Indonesia.go.id - Rumput Liar Pengganggu Kemajuan Indonesia

Rumput Liar Pengganggu Kemajuan Indonesia

  • Administrator
  • Minggu, 24 November 2019 | 19:25 WIB
KONSERVATISME
  Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Foto: Arsip Nasional

Bagaikan rumput liar yang rajin dipotong, dia terlihat rapi, tetapi tumbuhnya tetap saja meranggas liar. Konservatisme moderat puritan itu meluas ke banyak hal.

Hal apa yang paling efektif menggerakkan ribuan orang di Surabaya? Peristiwa itu terjadi 74 tahun yang lalu. Ribuan orang tanpa mempedulikan nyawanya, hanya dengan sisa peninggalan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan senjata rampasan Jepang, berani melancarkan perang terbuka melawan pasukan NICA (Nederland-Indies Civiel Administration) yang bersenjata lengkap. Jawabnya adalah semangat kemerdekaan dan seruan jihad. 

Tanpa mempedulikan kepentingan dirinya masing-masing, warga Surabaya yang umumnya penduduk pinggiran kota, pemuda, kuli, dan kaum miskin lainnya bergerak bersama mencapai satu tujuan. Tak peduli walau ajal bisa datang seketika dari bombardir pesawat dan meriam kapal perang. Saksi-saksi peristiwa 10 November 1945, memperkirakan lebih dari 16.000 patriot mati dan sekitar 1.500 pasukan NICA mati dan desersi. Penggerak mereka adalah semangat nasionalisme bertemu dengan radikalisme agama. Keduanya terbukti dalam sejarah menjadi faktor yang bisa menggerakkan ribuan orang menciptakan kualitas kehidupan yang berbeda sekalipun harus kehilangan dirinya. 

Yuval Harari, berkali-kali menyebutkan dalam tulisannya tentang peran nasionalisme, ideologi, dan agama sebagai hal yang membuat manusia menjadi spesies paling sukses dan dominan dalam  kehidupan di muka bumi. Sebenarnya spesies manusia bukan yang paling sukses. Jumlahnya masih kalah ketimbang serangga seperti semut dan kalah jauh kuantitasnya dengan bakteri. Tetapi hanya manusia yang mampu mengorganisasikan dirinya bersama ribuan bahkan jutaan manusia lainnya, hanya dengan satu mimpi bersama.

Konteks Perang

Radikalisme agama dalam konteks perang terbukti merupakan faktor digdaya. Itu membuat manusia yang biasanya mementingkan dirinya sendiri, berubah dalam waktu singkat menjadi mahluk altruistik. Ribuan siap mati seperti laron-laron menghampiri lampu.

Tetapi bagaimana jika konteks perang fisik yang melingkupi zaman revolusi ternyata bisa diterjemahkan para pemimpin agama menjadi perang sepanjang hayat. Sejarah telah lama mencatat bahwa radikalisme agama bisa tetap muncul walaupun perang (fisik) telah lama berlalu.

Samuel Huntington, pada 1993 meramalkan dalam abad ke-21 nanti politik di muka bumi ini akan didominasi oleh agama. Saat itu banyak yang kritis terhadap ramalan tersebut, sebagian menyebutnya sebagai 'kenakalan'  intelektual saja. Tetapi hari ini, dalam konteks global, retorika agama telah menjadi kiat yang mudah untuk mendapatkan dukungan suara pemilu. Lalu, radikalisme agama sebagai turunannya, terbukti memicu konflik di mana-mana yang menghasilkan tindak-tindak kekerasan, kekejian, hingga terorisme yang menciderai perikemanusiaan.

Pengerahan massa ribuan hingga jutaan orang dengan agitasi keagamaan adalah salah satu bentuk radikalisme. Dalam bentuknya yang populer, perjuangan politik dengan menggerakkan kekuatan orang banyak (massa) akan memunculkan militansi. Beberapa tahun terakhir, politik demokrasi Indonesia dan beberapa negara lain diriuhkan dengan populisme yang berujung pengumpulan-pengumpulan massa. Ujaran kebencian, pengkafiran, dan isu-isu penyulut sentimen sensitif keagamaan telah  menjadi lautan 'konten' yang membanjiri jaringan komunikasi digital.

Moderat Puritan

Menyatakan bahwa radikalisme keagamaan sudah meluas di dalam atmosfer politik Indonesia akhir-akhir ini barangkali terlalu berlebihan. Ada sejarah panjang berdirinya republik yang mengarungi naik turunnya dinamika radikalisme keagamaan di dalam politik nasional.

Revolusi kemerdekaan adalah tempat yang cocok bagi radikalisme keagamaan dalam bentuk perang melawan kolonialisme. Periode Demokrasi Terpimpin telah membenturkan politik radikal kerakyatan dengan radikalisme keagamaan yang berbuah tragedi kemanusiaan. Periode Orde Baru sebagai pemenang besar telah memunculkan dominasi oligarki pemodal dalam dukungan militer penguasa teritorial. Dalam periode ini radikalisme keagamaan muncul tetapi cepat diberangus seperti rumput liar yang mengganggu kerapian alun-alun istana.

Walhasil, rumput itu harus menyesuaikan diri. Dia tetap rumput liar tetapi menyamarkan dirinya serupa dengan rumput pilihan. Mochammad Nur Ichwan, dalam buku Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014) menyebutnya sebagai politik keagamaan dengan pendekatan 'moderat puritan'. Dia kelihatan lunak tetapi sebenarnya keras di dalam dirinya. Martin Van Bruinessen yang menjadi peneliti utama dalam buku itu menyebutnya sebagai "arus balik konservatif".

Ortodoksi Tumbuh Liar

Majelis Ulama Indonesia  (MUI) adalah lembaga yang menjadi sorotan utama penelitian Van Bruinessen dan kawan-kawan. Kiprahnya dalam politik nasional di masa lengsernya Orde Baru telah berkembang sedemikian rupa ke arah politik ortodoksi keagamaan. Sebagai sebuah organisasi emi-resmi' yang berkembang subur di dalam iklim demokrasi dia menyamai pertumbuhan lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, lembaga wakaf, Dompet Dhuafa, dan lembaga karitatif lainnya. Tetapi karena watak puritan yang keras dia tidak terlihat seperti "civil society" tetapi lebih pantas disebut "un-civil society" (Beittinger Lee, 2013)

Bagaikan rumput liar yang rajin dipotong dia terlihat rapi, tetapi tumbuhnya tetap saja meranggas liar. Konservatisme moderat puritan itu meluas ke banyak hal. Pertama, orientasi normatif terhadap isu halal-haram yang lebih legalistik ternyata telah melampaui batas-batas mazhab hukum Islam tradisional. Urusan halal-haram yang berada dalam ruang lingkup syariat keagamaan yang terbatas telah merambah ke sertifikasi halal makanan, obat-obatan, perbankan, asuransi, hingga perabotan rumah tangga. Kedua, orientasi teologisnya lebih puritan yang ditandai masuknya kelompok-kelompok yang berasal dari  kelompok radikal. Keluarnya fatwa menentang liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, hingga kelompok-kelompok minoritas adalah manifestonya. Ketiga, campur tangan yang berlebih pada urusan publik dengan menggunakan proses hukum, politik parlemen dan demonstrasi jalanan. Keempat, orientasi ideologisnya menjadi sangat eksklusif. Terlihat seolah melindungi umat "Muslim" tetapi tidak mengindahkan kepentingan nasional, seperti menciptakan iklim yang toleran dan saling menghargai perbedaan. (Y-1)