual ini merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan yang ditandai oleh sifat khusus, yaitu menimbulkan rasa hormat kepada leluhur sebagai suatu pengalaman yang suci.
Masih merujuk artikel Syafriandi dkk, bagi masyarakat Suku Kerinci khususnya yang tinggal di Dusun Empih meyakini, setelah dibersihkan atau disucikan melalui ritual maka jiwa akan tenang, sehingga bisa berpikir panjang dalam mengambil keputusan. Jika sakit maka akan sembuh dari penyakitnya sehingga dapat melakukan aktivitas sehari-hari kembali. Begitu juga dengan petani atau pedagang maka akan mendapatkan hasil pertanian yang melimpah dan keuntungan yang besar.
Ritual Asyeik ini tidak hanya berfungsi untuk ritual penyembuhan atau permohonan untuk mendapat rezeki. Ritual ini juga menjadi media untuk meminta keselamatan, menghindari malapetaka, minta keturunan (anak), meminta hari hujan, dan lain sebagainya.
Setelah masuknya Islam di Kerinci, di sekitar akhir abad ke 13, menarik dicermati ialah fenomena akulturasi. Islam terang segera mewarnai alam budaya masyarakat ini. Meskipun begitu, laiknya akulturasi budaya pada etnis Jawa di Jawa yang memunculkan Kejawen atau etnis Sasak di Lombok yang memunculkan Wetu Telu, misalnya, maka warna lokalisme Suku Kerinci juga tak serta-merta hilang, melainkan justru turut mewarnai dan membentuk wajah Islam yang dipraktikkan di sana.
Fenomena akulturasi antara Islam dan budaya lokal Suku Kerinci jelaslah unik. Kini mantra-mantra itu terlihat menjadi memiliki warna Islam. Dalam mantra ini kini terdapat Kalimah Tauhid (Berkat Allah), penyebutan nama nabi-nabi serta para sahabat nabi, menggantikan penyebutan dewa-dewa nenek moyang. Dalam mantra-mantra ini juga terdapat nama kota suci umat Islam, Mekah dan Madinah. Selain itu, arah pelaksanaan ritual ini kini juga menghadap ke arah barat atau Kiblat.
Bagi masyarakat Kerinci sendiri sebagai pewarisnya, tarian ini diyakini merupakan sebuah tradisi yang telah ada sejak zaman kuno, saat nenek moyang mereka masih menganut kepercayaan akan pemuliaan kepada roh-roh nenek moyang. Konon, Tari Asyeik sebagai ritual ini merupakan bagian dari tradisi megalitikum di masa prasejarah.
Ya, di Indonesia, Suku Kerinci sendiri sering dianggap sebagai salah satu suku tertua. Dari pelbagai temuan arkeologis membuktikan, sejak era megalitikum sudah ada manusia tinggal di daerah Alam Kerinci. Eka Putra dan Jauhari memaparkan, Suku Kerinci menurut para ahli dan ilmuawan merupakan bagian dari orang Melayu. Sebagian dari para ahli ini juga menyebutkan mereka berasal dari zaman Neolithikum. Karena itulah mereka juga sering disebut-sebut sebagai prototipe etnis Melayu. (W-1)