Bagaimana fungsi tertua seni tari di awal sejarah masyarakat manusia, yaitu sebagai piranti ritual atau upacara keagamaan yang bernilai sakral atau bahkan magis, telah disinggung dalam artikel sebelumnya, Menari dalam Kondisi Kerasukan. Tulisan itu juga telah mengulas Upacara Ritual Asyeik, di mana para penari ketika menarikan tarian itu dalam kondisi kerasukan atau kesurupan (in trance).
Menarik dilihat, saat momen kerasukan atau kesurupan para penari ini bisa memanjat batang bambu kecil, atau menari di atas pecahan kaca dengan kaki menghentak-hentak kuat tanpa luka sedikitpun, atau melakukan hal-hal mustahil lain yang sekiranya dilakukan saat sadar.
Ketika dunia kini semakin mengalami gelombang pasang modernisasi atau modernisme, bicara fungsi seni tari, lazimnya justu semakin kehilangan maknanya sebagai piranti ritual atau upacara keagamaan. Dalam banyak kasus, seni tari di alam modernisme sekarang ini telah mengalami komodifikasi secara masif. Aspek sakralitas atau magis dalam seni tari semakin ditinggalkan.
Barangkali saja hanya tinggal sedikit tersisa masyarakat di dunia kini, yang masih konsisten menempatkan seni tari sebagai pengemban fungsi dan makna ritual keagamaan. Indonesia, tentu sangatlah beruntung. Di banyak daerah masih memiliki jenis-jenis tarian yang mengemban makna ritual atau upacara keagamaan yang bernilai sakral.
Tulisan kali ini masih bermaksud mengangkat topik seputar itu. Kali ini mengambil kasus yang terjadi di Pulau Bali. Ya, bagi masyarakat Pulau Dewata, tak sedikit ditemui jenis-jenis tarian yang sakral dan terintegrasi dengan ritual atau upacara keagamaan sebagai satu entitas yang tak terpisahkan.
Pun mudah disimak pula, laiknya Tari Asyeik bagi Suku Kerinci di Jambi, di Bali tak sedikit jenis tarian yang para penarinya juga dalam kondisi kerasukan atau kesurupan (in trance) saat menari. Adanya aspek kekuatan magis dalam tarian bagi masyarakat Bali jelas bukanlah asing. Masyarakat Bali sendiri menyebut fenomena ini dengan istilah “kerauhan” atau “kalinggihan”.
Bahkan, tak sesekali terjadi, pada jenis-jenis tarian yang sebenarnya tidak mensyaratkan kondisi kerauhan, setelah selesai dipertunjukkan justru terjadi atau muncul momen kerauhan. Tak tanggung-tanggung, fenomena ini terjadi secara cukup massal.
Sebutlah misalnya pada November 2014. Kasus kerauhan massal terjadi di sebuah SMK swasta di Gianyar. Siswa dan siswi mengalami fenomena kerauhan (in trace), usai mereka menari dalam rangka merayakan ulang tahun sekolah. Mereka yang kerauhan (in trace), tanpa sadar dan dengan mata terpejam sangat atraktif “ngamuk” merusak fasilitas-fasilitas sekolah.
Contoh lain lagi. Kasus kerauhan massal juga terjadi pada momen pembukaan Tanah Lot Art and Food Festival 2018. Saat itu Tari Rejang Sandat Ratu Segara ditarikan kolosal oleh ribuan penari, dan momen itu berhasil mengantongi sertifikat Museum Rekor Indonesia (MURI). Namun setelah tari yang termasuk kategori sakral itu selesai dipertunjukkan, ternyata muncul fenomena kerauhan pada puluhan penari. Tentu saja masih banyak kasus serupa itu terjadi di Tanah Bali.
Bagi masyarakat modern atau rasional, adanya fenomena kerauhan (in trance) itu sendiri, tentu susah dipahami. Akan menarik, tentu saja, sekiranya fenomena kerauhan saat menari ini bisa diberikan eksplanasi rasionalnya. Di sini juga penting untuk dipaparkan latar belakang pandangan-dunia (world view) masyarakat Bali yang, entah langsung atau tidak, telah memprasyarati kemungkinan munculnya kasus kerauhan atau kalinggihan tersebut.
Pandangan-Dunia Bali
Sebelum lebih jauh mengulas tentang cara pandang dunia orang Bali, di sini penting untuk dipaparkan terlebih dahulu tentang klasifikasi jenis-jenis tarian yang dimiliki masyarakat Bali.
Merujuk tulisan Nanik Sri Prihartini 2003, Tari Kerauhan di Bali: Sanghyang Dedari, Sebuah Kajian Sosial, disebutkan seni tari berdasarkan fungsi ritual dan sosialnya dibagi jadi dua kelompok.
Pemilahan dan klasifikasi seni tari bertajuk pada konsep lokal Bali, yaitu ‘wali, bebali dan bali-balihan’, yang diartikan sebagai wali (sakral) atau babali (upacara) dan balih-balihan (hiburan). Pemilahan dan klasifikasi ini didasarkan pada keputusan seminar seni sakral dan profan di bidang tari di tahun 1971, setelah Orde Baru, yang menempatkan tari sebagai ujung tombak bagi pariwisata Bali.
Pertama, istilah seni wali atau babali merujuk pada kelompok seni ritual atau upacara. Selain dianggap memiliki nilai-nilai religius, seni tari kelompok ini juga disakralkan atau dikeramatkan. Jenis-jenis tarian kelompok kategori ini masih dibingkai aturan yang sangat ketat, baik itu perihal tempat, waktu, dan peristiwa, maupun pelaku.
Kedua, seni balih-balihan ialah kelompok seni hiburan atau tontonan semata-mata. Jenis-jenis seni tari ini lebih menonjolkan nilai estetika, yang bisa dipentaskan kapan dan di mana saja, tanpa ada batasan waktu, tempat, dan peristiwa yang mengikat.
Di sini patut diingat, merujuk tulisan Michel Picard (2006), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, konteks tradisional pertunjukan tari di Bali ialah adanya aneka ritus atau upacara keagamaan (yadnya) yang tersebar di tengah kegiatan sehari-hari, antara lain, seperti odalan, manusa yadnya, ngaben, panglukatan, dan lain-lain.
Dengan begitu pada awalnya tarian digelar dalam rangka upacara adat atau keagamaan, yang berfungsi sebagai persembahan pribadi para penari dan sekaligus sebagai wujud pelaksanaan kewajiban komunitas anggota pura. Oleh karena itu, tarian jelas bukanlah sekadar suatu pertunjukan untuk ditonton, melainkan secara tak terpisahkan juga suatu ritus yang sakral.
Atau singkat kata, bagi masyarakat Bali tarian mereka dipandang sebagai persembahan yang sakral, sedangkan persembahan itu dipergelarkan seperti pertunjukan atau tontonan.
Dalam kategori seni wali dan babali inilah, di Pulau Dewata tentu banyak dijumpai jenis-jenis tarian yang diyakini masyarakat Bali sebagai medium komunikasi spiritual antara dunia manusia dan dunia roh.
Sebutlah tarian jenis ini dengan istilah “tari kerauhan”, antara lain, Tari Sanghyang Jaran, Sanghyang Dedari, Tari Barong Keris, Tari Kecak, dan lain sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi bagi para penari jenis ini ialah, kesucian lahir dan batin, yaitu terbebas dari perbuatan jahat, berbohong, berzina, dan perilaku buruk lainnya.
Merujuk tulisan I Nyoman Lodra, Tari Sanghyang: Media Komunikasi Spiritual Manusia Dengan Roh, dipaparkan bahwa Tari Sanghyang, misalnya, lazimnya dipentaskan terkait dengan kondisi masyarakat saat sedang mengalami musibah tertentu. Jenis tari ini ditarikan dengan tujuan mengusir wabah penyakit yang disebabkan oleh roh jahat, seturut keyakinan masyarakat Bali.
Dari sini penting untuk dicatat, saat momen ritual tertentu hendak dilakukan oleh orang Bali selalu dimulai dengan upacara di mana para dewa sekaligus para leluhur ”dipendak” (dijemput atau diundang) untuk datang. Kemudian para dewa dan para leluhur ini dipersilakan ”nyejer” (menempati tahta) selama ritual berlangsung.
Dalam masa nyejer inilah, orang Bali mendapat kesempatan untuk mengaturkan sembah serta berkomunikasi dengan manifestasi kekuatan para dewa atau roh nenek moyangnya itu. Medium komunikasi ini dilakukan melalui piranti mereka yang mengalami momen kerauhan.
Saat momen kerauhan (trace) itu muncul, masih seturut Lodra, terkadang para penari akan berperilaku di luar logika rasional manusia. Mata terpejam, melompat-lompat, menari dalam kobaran api, menginjak-injak bara api, memanjat batang bambu, memakan beling, melompat-lompat meringik meniru gerakan binatang, dan bahkan ada di antara mereka yang kebal senjata tajam. Perilaku ini sesuai dengan karakteristik roh yang masuk ke dalam tubuh mereka.
Ya, menurut kepercayaan masyarakat Bali, kerauhan terjadi bila roh lain memasuki seseorang dan menguasainya. Orang itu menjadi lain saat bicara, juga menjadi lain perilaku dan sifatnya; perilakunya menjadi seperti kepribadian yang ”memasukinya.”
Menurut kepercayaan orang Bali, roh yang memasuki tubuh para penari ini bukanlah sembarang roh, bukanlah roh asal-asalan, melainkan roh dengan kualifikasi “istimewa” yang membawa energi keillahian. Pasalnya kerauhan ini dilaksanakan dalam sebuah ritual adat atau upacara keagamaan tertentu, dan selalu dipimpin oleh pemuput upacara, yaitu sulunggih atau pemangku pura.
Demikianlah, kerauhan atau kalinggihan ini telah menjadi tradisi dalam kepercayaan masyarakat Bali. Menurut kepercayaan mereka, tradisi ini diwariskan oleh leluhur sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Tuhan beserta manifestasi-Nya. Tradisi kerauhan atau kalinggihan berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara dunia sekala dan dunia niskala. Antara alam para dewa dan nenek moyang di satu sisi dan alam manusia di sisi lain.
Bagi masyarakat Bali sendiri, roh nenek moyang atau leluhur diyakini masih bisa memperhatikan dan melindungi kehidupan mereka yang masih hidup. Lebih dari itu, seturut keyakinan mereka, memuliakan nenek moyang atau leluhur ini tidaklah berarti mengingkari kuasa para dewa. Pasalnya mereka meyakini, roh nenek moyang atau leluhur ialah bagian dari manifestasi kekuatan para dewa itu sendiri.
Jelas, tergambar bahwa dalam pandangan-dunia orang Bali terdapat akulturasi antara kepercayaan Bali kuno berupa pemuliaan nenek moyang atau leluhur dan ajaran agama Hindu dari India yang masuk belakangan. Sintesis antara keduanya telah melahirkan sebuah perpaduan menarik dan unik, sebuah kepercayaan yang sering disebut orang sebagai “Hindu-Bali”.
Bagaimana gambaran tentang kukuhnya masyarakat Bali mempertahankan tradisi nenek moyang atau leluhur mereka hingga kini, juga terlihat jelas dari bagaimana cara mereka mengelola potensi pariwisatanya. Sekalipun sumber pendapatan masyarakat Bali selama ini mengandalkan pada sektor pariwisata, toh tak serta-merta membuat masyarakat Bali secara pragmatis kemudian menjual semua produk seni tari mereka.
Pada September 2019, Pemerintah Provinsi Bali menandatangani kesepakatan untuk melarang ratusan tarian sakral Bali dipertontonkan untuk tujuan komersialiasi. Kesepakatan ditandatangai Gubernur Bali Wayan Koster bersama Parishada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Desa Adat (MDA), Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA), Institut Seni Indonesia (ISI). Ada 129 tarian yang dilarang dipentaskan.
“Kondisi ini kami anggap desakralisasi, yang akan menurunkan kesakralan, akan menggeser dan merusak tatanan seni budaya yang diwariskan leluhur," ujar Gubernur Bali Wayan Koster.
Adapun sejumlah tari yang dilarang dipentaskan di luar tujuan sakral, di antaranya, Baris Katekok Jago, Baris Presi, Baris Gede, Baris Omang, Baris Bajra, dan Baris Keris.
Kemudian, kelompok Tari Sanghyang, di antaranya, Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Bojog, Sanghyang Jaran, Sanghyang Lelipi, Sanghyang Celeng, dan Sanghyang Kuluk.
Berikutnya, juga kelompok Tari Rejang, seperti Rejang Renteng, Rejang Bengkol, Rejang Oyodpadi, dan Rejang Dewa.
Dari kelompok Tari Barong terdapat seperti Barong Brutuk, Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Macan, dan Barong Kidang.
Berikutnya, juga tarian yang dimasukkan dalam tari sakral Bali seperti Tari Pendet Upacara, Tari Kincang-Kincung, Tari Sraman, Tari Abuang/Mabuang, Tari Gayung, dan Tari Janger Maborbor. (W-1)